Senin, 28 September 2020

BERANTAKAN

 Sungguh, yang kurindukan dari anak dan istriku saat mereka berada di kampung halaman adalah suasana rumah yang berantakan.

Itu benar-benar terjadi dan aku tidak punya bayangan apapun mengenai hal itu. Awalnya, hari pertama ditinggal, semua biasa saja seperti sebelum-sebelumnya ketika aku tidak bisa ikut mereka pulang kampung. Pekerjaan mengharuskanku tetap menjadi perantau yang baik. Rumah memang sedikit berantakan dan aku biarkan, malas sekali karena masih banyak waktu nanti, pikirku.

Tapi beberapa hari kemudian, ketika aku punya banyak waktu luang dan bingung apa yang perlu aku lakukan, aku memutuskan untuk membersihkan dan merapikan "rumah". Mainan anakku yang tergeletak sana-sini, barang-barang bekas makan dan minum, bungkus-bungkus makanan dan minuman, semua aku bereskan sampai suasana di rumah terlihat "enak".

Saat selesai dan lagi-lagi aku bingung apa yang harus aku lakukan, membaca buku atau menulis cerita sudah terasa membosankan, aku merasakan ada sesuatu yang hilang di rumah. Entahlah, kupikir itu hanya perasaan rinduku kepada anak dan istriku. Tapi rinduku sedikit terobati dengan komunikasi tatap muka menggunakan panggilan video. Tetap saja, masih ada yang menggangjal.

Aku sempat merenung, setelah melakukan berbagai hal yang bisa kulakukan, tetap saja ada yang kurang dan masih menggelitik hati tapi aku tidak paham. Ah, mungkin perasaanku saja. Perasaanku sering kali merasa hal-hal yang tiba-tiba muncul dan itu tidak penting. Apa yang aku pikirkan? Aku juga tidak tahu, terus saja aku memikirkan. Semakin keras aku berpikir semakin tidak ketemu apa yang aku cari. Akhirnya, aku lampiaskan dengan membaca kitab suci. Sejenak menghasilkan ketenangan. Setelah beberapa jam, perasaan tak enak muncul lagi.

Akhirnya aku menyerah, membiarkan semua berjalan seperti biasa meskipun tetap mengganjal. Rasa menyerah membuatku malas membereskan rumah. Perkakas makan di wastafel aku biarkan menumpuk. Bungkus-bungkus makanan aku biarkan. Sprei kasur tidak aku rapikan. Bantal guling biarlah berantakan. Baju kotor aku biarkan menumpuk. Keadaan rumah kembali seperti semula.

Tapi anehnya, perasaanku tenang. Di dalam rumah yang berantakan, aku bisa membayangkan anakku sedang bermain. Namanya anak kecil, setelah mengambil barang, tidak akan dia bereskan. Aku bisa membayangkan istriku bermain dengan anakku dalam rumah yang berantakan. Imajinasi itu, dengan adanya semua yang tidak rapi, membuat rinduku sedikit terobati. 

Lama-lama, setelah terlihat sangat berantakan, rumah aku bereskan kembali. Seperti sebelumnya, aku merasakan ada sesuatu yang hilang lagi. Setelah merenung, sepertinya aku menemukan apa yang aku pikirkan. Aku merindukan anak dan istriku menggeletakkan apapun di rumah semau mereka. Aneh sekali. Harusnya orang nyaman dengan rumah yang rapi, tapi aku tidak. Aku nyaman dengan rumah yang berantakan.

Setelah dua belas hari, istri dan anakku kembali dari kampung halaman. Anakku, sesampai di rumah, langsunh saja mengambil mainan yang dia suka. Menaruhnya disana-sini sesukanya. Biasanya, hatiku sangat greget melihat anakku memberantakkan sesuatu. Tapi aneh, aku menikmati perbuatannya. Aku menikmati hasil yang dia buat, rumah berantakan. Sungguh, ternyata, apa yang dilakukan anakku dan istriku, sungguh nikmat di mataku. Mereka selalu bahagia bermain bersama, meskipun pada akhirnya rumah amburadul. Rumah yang tidak rapi, mengingatkanku pada senyum tawa mereka. Sekarang aku menikmatinya, menikmati rumah berantakan yang mereka hasilkan.

Jumat, 25 September 2020

KAMBING DAN SAPI

 Pada suatu hari, hiduplah seekor kambing yang suka sekali makan rumput. Biasanya, si kambing makan rumput di daerah padang rumput tanpa pemilik. Si kambing pun dengan santai, setiap harinya, mencari makan di wilayah tersebut.

Tetapi, pada suatu ketika, datang seekor sapi yang tidak jelas asal-usulnya, melarang si kambing untuk makan di padang rumput biasa dia mencari makan.

"Kambing, kamu jangan makan di sini!"

Si kambing kaget, selama bertahun-tahun dia tidak pernah ditegur oleh siapapun.

"Kenapa? Tempat ini tidak ada pemiliknya!" Protes si kambing, masih dengan mengunyah rumput.

"Sekarang pemiliknya adalah aku!" Si sapi dengan sedikit membentak mengaku-ngaku sebagai pemilik padang rumput.

"Hey, bagaimana bisa? Apa buktinya? Padang rumput ini milik bersama! Bagaimana mungkin tiba-tiba ada pemiliknya?" Si kambing membela diri, tidak terima.

"Aku sekarang yang memiliki padang rumput ini. Tanpa bukti apapun, aku akan memiliki lahan ini. Kau, kalau berani macam-macam, akan ku seruduk sampai terpental ke tempat yang jauh!" Si sapi mulai mengancam.

Tapi si kambing tetap terlihat tenang, meskipun protes dan tidak terima. Dengan tenang dia merespon, "tetap saja, padang rumput ini tidak akan menjadi milikmu."

"Kau mau melawan hah? Mau ku seruduk kau sekarang?" Si sapi mulai memasang kuda-kuda untuk menyerang.

"Terserah kau saja, silahkan saja," si kambing dengan santai menerima ancaman si sapi.

"Baiklah kalau itu maumu."

Dengan sangat percaya diri, si sapi mulai bersiap, kemudian lari menyerang. Jarak si sapi dan si kambing hanya sepuluh meter. Setelah berlari pada jarak lima meter, si sapi mulai merasa aneh dengan pijakannya. Basah dan lembek. Apa yang dia pijak? Ternyata kotoran kambing banyak menumpuk! Karena badan si sapi besar dan berat, ketika menginjak kotoran, si sapi kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh. Buuuk!!! Suara hantaman tubuh dan tanah terdengar keras. Si kambing tertawa, santai, hanya melihat.

Si sapi mengaduh kesakitan. Kakinya sepertinya terkilir dan tidak bisa bangkit. Si kambing hanya tersenyum puas melihat apa yang terjadi. Kemudian berjalan pergi menjauh meninggalkan si sapi.

"Kambing! Mau kemana kau? Jangan pergi. Tolong bantu aku."

Si kambing tetap tidak menanggapi, tetap santai berjalan menjauh.

Si sapi berseru lagi, "hey! Kambing! Jangan lari kau!"

Si kambing dengan perasaan gemas, akhirnya menanggapi, "aku tidak lari. Aku jalan. Kenapa kau tidak bisa bangun? Kakimu sakit? Rasakan itu!"

"Kurang ajar! Akan ku kejar kau!" Si sapi berteriak.

"Bisa?" Dengan santainya, si kambing menyindir, penuh dengan ekspresi kemenangan.

Si sapi hanya marah, tidak bisa melakukan apapun kecuali merintih kesakitan.

"Badan saja yang besar! Otak tidak digunakan! Buat apa? Asal kau tahu, otot tanpa otak itu cuma batu tak bernyawa! Sedangkan otak tanpa otot? Itu kayu kecil yang bisa membunuhmu, menusuk matamu, telingamu, hidungmu, bahkan jantungmu! Otot dengan otak? Tergantung bagaimana alam menilai. Kalau kau baik, alam akan mendukung. Kalau kau licik? Alam akan menghukummu," saking kesalnya, si kambing akhirnya berceramah panjang lebar.

Si sapi tetap merintih kesakitan ditinggalkan oleh si kambing.

Apa yang bisa dipetik dari cerita di atas? Tidak ada. Tidak semua cerita harus diambil hikmahnya. Seperti pandemi ini, tidak usah berkelakar siapa yang membuat, tidak usah merasa pintar dan berspekulasi tentang banyak hal, tidak usah banyak bicara tentang kebijakan pemerintah. Intinya, tidak usah banyak omong dan mengeluh. Nikmati saja, alam sedang berjalan sesuai kehendakNya. Kalau kau kesulitan, carilah bantuan tanpa mengeluh. Kalau kau tidak menerima dampaknya, bersyukurlah tanpa harus merasa merendahkan yang terkena dampak. Kalau kehidupanmu lebih tinggi karena pandemi, jangan merasa kau raja di atas banyak orang dan banyak hal. Ingat kau hidup dengan alam. Alam setiap saat mengawasimu. Alam selalu menilai. Kalau sampai alam mengadu buruk pada Sang Pencipta, siap-siap saja menerima akibatnya.

Kamis, 24 September 2020

NOT RESPONDING

 "Selamat pagi semuanya," sapaku. Ternyata cuma satu muridku yang muncul.

"Selamat pagi, Bunda." Panggilan guru perempuan di sekolah tempatku mengajar adalah bunda.

"Yang lain kemana ya, Dan?" Tanyaku kepada Wildan, murid pertama yang muncul dalam kelas daring. Sejak pandemi, kelas memang dijalankan secara daring, melalui platform pertemuan jarak jauh.

"Waduh, ga tau, Bun. Mungkin lagi loading." Wildan menjawab, suara dan wajahnya muncul dari komputer jinjingku. Dan wajahnya pun hanya terlihat kecil, hanya muncul dari kotak kecil berukuran sekitar tiga kali dua centimeter. Memang platform ini menyediakan ruang untuk bertemu secara jarak jauh dan pesertanya akan dibagi-bagi dalam kotak-kotak persegi panjang kecil dalam satu layar komputer.

"Ya udah kita tunggu dulu yang lain ya. Kalau sudah banyak baru kita mulai." Memang selalu begini keadaannya. Tidak semua bisa masuk bersamaan, tergantung kekuatan koneksi masing-masing. Ini teknologi canggih tapi membuat repot orang. Padahal, adanya teknologi itu untuk mempermudah manusia, bukan malah membuat pusing.

"Iya, Bun," jawabnya singkat. Terlihat si Wildan seperti menulis sesuatu, mungkin mengisi kebosanannya menunggu.

Untungnya aku sudah terbiasa dengan koneksi yang "lemot". Apa boleh buat, yang bisa dilakukan hanya ini. Batas waktu pertemuan daring macam ini pun hanya empat puluh menit sejak pertama dimulai. Menunggu proses semua bisa masuk bisa jadi lima menit. Jadi total waktu bersih untuk proses pembelajaran cuma tiga puluh lima menit. Belum terpotong kendala yang lain seperti, aaah, aku tidak mau memikirkan. Nanti terjadi beneran.

Tiga puluh detik berlalu, dua muridku yang lain muncul. Dua-duanya mengucap salam hampir bersamaan. Aku menjawab dan bilang seperti sebelumnya, menunggu sampai yang bergabung jumlahnya agak banyak. Satu menit berlalu tiga orang muncul. Mereka mengucap salam. Sudah enam orang bergabung. Jumlah murid kelas sekarang lima belas orang. Masih belum separuh yang bergabung. Aku suruh menunggu lagi. Murid pertama yang muncul bergabung terlihat sangat bosan tapi tidak bisa beranjak dari layar, sudah perjanjian dari awal, tidak boleh meninggalkan "kelas" saat sudah bergabung.

Empat menit berlalu, empat murid yang lain sudah bergabung. Total sudah ada sepuluh murid. Pikirku, mungkin sudah bisa dimulai daripada menunggu lebih lama lagi. Waktu juga sangat terbatas.

"Kita mulai ya, anak-anak?" Aku awali percakapan tanda kelas akan dimulai.

"Iya, Bun."

"He-em, Bun."

"Yes, Bun."

"Siap, Bunda."

Suara mereka bersahut-sahutan. Menjadi tidak jelas lagi ketika mereka bergerak dan bersuara bersamaan. Pasti salah satu ada yang terganggu jaringannya, membuat gerakan dan suara yang keluar patah-patah.

"Biar yang lain menyusul. Kalau menunggu mereka semua bisa habis waktunya. Baiklah, buka halaman tiga puluh semuanya ya." Aku memulai kelas.

Aku kira semua berjalan lancar dan suaraku bisa diterima dengan baik, ternyata tidak.

"Apa, Bun? Halaman berapa?" Salah satu bertanya. Aku tahu itu suara siapa, suara Sinta. Sepertinya memang koneksi internetnya buruk. Gambarnya terlihat patah-patah, macet-macetan.

"Tiga puluh, Sin," dengan sabar aku menjawab.

"Apa, Bun? Suaranya putus-putus, Bun. Tiga puluh berapa?" Dia masih bertanya dengan gambar dan gerakan yang masih patah-patah.

Haduh, setiap kelas daring ini selalu saja membuatku melewati ujian kesabaran. Aku jawab masih dengan sabar, "Tiga puluh, Sinta. Yang lain ada yang kurang jelas sama suaranya Bunda?"

Tidak ada yang menanggapi. Baik, mungkin sudah jelas semua apa yang aku omongkan.

"Bunda," ada yang memanggil. Entah siapa itu.

"Siapa yang bicara ya?" Tanyaku penasaran.

"Saya, Bun, Reza."

"Kenapa Rez?"

"Bunda, kuota saya mau habis ini. Barusan ada peringatannya."

Astagaaa. Spontan aku menepuk dahi. Kok ada saja kejutan kelas daring ini.

"Lho, kamu ga minta Mamamu, Rez?"

"Sudah, Bun. Tapi Mama masih sibuk katanya. Gimana ini Bun kalau misalnya mati?" Reza menjawab dengan lugunya.

"Waduh, Bunda ga tahu, Rez. Mama di rumah sekarang?" Tanyaku lagi.

"Ga, Bun. Mama..." plep! Tampilan gambar Reza menjadi layar hitam. Lah? Mati? Haduh jangan-jangan emang kuotanya beneran habis. Bagaimana ini cara menghubunginya.

"Reza mati, Bun," salah satu berkomentar.

"Hush! Yang lengkap kalimatnya. Gambarnya Reza mati, begitu." Aku membenarkan kalimat muridku. Sedikit tertawa aku mendengarnya.

"Oh iya, Bun," jawabnya sedikit tersipu malu.

Hahahahaha. Murid-murid yang lain juga tertawa mendengar kalimat ambigu tadi. Sejenak keteganganku melunak mendengar tawa bahak mereka.

"Sudah, sudah. Nanti Bunda hubungi Reza lewat telepon aja. Sekarang kita mulai ya, buka halaman tiga puluh."

Semua serempak membuka buku, terlihat dari layar.

"Sekarang lihat bab satu latihan dua," lanjutku menjelaskan.

Tapi ada yang aneh. Kok semua gambar muridku menjadi gambar tidak bergerak? Semuana menjadi beku?

"Halo, anak-anak." Aku coba memastikan koneksiku masih lancar.

Semua masih diam. Ada apa lagi ini? Ya ampun.

"Halo, halo, anak-anak. Bisa dengar Bunda kah?" Tanyaku mencoba berbicara dengan gambar diam mereka.

Ada apa lagi ini? Aku mencoba memeriksa apa yang salah. Aku lihat pertama adalah router koneksi wifi. Lampunya masih menyala kuning kelap-kelip. Aku cek koneksi wifi di laptop-ku, masih terdapat gambar sinyal dengan tulisan "signal-on". Apa ya yang salah?

Aku memutuskan menemui bagian IT sekolah. Meskipun kelas daring, aku tetap datang ke sekolah, entah apa tujuannya, padahal bisa dilakukan di rumah seperti murid-murid.

Aku menuju kantor karyawan, menemui bagian IT. "Pak Jalal, internetnya macet ini. Gimana ya?"

Pak Jalal sedang sibuk mengutak-atik komputer waktu aku temui. "Oh, iya, Bun. Bentar ya. Bentar lagi saya cek."

Aku kembali ke tempatku. Tak lama kemudian Pak Jalal menyusul.

"Ini, Pak. Sudah saya cek semuanya, masih on. Tapi ga tahu kok tiba-tiba semuanya macet gambarnya."

Pak Jalal memeriksa seperti yang aku lakukan sebelumnya. Hasilnya nihil. Pak Jalal juga heran apa yang salah. Dahinya mengkerut, menandakan sedang konsentrasi untuk memcahkan masalah.

Lima menit sudah terlewati. Masih tidak ada hasil. Kemudian, aku melihat ekspresi Pak Jalal berubah. Sedikit lega, sepertinya sudah menemukan apa yang salah.

"Ya elah, Bu," ucapnya tiba-tiba.

"Apanya, Pak, yang ya elah?" Tanyaku heran melihat responnya.

"Pantesan," tambahnya masih menggantung.

"Apanya yang pantesan, Pak." Aku masih bingung.

Sambil menunjuk layar komputer jinjingku, Pak Jalal melanjutkan, "Lihat ini, Bun."

Aku masih bingung apa yang berusaha ditunjuk dan dijelaskan Pak Jalal.

"Apa, Pak?"

"Ini loh, Bun. Not responding." Pak Jalal menujuk ke bagian atas aplikasi platform.

"Astaga!" Dahi ku tepuk lagi. "Kok bisa gitu, Pak?"

"Ga tahu juga, Bun. Mungkin memorinya penuh. Atau laptop lagi panas."

Spontan aku mengangkat laptop dan memeriksa bagian bawahnya, benar Pak Jalal, panas. Jadi karena ini komputerku jadi macet? Ya ampun. Ternyata, teknologi tidak selamanya memudahkan, punya batasnya juga. Ladang kebaikanku jadi terhalang karena teknologi, terutama pandemi. Ya sudah lah.

Rabu, 23 September 2020

WOY! AKU BUKAN MALING!

 Tok! Tok! Tok!

Ada yang mengetok pintu. Siapa juga datang siang-siang begini. Mengganggu tidur siangku saja. Aku bangun dan mendapati sekitar, istri dan anakku tidak ada. Kemana mereka? Entahlah, mungkin sedang keluar membeli sesuatu. Dengan wajah kusut dan berantakan, aku membuka pintu dan, kaget bukan kepalang. Ada tiga orang petugas berpakaian APD lengkap! Dengan ambulansnya juga! Di depan rumahku! Astaga! Ada apa mereka datang kesini?

"Selamat siang, Pak. Kami datang untuk menjemput bapak." Ucap salah satu petugas, entah petugas yang mana karena semua wajahnya tertutup.

"Saya, Pak?" Balasku kaget. Ada apa?  Memangnya aku terinfeksi virus?

"Iya, Pak. Bapak terindikasi membawa virus. Maka dari itu kami dari Dinas Kesehatan akan menjemput bapak. Segera bapak ambil barang-barang yang diperlukan ya," jawabnya berusaha ramah.

"Bentar-bentar, Pak. Kenapa tiba-tiba saya terinfeksi virus?"

Belum sempat petugas menjawab, muncul suara gaduh seperti demo berada sekitar sepuluh meter di belakang petugas.

"Pak Mad! Cepat ikut petugas itu! Bapak membawa virus! Cepat pergi dari sini." Itu tetanggaku. Dia berteriak marah. Apa yang terjadi denganku? Kok tiba-tiba seperti ini?

"Sebentar, Pak. Sebentar. Saya kaget. Kenapa tiba-tiba saya dinyatakan terkena virus?" Tanyaku masih bingung.

"Sudah lah, Pak Mad! Ga usah mengelak. Bapak membawa virus. Sekarang pergi dari lingkungan sini! Membuat warga di sini resah." Ucap salah satu tetangga yang lain. Entah kenapa mereka tiba-tiba bergerombol di belakang petugas.

"Lho! Saya kok diadili macam gini? Saya tidak kemana-mana, saya tidak batu tidak pilek. Kok bisa tiba-tiba divonis seperti ini?" Aku makin panik. Para tetanggaku sudah berteriak-teriak marah mengusir. Teriakannya bersahut-sahutan. Sudah tidak jelas apa yang diucapkan oleh mereka.

"Dari data Dinas Kesehatan. Bapak positif terinfeksi virus. Maka bapak harus kami karantina agar virus tidak menyebar." Salah satu petugas yang lain berujar.

"Tapi saya juga harus tahu, darimana data itu? Tidak tiba-tiba saya dibawa tanpa alasan yang logis. Saya tidak melakukan tes apapun. Saya juga tidak sedang sakit. Saya perlu tahu itu semua. Saya tidak mau dituduh begitu saja!" Bantahku dengan intonasi sedikit tinggi.

"Pak Mad! Cepat pergi! Bapak meresahkan warga di sini!" Teriak salah satu tetangga yang lain, suaranya paling keras.

"Tapi, Pak, saya tidak bersalah! Kenapa saya seperti tersangka tanpa kesalahan seperti ini?" Aku membela diri.

"Hoy! Cepat pergi! Kalau tidak kami akan hancurkan rumah Pak Mad!" Terdengar suara mengancam yang tidak jelas siapa.

"Saya tidak mau!"

"Kalau begitu, bapak kami paksa untuk ikut. Diajak baik-baik tidak mau, maka kami menggunakan kekerasan." Timpal salah satu petugas. Masih tidak jelas petugas yang mana berbicara.

"Lho-lho, tidak bisa begitu. Saya berhak..." Belum selesai aku bicara, para petugas meraih tanganku dengan paksa. Aku meronta. Tapi percuma, aku kalah jumlah. Para tetangga berteriak-teriak mendukung petugas. Susah payah aku menahan tubuhku untuk tidak dibawa, tapi semua percuma. Aku diseret menuju ambulans. Aku tetap meronta berusaha meloloskan diri.

Di antara kerumunan aku melihat istriku sedang menggendong anakku. Dia menangis! Anakku juga menangis tidak kalah kencang. Sontak hati ini tersayat. Ya Tuhan, apa yang sedang terjadi? Kenapa tiba-tiba seperti ini?  Kenapa mendadak sekali kericuhan ini? Aku yang berusaha istirahat siang tiba-tiba menjadi tegang? Apa salahku? Kenapa aku dituduh?

Begitu banyak pertanyaan muncul sembari para petugas menarikku untuk masuk ke ambulans. Aku masih berusaha meloloskan diri tapi tidak bisa. Melihatku berontak, teriakan gerombolan demonstrasi para tetangga semakin memekakkan telinga. Kenapa mereka jadi jahat begini? Padahal aku selalu baik pada mereka. Eh, kenapa aku jadi busuk begini? Pamrih kepada mereka. Ya Tuhan. Aku seperti ditusuk banyak pedang menembus jantung. Tiba-tiba bagian dadaku sakit. Sakit hati kepada mereka.

"Ayo, Pak. Jangan melawan seperti ini. Ini untuk kebaikan bapak," bujuk salah satu petugas.

Aku tidak mengindahkan. Masa bodo. Aku tidak salah, tiba-tiba diperlakukan macam ini. Dengan segenap keyakinan, mendadak muncul kekuatan entah dari mana. Aku menarik tanganku yang mereka pegang, aku lolos!

Seketika itu juga aku berlari ke arah berbeda dari para tetangga yang sedang demo. Aku berlari kencang sekencang-kencangnya. Entah ini kekuatan dari mana, tiba-tiba muncul. Aku menuju jalan besar. Tapi, para warga yang aku tak tahu berapa jumlahnya, juga berlari mengikutiku, berteriak-teriak tidak menentu.

"Hoy! Pak Mad! Berhenti!"

Aku panik, tetap berlari. Pikiranku jadi tidak fokus. Suara sirine ambulans juga mulai dinyalakan, meraung-raung. Ah, kenapa ada musik latar segala sih, pikirku. Aku tetap berlari, sesekali melihat belakang. Kenapa jumlah warga yang mengejar semakin banyak? Aku semakin panik tapi tetap berusaha kabur dari mereka.

Buuuk!

Sesuatu menghantam kepalaku, benda keras, sepertinya batu. Muncul rasa sakit dan refleks aku memegang bagian kepala yang terhantam. Kenapa basah? Aku lihat tanganku, kenapa ada darah! Astaga, mereka melempariku. Mereka membuat kepalaku bocor! Kenapa jahat sekali mereka? Aku bukan maling.

"Woy! Aku bukan maling!" Teriakku membalas.

Aku menoleh ke belakang, lemparan batu jadi semakin banyak. Suara sirine ambulans masih meraung-raung. Astaga. Mereka benar-benar kalap dan membabi buta. Teriakan-teriakan mereka sudah tidak jelas. Aku seperti maling atau copet yang sedang dikerjar warga. Aku semakin panik, semakin tidak fokus, masih berlari tapi pandangan sudah bukan seperti yang ada di depan mata. Tiba-tiba aku merasakan pijakanku kosong, eh, ada apa ini? Ternyata aku sudah tidak berada di atas jalan. Kakiku berada di atas selokan besar, otomatis keseimbangaku goyang dan, gubraaak! Tubuhku jatuh dan terjerembab ke dalam selokan tersebut. Seketika pandanganku gelap.

Pandanganku gelap beberapa detik. Aku masih bisa merasakan nafasku tersengal dan jantungku berdegup kencang. Peluh bercucuran di kening. Beberapa detik yang aneh, tak lama kemudian aku buka mata.

Wajahku terasa dingin, juga tanganku, juga kakiku. Terlihat lantai keramik. Kenapa di selokan ada lantai keramik? Pandangangku sudah mulai jelas. Aku mengangkat wajah dan, kenapa aku di lantai? Aku lihat sekeliling, ini kan kamarku? Tapi kenapa aku tergeletak di lantai kamarku? Aku berusaha bangkit. Berusaha berdiri tegak, lah kok istriku sudah tidur di kasur? Bukannya tadi ada di luar dan menangis melihatku ditarik oleh petugas ber-APD? Kenapa kejadiannya cepat sekali berubah? Apa yang aku lewatkan?

Peluhku masih membasahi dahiku,menetes di bagian wajahku yang lain. Nafasku sudah mulai tenang, begitu juga dengan detak jantung. Aku mulai sadar, ternyata hanya mimpi! Astaga, kenapa terasa nyata sekali? Aku menuju dapur, mengambil air, dan menegaknya lahap. Perasaanku jadi tenang. Nafas dan detak jantung juga sudah normal. Aku mengambil tisu dan mengusap wajahku yang basah. Kemudian aku kembali ke kamar.

Wajah istri dan anakku yang tidur nyenyak membuat hatiku menjadi lebih tenang. Sangat pulas. Berbeda dengan pikiranku yang sekarang masih heran, kenapa mimpiku bisa terlihat sangat nyata. Aku duduk di kursi dekat tempat tidur, sambil memandangi wajah istri dan anakku. Mulailah aku berargumen dalam hati tentang mimpi yang sangat mengacu adrenalin. Aku masih sangat ingat detil kejadiannya. Dari tiba-tiba datang petugas APD sampai masuk ke selokan saat dikejar warga. Ternyata aku bergerak saat tidur dan terjatuh. Itulah kenapa terasa sampai alam mimpi, diterjemahkan menjadi adegan masuk selokan.

Ada-ada saja mimpi siang ini. Sepertinya aku terlalu kepikiran. Besok aku menerima hasil swab test yang dilakukan tiga hari yang lalu. Apes sekali, kenapa rapid test-ku hasilnya reaktif? Apes. Akhirnya aku harus menjalani swab test yang tidak horor seperti di benak banyak orang. Dan hasilnya akan keluar besok. Aku yakin aku baik-baik saja karena aku tidak menampakkan gejala, begitu juga istri dan anakku. Tapi pikiran ini tidak bisa dicegah untuk tidak rileks. Tetap saja adegan-adegan horor berkelibatan di pikiran. Sampai akhirnya berhasil menembus ke alam bawah sadar, menjadi mimpi. Mimpi sialan. Bikin panik aja.

Senin, 21 September 2020

HARGA DIRI LAKI-LAKI

 "Akses bandara ditutup, Bli."

"Apa? Darimana infonya?"

"Sudah nyebar beritanya dimana-mana, grup whatsapp juga banyak."

"Lah, terus rencana tamu yang datang bulan depan bagaimana?"

"Entahlah, Bli. Sepertinya semuanya dibatalkan. Aku juga bingung. Kita sebagai driver yang membawa tamu wisatawan jadi buntu."

Percakapan dengan temanku beberapa waktu yang lalu membuatku stres. Benar adanya berita penutupan bandara. Aku konfirmasi ke atasanku, dia membenarkan. Aku tidak bisa protes, bosku juga tampak bingung. Seperti aliran sungai yang tiba-tiba berhenti karena ada bendungan besar, itulah kondisi kami. Air menjadi diam dan tidak mengalir.

Di rumah, aku semakin stres. Hari pertama aku tidak bekerja, istriku menanyakan kenapa tidak bekerja. Akhirnya aku ceritakan semuanya, kondisi kami sebagai pelaku bidang wisata. Istriku juga kaget, ternyata dia sudah menduga hal itu. Dan ketakutannya terjadi. Istriku seperti biasa menenangkanku meskipun dia sendiri juga tidak tenang. Setidaknya dengan kata-kata yang diucapkannya, hatiku sedikit tenang, hanya sedikit. Pikiranku tetap berputar-putar tidak menentu. Bagaimana aku harus mencari nafkah sedangkan kebutuhan hidup terus berjalan. Aku tidak punya kemampuan lain selain menyetir. Puluhan tahun sudah aku jalani.

"Ma, bagaimana ya ini?" Tanyaku suatu hari.

"Entahlah, Pa. Mungkin bikin usaha kali ya? Jualan roti mungkin. Tabungan kita masih cukup buat dua bulan kedepan. Tapi kalau tabungan kita buat modal usaha, uang tabungan cuma cukup buat satu bulan saja."

"Tapi Papa ga bisa bantu, Ma. Tahu sendiri kan, Papa ga bisa masak."

"Papa bantuin belanja aja ya. Biar Mama disini bikin dan promosi lewat medsos. Nanti Papa juga bantu kirim kalau ada yang pesan. Kita mau sewa tempat uangnya juga kurang. Ga ada uang buat makan nanti."

"Iya, Ma. Papa basti bantu sambil cari-cari pekerjaan apa yang bisa dilakukan."

Istriku tersenyum mendengar jawabanku. Beruntung sekali aku punya pendamping hidup seperti istriku.

Berjalan satu bulan, usaha yang dijalankan hanya menghasilkan hasil yang sedikit, jauh sekali dari pendapatanku yang biasanya aku hasilkan. Pekerjaan juga tidak kunjung aku temukan. Keadaan semakin susah. Banyak perusahaan tidak membutuhkan karyawan baru, malah menguranginya. Aku semakin stres, merasa bersalah pada keluargaku. Stresku aku lampiaskan dengan minum alkohol. Istriku tidak pernah protes karena tahu keadaanku. Kebiasaanku minum alkohol semakin parah. Sebelumnya saat berkerja, memang aku suka minum tapi tidak sering karena waktuku habis untuk bekerja.

Penampilanku tidak terlihat terawat. Aku sudah cuek. Tubuh semakin kurus, kumis dan brewok aku biarkan tumbuh, apalagi rambut, jangan tanya keadaannya.

Melihatku amburadul, istriku pernah menanyakan, "Papa ga potong rambut? Ini Mama ada uang. Masih cukup buat makan dan modal besok."

Aku jawab, "Ga usah, Ma. Mending buat makan aja. Disimpen aja siapa tahu besok butuh."

Hatiku berat menerima bantuan dari istriku. Padahal buat potong rambut biayanya murah. Entah kenapa hatiku menolak, merasa bersalah dan tidak tega. Untuk rokok setiap hari pun istriku membelikan. Itu yang membuatku lebih berat. Ingin menolak tapi dia tahu aku perokok. Tanpa itu, keadaanku menjadi lebih buruk. Istriku tahu hal itu.

Berjalan dua bulan, usaha istriku mengalami peningkatan meskipun tidak banyak. Karena ini usaha online, keuntungannya tidak mungkin sebanyak kalau punya kios sendiri. Tapi hasilnya cukup untuk menambah biaya produksi, lebih banyak produksi lebih banyak keuntungannya. Pendapatan setiap harinya pun bertambah. Lauk makan bisa lebih enak dari bulan lalu.

Tapi nasibku sebagai pelaku bidang wisata belum menemukan kabar baik. Tidak jelas kapan semua akan kembali normal. Tanah kelahiranku benar-benar mengandalkan pariwisata karena keindahan alamnya. Semua bagian di sektor wisata benar-benar berhenti.

Kebiasaanku minum menjadi lebih buruk. Tapi aku tidak pernah meminta uang untuk membeli minuman alkohol kepada istriku. Tidak tega. Aku mendapatkannya selalu dari teman. Kebetulan beberapa temanku adalah pengusaha. Meskipun usahanya juga merosot tapi masih bisa membeli banyak hal karena tabungan mereka memang banyak. Beda denganku yang hanya supir freelance yang mendapatkan uang per perjalanan.

Istriku membiarkan kebiasaan burukku. Daripada stres, mending melakukan apa yang disuka selama tidak membebani. Mungkin begitu pikir istriku. Bahkan, ketika aku terlihat sangat capek, beberapa kali dia menawarkan untuk memijiti.

Tiga bulan tidak menemukan pekerjaan, keadaan ternyata belum juga membaik, aku memutuskan untuk mencari pekerjaan langsung ke tempat, tidak mengandalkan info dari teman-temanku. Aku berpamitan kepada istriku, setelah aku mengantar orderan aku tidak pulang langsung. Aku mau mencari pekerjaan. Istriku mengiyakan dan mendoakan. Aku tidak bisa terus menjadi pengangguran. Kasihan keluargaku.

Saat di jalan, setelah mengantar orderan, aku melihat kiri-kanan. Memang tidak ada terpampang tersedia lowongan pekerjaan. Tapi aku masuki satu-satu bertanya apa ada lowongan pekerjaan. Hampir semua menjawab tidak ada. Aku bisa maklumi karena memang keadaan sedang sulit. Sudah tiga jam aku di jalan, usahaku sia-sia. Peluh sudah membasahi baju dan kepalaku. Aku memutuskan untuk pulang.

Sesampainya di rumah, istriku bertanya, "Bagaimana, Pa?"

"Ga ada, Ma. Tiga jam yang sia-sia."

"Yang sabar, Pa. Kalau Tuhan sudah berkehendak, pasti nanti dapet kerjaan. Makanya Papa kurangi minumnya, biar pas sembahyang berdoanya lebih bersih."

Aku kaget mendengar jawaban istriku. Baru kali ini dia menyindir, meski sangat halus. Mungkin memang waktunya aku mengurangi, dan mulai mengurus diri. Akhir-akhir ini memang sembahyang jarang dilakukan. Pikiranku lebih fokus ke kehidupan duniawi. Stres melanda. Itu yang mendominasi.

Empat bulan sudah aku menganggur. Aku mulai berdamai dengan keadaan dan fokus membantu istriku sebisaku.  Aku tidak mau membiarkan istriku sibuk sendiri. Tapi keadaanku tetap menjadi beban tersendiri. Aku tetap mencari-cari pekerjaan yang bisa dilakukan. Usaha istriku memang sudah bisa memenuhi kebutuhan makan setiap hari, tapi tidak bisa untuk cicilan-cicilan yang selalu menunggu.

Teleponku berdering, ada pesan masuk. Ternyata dari temanku, mengabarkan ada pekerjaan harian yang bisa dilakukan. Sedikit mengembang dadaku, sedikit ada harapan. Aku tahu hasilnya tidak terlalu banyak tapi cukup untuk menafkahi keluargaku. Menjadi orang gudang penyimpanan popok bayi. Tugasnya memindahkan barang dari truk ke gudang. Tidak menggunakan alat karena tidak tersedia. Jadi barang dipindahkan secara manual, menggunakan tenaga manusia.

Aku mulai menjalani profesi itu. Tidak tentu setiap hari aku bekerja. Hanya saat barang datang baru aku bekerja. Hasilnya cukup untuk membeli rokokku dan sisanya aku berikan semuanya ke istriku. Hasilnya memang tidak banyak tapi lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Tubuhku menjadi kurus dan sedikit gelap. Tapi aku tidak peduli. Meskipun tetanggaku bicara berbagai hal tentang pekerjaan ini di belakangku, aku sangat tidak peduli, begitu juga dengan istriku.

Memasuki lima bulan dari pertama aku "putus kerja", kabar sektor wisata juga tidak kunjung membaik. Pekerjaanku sebagai petugas gudang juga berkurang penghasilannya. Datangnya barang tidak sesering bulan lalu. Mungkin karena permintaan berkurang dan daya beli masyarakat juga berkurang. Tapi tetap aku lakukan pekerjaan itu, menghilangkan stresku karena terlalu lama diam di rumah.

Harga diri seorang laki-laki adalah bekerja bukan? Tapi bagaimana kalau tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan? Bagaimana kalau punya pekerjaan tapi tidak cukup untuk menafkahi? Ternyata harga diri laki-laki bukan sepenuhnya bekerja. Tapi harga diri laki-laki adalah perempuan pendamping hidupnya yang mampu menguatkan laki-lakinya dalam kondisi terpuruk dan tetap menjaga reputasi keluarganya dengan tidak menceritakan ke dunia luar, seperti marah-marah sampai tetangga dengar, update status di media sosial tentang keadaan  keluarganya, dan masih banyak lagi. Harga diri laki-laki akan tetap utuh, dengan selalu dijaga oleh pendamping hidupnya dalam keadaan apapun. Perempuan yang bisa menahan laki-lakinya tidak terperosok ke dasar saat terjatuh dan menahan laki-lakinya tidak lepas tanpa arah saat terbang tinggi melayang, adalah juru kunci harga diri laki-laki. Laki-laki tanpa juru kunci hanyalah manusia tanpa arah yang lambat laun akan kehilangan harga diri.

Entah kapan pandemi ini berakhir, pekerjaanku akan kembali, dan semuanya pulih. Tapi aku tenang, istriku adalah perempuan juru kunci terbaik. Dan aku akan tetap menjaganya sebagai perempuan juru kunci terbaik.

PESAN UNTUK ISTRI

 "Tolooong! Tolooong!"

Saat itu masih jam tujuh pagi. Aku kaget mendengar suara orang minta tolong. Bergegas aku membuka pintu dan salah satu tetanggaku terlihat menuju rumah tetanggaku yang lain. Pasti ada yang tidak beres ini. Aku curiga. Langsung saja spontan aku juga lari menuju tetanggaku yang berlari menuju rumah tetanggaku yang lain, tanpa tahu apa yang terjadi.

Tetanggaku yang berlari tadi menuju rumah Pak Kar. Dua orang anaknya menangis panik di teras depan. Apa yang terjadi? Aku memutuskan bertanya. Tetanggaku yang berlari tadi sudah di dalam rumah Pak Kar sepertinya.

"Ada apa, Dek?"

"Om, tolongin bapak, Om. Bapak, Om, di dalem," salah satunya menjawab dengan terisak-isak.

Aku tidak bertanya lebih jauh lagi. Aku dengar suara tangisan lebih histeris, suara istri Pak Kar. Spontan saja aku masuk tanpa permisi. Sumber suara tangisan histeris Bu Kar ada di kamar mandi. Aku menuju ke sana.

Aku menemukan kejadian di luar dugaan, karena memang tidak pernah punya bayangan apa-apa sebelumnya. Di kamar mandi, tetanggaku yang lari tadi sudah dalam posisi menggopoh Pak Kar, berusaha membantu berdiri. Hanya berbalut handuk di bagian pinggang, Pak Kar terlihat menahan sakit. Astaga, aku baru sadar dan itu butuh beberapa detik untuk aku menyadari, Pak Kar jatuh di kamar mandi. Tetanggaku yang membantu terlihat kesulitan dengan tubuh Pak Kar yang sedikit berisi, istrinya berusaha menggopoh lengan yang lain tapi percuma karena bertubuh kecil, dan juga menangis histeris tidak jelas apa yang diucap. Sontak aku juga menghampiri berusaha menolong, menggantikan posisi Bu Kar.

Memang agak berat karena tubuh Pak Kar agak besar. Atau mungkin karena tubuh Pak Kar yang tiba-tiba lemas, jadi terasa lebih berat. Aku sempat memandang tetanggaku saat berusaha menggopoh, diapun sama balik menatap, saling tatap mata seperti sedang berkomunikasi lewat telepati.

Setelah berhasil membuat Pak Kar berdiri, kami berusaha mengeluarkan. Sedikit hambatan muncul. Pintu kamar mandi tidak cukup untuk kami bertiga keluar, aku menggopoh Pak Kar sebelah kanan dan tetanggaku sebelah kiri. Sedangkan kami sedang membawa beban tubuh Pak Kar yang berat. Pak Kar tidak pingsan, tapi kakinya lemas tidak bisa digerakkan.

"Gimana ini, Mas?" Tanyaku kepada tetanggaku, nafas sudah mulai tersengal-sengal menahan beban.

"Apa kita miring aja, Mas?" Jawabnya, juga tersengal-sengal.

"Bisa ga, Mas?" Aku bertanya lagi sedikit pesimis, melihat luas kamar mandi yang sudah sesak untuk kami. Di dalam kamar mandi ada empat orang, Aku, tetanggaku, Pak Kar dan Bu Kar yang masih menangis histeris.

"Coba aja, Mas. Mas bergerak ke depan, saya ke belakang, setelah itu kita jalan miring. Bu Kar agak ke pojok ya posisinya. Kita mau miring, biar bisa keluar." Jawabnya juga memberikan instruksi ke Bu Kar.

Tidak usah dimulai hitungan, kami langsung bergerak, memutar melawan arah jarum jam. Setelah berhasil, sedikit kesusahan karena luas kamar yang sempit, aku mulai memberikan aba-aba keluar pelan-pelan. Ternyata susah. Tubuh Pak Kar terasa lebih berat. Pak Kar juga terlihat hampir tidak sadarkan diri.

"Aduh susah, Mas. Gimana ini?" Aku bertanya lagi, memang susah.

"Iya ternyata susah. Apa kita gendong aja, Mas?" Jawab tetanggaku juga memberikan saran.

"Boleh, Mas. Aku gendong dari kanan, Mas dari kiri. Apa bisa lewat pintu ya?"

"Ya dipaksa aja, Mas. Pasti bisa." Tanggapnya tegas. Bu Kar masih menangis histeris.

Aku dan tetanggaku mulai membalikkan posisi semula, susah payah. Tenaga seperti cepat terkuras. Kemudian kami mulai menggendong, ternyata Pak Kar masih sadarkan diri. Pak Kar menahan kepalanya tegak. Kami mulai keluar melewati pintu. Benar saja, susah sekali. Menggendong membuat kami mengangkat beban yang lebih berat. Tapi karena posisi si penggendong, aku dan tetanggaku, miring, sepertinya ada harapan kami bisa melewati pintu. Bergerak keluar, punggungku dan tetanggaku menghantam tepian pintu. Sakit mulai terasa tapi kami lanjut. Untungnya jarak pintu dan kasur cuma sekitar dua meter, model kamar dengan kamar mandi di dalam kamar. Susah payah melewati, akhirnya berhasil. Tapi kami masih membawa beban tubuh Pak Kar. Tanganku sudah gemetar dan aku terus berdoa semoga kuat. Akan jadi lebih rumit kalau tiba-tiba tanganku lepas menahan dan tubuh Pak Kar terjatuh.

Akhirnya, kami bisa membawa Pak Kar sampai ke kasur. Bu Kar langsung mengambil baju dan memakaikannya ke Pak Kar yang cuma berbalut handuk di pinggang. Ternyata di luar kamar sudah banyak tetangga yang lain datang melihat, entah mau membantu atau penasaran saja.

"Gimana ini terus, Mas?" Tanyaku kepada tetanggaku, juga terlihat bingung. Lanjutku, "Apa di bawa ke rumah sakit?"

"Iya, Mas. Ke rumah sakit aja. Tapi naik apa ya? Apa panggil ambulans?" Responnya, juga masih sedikit bingung.

"Iya telepon ambulans aja. Bentar aku teleponkan." Aku keluar dari rumah Pak Kar meninggalkan suara riuh tetangga-tetangga yang datang melihat. Ternyata istri dan anakku juga sudah di luar tapi tidak berani masuk.

"Sayang, hapeku dimana?" Tanyaku ke istriku.

"Ini aku bawa," jawabnya dengan muka penasaran ingin bertanya apa yang sudah terjadi.

Aku mencari-cari nomer ambulans lewat google, ternyata susah. Kenapa tidak ada muncul di website-nya. Apa karena aku juga ikutan panik jadi tidak teliti. Aku tanya istriku, istriku juga menjawab tidak tahu. Aku langsung menghampiri tempat tadi, bilang ke tetanggaku.

"Mas, tahu ga cara menghubungi ambulans gimana?"

"Waduh, saya juga ga tahu, Mas," dia bingung, aku pun bingung. Aduh bagaimana ini, ucapku dalam hati. Dia melanjutkan, "Saya ada temen deket sini sih, punya mobil. Siapa tahu bisa dipinjem."

Eh, kenapa aku tidak berpikir dari tadi untuk cari pinjaman mobil ya? Panik membuatku buntu pikiran.

"Boleh banget, Mas." Jawabku.

Tetanggaku langsung keluar menghubungi. Bu Kar tidak aku ajak komunikasi karena menangis histeris dan panik, mengoceh tapi tidak aku dengarkan. Pikiranku tidak di tempat itu. Percuma juga sepertinya menenangkan orang yang sedang menangis histeris. Tak lama, tetanggaku datang.

"Bisa dipinjem, Mas. Bentar lagi diantar katanya."

Syukurlah. Tapi mau dibawa kemana Pak Kar setelah ini? Aku bertanya ke Bu Kar, karena keluarga yang punya hak memutuskan.

"Buk, mau dibawa ke rumah sakit mana bentar lagi?"

"Ga tahu sudah, Mas. Dimana aja yang penting bapak sembuh, Mas." Bu Kar berbicara sambil menangis.

Lah? Kok malah dilempar begini? Melihat orang panik aku juga ikut panik.

"Pak Kar punya asuransi, Buk?" Tanyaku lanjut.

"Ga punya, Mas, kayanya. Gimana terus ini, Mas." Jawab Bu Kar, masih panik.

Aku bertanya karena melihat kondisi keluarga Pak Kar. Sepertinya akan sedikit berat kalau tidak punya asuransi. Entahlah apa yang aku pikirkan, tiba-tiba bertanya pada Pak Kar yang terbaring lemah, "Pak Kar, punya asuransi dari kantornya Pak Kar?"

"Ga, Mas." Suara Pak Kar lirih tapi aku masih bisa mendengarnya. Hatiku sedikit lega mendengar Pak Kar menjawab, dia masih sadar.

Aku berpikir keras, bagaimana ini solusinya. Kalau tidak ada asurasi, mau bilang pakai umum pasti mahal jadi tidak tega. Salah satu tetangga masuk dan bilang, "Ke rumah sakit umum aja, Mas." Kemudian mendekat ke Pak Kar dan bertanya, "Pak Kar, kakinya kesemutan?"

"Iya." Suara Pak Kar masih lirih.

Tetanggaku yang lain tersebut mengernyitkan dahi, mengajakku keluar dari kamar, mau bicara. Anak tertua Pak Kar juga dipanggil.

"Sepertinya Pak Kar kena gejala stroke. Sebaiknya secepatnya dibawa biar ga terlambat, biar ga lebih parah." Ucapnya serius.

Spontan anak Pak Kar menangis menahan suaranya keluar. Aku juga kaget. Aku tidak pernah langsung menyaksikan bagaimana orang terkena gejala stroke. Aku juga ikut khawatir padahal aku cuma tetangga.

Tetanggaku yang mencari pinjaman mobil datang, kemudian bilang, "Mobil sudah di depan Mas. Ayo diangkat."

"Tapi ke rumah sakit mana ini, Mas? Rumah sakit umum agak jauh. Sedangkan katanya Mas Andre, Pak Kar kena gejala stroke. Di sebelah selatan sini ada rumah sakit yang lebih deket, tapi swasta. Dan juga Pak Kar ga punya asuransi kesehatan. Gimana ya, Mas?" Tanyaku dengan menjelaskan keadaan.

"Yang penting dibawa dulu yang terdekat aja mas daripada terlambat. Masalah biaya biar nanti kita hubungi keluarganya. Sekarang kita bawa ke rumah sakit swasta yang ada di utara aja, Mas." Intruksinya tanpa ragu.

Kemudian kami masuk lagi ke kamar dan bicara ke Bu Kar yang masih menangis. Kami jelaskan keadaannya, dan saran kami dibawa ke rumah sakit swasta. Bu Kar mengiyakan, meskipun aku yakin dia tidak sepenuhnya paham. Bergegas Bu Kar menyiapkan segala keperluan penting yang akan dibawa ke rumah sakit.

Pak Kar kami angkat menuju mobil. Empat orang membantu mengangkat, termasuk aku. Tapi ini lebih ringan karena tadi hanya diangkat dua orang. Sampai di mobil, memasukkanya juga susah. Pintu mobil yang kecil menjadi halangan. Tapi kami berhasil. Tetanggaku yang membatuku pertama tadi akan mengemudikan mobil, kemudian bertanya, siapa saja yang ikut untuk nanti membantu mengangkat Pak Kar sesampai di rumah sakit. Aku menunggu tetanggaku yang lain mengajukan diri, ternyata semuanya diam. Mau tidak mau, karena tidak tega, aku saja yang ikut, meskipun sebenarnya tanganku sangat lelah dan sedikit gemetar. Mungkin tetanggaku takut dengan berita virus pandemi, takutnya yang tiba-tiba stroke adalah yang terinfeksi virus. Aku tidak berpikir sejauh itu. Yang aku pikirkan cuma ingin membantu dan kasihan melihat keluarganya menangis.

Kemudian kami berangkat. Bu Kar dan anak sulungnya juga ikut. Tetanggaku yang mengemudikan menancap gas, sedikit panik karena Bu Kar masih menangis histeris.

Sesampainya di rumah sakit, mobil langsung menuju IGD, disambut oleh petugas berpakaian APD lengkap. Protokol kesehatan di rumah sakit mewajibkan hal seperti itu, karena pandemi, karena virus yang masih tidak jelas definisinya, hanya santer pemberitaannya di media.

Setelah Pak Kar ditangani, Bu Kar dan anaknya juga masuk ke ruangan IGD, aku dan tetanggaku yang menyetir tadi  berjalan menjauh mencari tempat yang bisa untuk merokok. Kami sulut rokok masing-masing, berusaha bersantai setelah ketegangan tadi.

"Aku kaget tadi Mas Indra, lihat Mas lari ke rumah Pak Kar, aku jadi ikut lari." Tanyaku memulai obrolan.

"Saya juga kaget, Mas. Tadi saya santai-santai di depan rumah, kok ada yang teriak minta tolong. Spontan aja saya lari. Belum ada orang keluar di sekitaran rumah tadi." Jawab tetanggaku, Mas Indra, yang berusaha bersantai sambil mengudut.

"Kasihan Pak Kar ya, Mas."

"Saya sudah firasat sih, Mas." Mas Indra berkomentar, membuatku kaget dan penasaran.

"Emang kenapa Pak Kar, Mas?" Aku menunggu jawaban Mas Indra lebih panjang karena penasaran.

"Belakangan ini Pak Kar sering main ke tempat saya, Mas. Tiba-tiba saja Pak Kar cerita kalau istrinya cerewet, ngoceh ini itu. Saya kan kaget Pak Kar cerita seperti itu. Itu kan masalah pribadi, masalah rumah tangga. Mau ga mau ya saya dengerin, Mas. Akhirnya, menghargai Pak Kar yang ngajak ngobrol, saya tanya kenapa kok istrinya ngomel? Pak Kar jawab tempat kerjanya sepi karena efek pandemi. Ga ada pekerjaan katanya. Tapi kalau Pak Kar di rumah aja, istrinya marah-marah, nanti makan bagaimana, disuruh cari pekerjaan yang lain, yang penting dapet uang. Mas Dana tahu sendiri kan Pak Kar mesti berangkat kerja pagi-pagi? Sebenarnya itu ya cuma tiduran aja di kantornya. Biar ga diomeli. Nyampe rumah diomeli lagi karena ga bawa uang. Ya mau gimana lagi, Mas. Banyak yang lagi susah karena pandemi. Tapi istrinya ga mau ngerti." Cerita Mas Indra cukup panjang.

Aku manggut-manggut seperti mulai memahami kenapa Pak Kar mengalami musibah seperti itu.

"Apa Pak Kar memendam semuanya ya, Mas? Maksudnya mau marah tapi dia pendam. Mau curhat ke orang tapi terbatas, ga mungkin semua uneg-uneg tentang keluarga Pak Kar diceritakan." Tanyaku penasaran lebih lanjut.

"Saya juga mikir gitu, Mas. Kan aneh tiba-tiba Pak Kar cerita masalah keluarganya ke saya yang cuma tetangga. Kalau kata tetangga yang lain sih, emang sering sih akhir-akhir ini istrinya marah-marah, sejak kerjaannya Pak Kar berkurang." Mas Indra berpendapat.

"Jadi Pak Kar ini stres ternyata sepertinya, Mas. Apa mungkin tadi jatuh karena pembuluh darahnya pecah ya, Mas?"

"Sepertinya emang stres, Mas, dimarah-marahi terus sama istrinya. Kalo pembuluh darah pecah, berarti stroke ya? Mudah-mudahan kita salah, Mas. Kasihan Pak Kar. Kita doakan yang terbaik aja." Lanjut Mas Indra.

"Iya Mas. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang buruk. Semua ini kayanya ulah pandemi. Semua karena virus. Banyak orang stres dan sayangnya tidak bisa mengontrol emosi. Tensi jadi naik, karena keadaan ekonomi tiba-tiba turun drastis. Ternyata efek pandemi bisa separah ini." Aku bicara sekaligus dalam hati bersyukur, kerjaanku tidak terlalu terdampak oleh pandemi dan istriku adalah orang yang mengerti dan memahami.

Sabtu, 19 September 2020

KUMENANGIS MEMBAYANGKAN

 "Mas, kamu ternyata selingkuh! Begini kelakuanmu selama ini? Aku capek-capek ngurusin anak di rumah, ternyata begini kelakuanmu di belakangku! Tega kamu, Mas. Tega!"

"Bukan begitu, Tin. Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini sebenarnya.."

"Ah, sudah, Mas! Aku capek dengan ini semua. Kamu tahu? Banyak orang di lingkungan kita sedang membicarakan kamu, Mas! Aku lebih mempercayai kamu daripada mereka. Yang ngelihat kamu berduaan sama cewe lah, yang kamu sedang bermesraan lah. Aku tidak percaya, Mas. Tidak pernah mempercayai mereka. Tapi sekarang, ternyata benar! Kamu tega, Mas! Ini wanita simpananmu, hah?"

Wanita yang bersama Haris terlihat salah tingkah. Tina mempergoki Haris karena sudah tidak tahan dengan omongan tetangga. Akhir-akhir ini memang gelagatnya mencurigakan. Setiap Tina mencuci baju Haris, bau parfum seperti kepunyaan wanita selalu menempel. Dan terakhir yang membuatnya benar-benar di ujung puncak kecurigaan adalah ditemukannya bekas lipstik di baju kerja Haris. Akhirnya Tina memutuskan mengikuti Haris untuk menyelidiki.

Wanita yang bersama Haris, tiba-tiba berdiri dengan wajah yang sinis dan meremehkan.

"Oh, ini istri kamu, Mas? Pantesan kamu ga betah di rumah. Dekil, ga bisa dandan, dan pakaiannya cuma gini? Lebih pantes jadi pembantu daripada istrinya Mas Haris."

Sontak emosi Tina terpancing.

"Apa kamu bilang? Heh, jaga mulutmu perempuan gatel! Dasar pelakor, kamu tahu Mas Haris sudah punya istri dan anak, kan? Dasar wanita murahan!"

Wanita simpanan Haris juga mulai marah, dan menunjuk-nunjuk saat bicara.

"Jaga mulutmu, pembantu norak! Coba kamu tanya sama Mas Haris, siapa yang pedekate duluan? Kalo dia ga deketin aku, ngapain aku tergoda.  Masih banyak pria di luaran sana yang mau sama aku! Ya pantesan aja lah kamu diselingkuhin. Dandanan pembantu kaya gini. Sedangkan lihat Mas Haris, ganteng, gagah, kaya lagi."

Tina menjadi lebih muntap.

"Jangan kurang ajar kamu, dasar pelakor!" Tina mulai mendorong dengan wajah murka. Wanita yang dituduh pelakor pun sedikit terhuyung ke belakang. Dia tidak terima dilakukan seperti itu. Lantas dia juga membalas dengan mendorong balik sedikit lebih keras. Tina terjatuh dan kepalanya terbentur di tembok dekat mereka. Seketika Tina tidak sadarkan diri.

"Tina!" Haris berteriak meraih Tina. Lanjutnya, "Apa yang kamu lakukan, Tami?"

"Aku, aku, tidak sengaja, Mas." Ucapannya bergetar. Tami, nama perempuan itu, terlihat bingung dan takut.

"Tina, bangun, Tin." Haris mencoba membangunkan Tina dengan menangis. "Tolong! Tolong!"

Keributan itu membuat beberapa orang yang ada di cafe mendatangi mereka. Salah satu orang menghampiri Tina, dan langsung memeriksa nadi yang ada di tangannya.

"Innalillahi wainnailaihi rojiun. Mbak ini sudah meninggal, Mas," ucapnya dengan nada datar, berusaha terdengar prihatin.

"Apa? Tina, Tin. Bangun, Tin. Aku menyesal dengan perbuatanku! Banguuuun, Tin!" Haris menangis histeris.

Tami, melihat kejadian itu, langsung berpikir untuk kabur. Kemudian dia berlari menjauh keluar.

"Tami! Jangan kabur kamu!" Haris berteriak marah melihat Tami yang berusaha melarikan diri.

Orang-orang yang berkerumun tadi mulai mengejar Tina dan Haris masih menangisi Tina ya sudah meninggal. Tidak ada darah di sana, tiba-tiba saja Tina meninggal karena terbentur tembok.

Tami ketakutan melihat dirinya dikejar beberapa orang. Pikirannya kalap dan tidak fokus. Sesampainya di jalan, tiba-tiba terlihat mobil yang sedang melaju. Langsung saja mobil itu menabrak Tami dan dia terjatuh. Mobil tidak berhenti dan langsung saja pergi setelah menabrak. Orang-orang yang mengejar tadi melihat itu, hanya menyaksikan mobil yang pergi, tida berusaha mengejar, dan menuju Tami. Tami tergeletak, tanpa darah bercucur. Salah satu menghampiri, memegan tangan Tami seperti memeriksa nadi. Ternyata Tami sudah meninggal.

"Innalillahi wainnailaihi rojiun. Wanita ini sudah meninggal," ucapnya kepada yang lain yang ikut mengejar Tami. Yang lain pun juga spontan berucap innalillah.

Tiba-tiba Haris berada di antara mereka dan menghampiri Tami. Melihatnya terkapar tidak bergerak, Haris menangis histeris, lagi.

Seperti biasa, setelah adegan tangis-tangisan seperti itu, suara penyanyi wanita muncul. "Kumenangiiiiis, membayangkaaan..."

Ah, ternyata sudah selesai. Seperti sebelum-sebelumnya, ending cerita ini tanggung. Mungkin sudah ketiga kalinya aku menonton episode ini. Aku melihat jam, masih jam empat sore, masih ada lagi episode lain yang akan tayang. Mungkin yang ini akan lebih seru, pikirku. Dan aku lihat tanggal di layar smartphone-ku. Masih empat hari lagi sisa isolasi mandiriku pasca divonis positif virus, meskipun aku tidak merasakan gejala-gejalanya. 

Selama isolasi, tiba-tiba tontonan konflik hubungan, antara dua pasangan kemudian salah satu selingkuh dan kebanyakan si wanita yang selalu tersakiti, menjadi favoritku. Lebih baik dari menonton stasiun televisi lain yang selalu menayangkan berita tentang virus pandemi, yang isinya selalu menyeramkan untukku, mungkin untuk kebanyakan orang lain juga. Media sekarang menyedihkan, membuat sedih banyak orang, lebih sedih dari adegan tersedih tontonan favoritku, yang jauh lebih banyak menghibur orang.

Kumenangiiiiiiiis, membayangkaaaaaaaan...

Jumat, 18 September 2020

SIGNORA (BAGIAN TERAKHIR)

 Virus telah masuk ke negaraku. Diberitakan di hampir semua televisi nasional, pasien pertama, kedua, dan ketiga. Sepertinya semua penduduk ibukota panik termasuk aku dan semuanya yang ada di lokalisasi. Padahal jarak negara pertama yang terinfeksi sangat jauh. Dan dalam hitungan bulan, negaraku juga terjangkit diawali dengan pasien satu, dua, dan tiga yang diumumkan salah satu juru bicara presiden pada press conference.

Untuk apa aku panik? Aku melihat semua orang di sini baik-baik saja. Setidaknya aku memperhatikan berita selanjutnya setelah pengumuman pasien pertama, berita tentang gejala-gejala yang ada pada orang yang diduga terinfeksi virus. Aku bisa menahan kepanikan dengan pengetahuan yang tidak sengaja aku tahu. Semua orang panik, mendadak semua membicarakan itu. Padahal jangankan bicara, tahu virus itu saja tidak.

Setelah itu, di tengah kepanikan yang terjadi, entah kenapa firasatku baik. Aku belum menyadari kenapa perasaanku sangat ringan. Sampai setelah kasus terinfeksi bertambah, pemerintah menerapkan pola hidup baru, jaga jarak atau kerennya social distancing. Aku sadar, itulah kenapa firasatku bagus. Harus jaga jarak? Apakah artinya kerumunan dan segala aktivitasnya akan segera dilarang?

Benar sekali dugaanku. Peningkatan angka orang terinfeksi semakin tidak terkontrol. Banyak yang mulai berspekulasi, menyalahkan, dan sedikit yang tetap optimis memberi semangat. Aku tidak peduli itu semua. Yang jadi perhatianku bagaimana pola jaga jarak ini akan mengontrol semua aktivitas yang melibatkan kerumunan, termasuk tempatku ini, jurang yang dalamnya tidak terlihat.

Pemerintah tidak bisa melakukan sistem isolasi negara atau lock down seperti yang dilakukan negara-negara lain. Bagaimana mungkin? Kalau itu diterapkan, siapa yang akan memberi makan dan menghidupi semua yang diisolasi? Negara lain yang melakukan itu adalah negara maju. Anggaran sudah mereka persiapkan untuk wabah ini. Tapi negara kita? Jangan tabungan, hutang saja belum lunas.  Tapi, sebagai usaha untuk menangani ini, pemerintah membuatnya dengan istilah dan sedikit modifikasi. Pembatasan sosial berskala besar. Pembatasan aktivitas bukan berarti tidak beraktivitas, hanya sektor tertentu saja yang boleh. Bagaimana tempatku? Aku berharap tempatku terkena aturan tidak boleh beroperasi.

Sejak PSBB diumumkan, pelaksanaanya tidak mulus seperti yang dikira. Namanya masyarakat, butuh sosialisasi dulu untuk mengerti. Maka, tahap pertama, melakukan sosialisasi langsung terjun ke lapangan, selain terus gencar di media elektronik maupun cetak. Belum sampai itu tantangannya. Ternyata banyak yang masif tidak terima. Pendapatan akan menurun, rata-rata itu alasannya. Tapi memang benar, tapi PSBB dilakukan untuk kesehatan semua. Negara maju yang sakit pun lama-lama juga bobrok. Salah satunya yang menolak ada Mami Bos. Sudah lama tempat ini tidak didatangi petugas berseragam. Sekarang, tiga pihak langsung mendatangi, satpol pp, polisi dan tentara. Kewajiban mereka lah yang memastikan aturan yang dibuat pemerintah berjalan dengan baik. Mungkin pemerintah tahu ini tempat salah satu yang berpotensi membangkang. Maka dari itu tiga pihak langsung dikirim.

"Tapi kami bisa menerapkan apa yang dianjurkan oleh pemerintah, bapak-bapak semuanya." Mami kos melakukan pembelaan ketika mulai berdiskusi dengan pasukan yang datang.

"Tapi, tempat ibu ini harus ditutup sementara bu, sudah masuk daftar "yang harus ditutup". Kalau ibu tidak percaya, baca saja surat edaran yang dikeluarkan." Timpal salah satu petugas yang tampaknya seorang polisi.

Membaca edaran tersebut, Mami Bos mengernyitkan dahi.

"Tapi tidak bisa, Pak. Banyak yang kerja di sini, bagaimana dengan mereka setelah ini? Mereka hanya dapat upah harian, tidak bulanan seperti bapak sekalian." Mami Bos membela lagi, pandai sekali bersilat lidah.

"Tugas kami hanya melaksanakan perintah, Bu. Kalau mau protes, datang saja ke kantor walikota atau gubernur. Yang jelas, kalau ibu mengahalangi kami, ibu melanggar peraturan daerah. Dan resikonya, tempat ini bisa ditutup selamanya." Bapak berpakaian tentara yang terlihat sudah hampir berusia lima puluh tahun mulai maju berbicara. Tapi Mami Bos tidak gentar.

Mami Bos berpikir lagi. Kalau Mami Bos terdesak, biasanya ajudan-ajudan premannya menghampiri dan membela. Sekarang, mereka hanya berdiri jauh di pojokan ruangan, tidak berkutik mirip ayam kedinginan terkena hujan.

Mami Bos benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa kali ini. Hanya memandang sekitar berkali-kali seperti mencari pembelaan. Kalau petugas sudah berbicara, Mami Bos tidak bisa berbuat apa-apa. Tempat ini, tidak boleh beraktifitas sampai waktu yang belum ditentukan.

Bagaimana nasibku? Apakah aku bisa bebas dengan kejadian ini? Aku hanya memperhatikan percakapan dari jauh. Sayup-sayup aku mendengar tapi sebagian besar aku bisa mendengarnya. Setalah itu, setelah menjelaskan beberapa hal kepada Mami Bos, para petugas dari tiga elemen tersebut berpamitan. Mami Bos terlihat kesal tapi tetap berusaha tersenyum.

Para petugas memang berpamitan, tapi datang lagi beberapa petugas lain. Tugasnya memastikan semua pengunjung di tempat ini pergi. Semua aktifitas dihentikan dari musik sampai yang berjualan. Hanya tempat seperti miniarket atau warung saja yang boleh buka. Yang sedang berkumpul juga dibubarkan, tidak ada kerumunan. Setelah kondusif, para petugas pergi dari tempat ini. Tapi selang beberapa jam, akan datang lagi petugas untuk berpatroli, memastikan semua sesuai aturan.

Setelah semua dirasa "aman", Mami Bos mengumpulkan kami semua para karyawannya. Dan mulai membuka obrolan, "Sial sekali kita kali ini. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi secepat ini?" Mami Bos menendang kursi di depannya sampai jatuh.

"Kalian mungkin beberapa dengar percakapanku dengan petugas tadi. Kita disurih tutup sampai waktu yang tidak ditentukan. Tapi feelingku, ini akan sebentar. Paling sebulan lagi atau paling lama dua bulan. Karyawan yang berhubungan dengan makanan minuman, kalian boleh pulang ke kampung masing-masing." Mami Bos mulai memberi perintah. Hatiku mengembang, sepertinya aku juga boleh pulang.

Lanjutnya, "kalian yang melayani tamu, jangan harap kalian bisa pulang. Meskipun tidak ada pekerjaan, kalian harus tetap di sini. Jangan coba-coba kabur. Semua kebutuhan makan kalian ditanggung. Hanya sebatas itu. Hanya untuk makan dan kebutuhan pokok lain."

Aku mengernyitkan dahi. Semangat karena firasat baikku kemarin kandas, tiba-tiba terhempas begitu saja. Aku menunduk. Aku tahu aku tidak punya kekuatan untuk melawan Mami Bos. Yang lain tampak biasa saja, bahkan senang tidak ada pekerjaan tapi tetap diberi makan. Apa hanya aku yang merindukan rumah? Orang di sini semuanya ramah, tidak pernah terjadi suatu pertengkaran yang berarti. Tapi itu tidak cukup untuk membuat tempat ini menjadi rumah baruku. Aku tidak mau menangis meskipun ingin. Aku tidak mau menampakkan aku ingin pergi dari tempat ini.

Entahlah, sesedih apapun karena momen kemarin, firasatku tetap baik. Tugasku di dalam tempat ini sekarang adalah tidak melakukan apa-apa. Hanya berbincang dengan yang lain dan lama-lama membuat kami bosan setelah beberapa hari. 

Satu bulan berikutnya, semua mulai bingung, mulai gelisah dan beberapa terkena demam. Demam? Iya demam, dan itu masuk salah satu gejala virus. Tapi Mami Bos tidak melapor, hanya melakukan pengobatan mandri menggunakan obat-obat yang ada di warung. Tapi kebanyakan panik, pikiran sudah menjalar liar, takut terinfeksi virus juga, takut meninggal. Beruntungnya, yang demam itu sembuh keesokan harinya. Semua kembali lega, karena demamnya hanya demam biasa. Dari televisi mereka mendapat informasi kalau demam yang merupalan gejala adalah demam selama minimal satu minggu. 

Tapi memasuki tiga bulan dari tutupnya tempat ini, Mami Bos lah yang mulai mengernyitkan dahi. Perkiraan dan perhitungannya meleset. Uang cadangan untuk menghidupi seluruh pelayan tamu semakin menipis. Dikiranya setelah dua bulan dia akan bisa menghasilkan uang lagi. Ternyata, semua benar-benar meleset. Mami Bos tidak berani melawan aturan, karena tempat ini benar-benar mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

Singkat cerita, setelah kebingungan dan kegalauannya beberapa hari terkahir, Mami Bos menyerah. Saat itu aku di kamar, tidak melakukan apa-apa selain memainkan smartphone tanpa arah. Ada pesan masuk dari Mami Bos. Semua disuruh berkumpul di ruang tunggu tamu. Aku bergegas ke sana dan masih belum tahu akan ada apa. Mami Bos dan yang lain terlihat hanya diam sesampainya aku di sana. Setelah semua berkumpul, Mami Bos mulai berbicara. Aku baru sadar dia lebih kurus.

"Para daraku, singkat saja, aku tidak akan berlama-lama. Tampaknya aku sudah tak sanggup menanggung kalian. Uangku sudah habis, jujur saja. Maka dari itu, kalian sebaiknya pulang ke rumah masing-masing. Meskipun kalian tidak punya rumah, kalian tidak boleh tinggal di sini. Terserah kalian mau tinggal dimana. Tapi percayalah, aku akan memanggil kalian kalau suasana normal kembali."

Apa? Mimpikah aku? Aku berteriak kencang dalam hati. Sembunyi-sembunyi aku mengepalkan tangan. Nanti dipanggil lagi? Aku memantapkan hati untuk benar-benar pergi dari tempat ini. Aku akan pergi jauh. Nomer teleponku akan aku ganti. Bapakku akan aku ajak pindah. Aku tidak akan terdeteksi.

Aku sekarang sadar, Tuhan Maha Mendengar kepasa siapapun. Tuhan mengabulkan doaku. Aku merasa lebih berdosa karena mengingat aku yang tidak beribadah dan sempat meragukan Tuhan. Aku salah, Tuhan selalu baik kepada siapapun. Akhirnya, aku bisa pulang, benar-benar kerinduan yang sudah memuncak. Kejadian ini benar-benar menyadarkanku akan kuasa Tuhan. Tuhan selalu punya cara yang unik dan tidak pernah terduga untuk menjawab pertanyaan manusia tentang permasalahan kehidupan.

Kamis, 17 September 2020

SIGNORA (BAGIAN 2)

 "Signora, kau tahu kan apa tugasmu? Kau sudah siap? Tenang saja, aku akan pilihkan kau seseorang dengan paras terbaik, agar kecewamu tidak terlalu besar nanti." Mami Bos sedikit serius. Aku hanya diam dan menyanggupi.

Kemudian, setelah "malam pertama" itu, semua berjalan biasa, karena memang terbiasa. Aku sudah ceritakan kalau aku sudah terbiasa dengan kata "terbiasa", kan? Serahkan semuanya pada sang waktu. Itu saja kuncinya.

Dunia ini memang sangat gemerlap. Apapun yang dilarang agama, semuanya ada. Terpaksa aku melakukannya, aku terjebak, lebih tepatnya membuat diriku sendiri terjebak. Gemerlapnya dunia ini juga sempat membuatku lupa bagaimana kondisi bapakku. Sempat aku memohon kepada Mami Bos untuk melihatnya sebentar saja meskipun itu dari jauh, hanya untuk memastikan keadaannya. Tapi Mami Bos menolak. Dia bilang dia yang akan memeriksanya sendiri dan akan dikabarkannya sendiri. Sedikit kecewa tapi itu sudah cukup. Aku hanya ingin tahu kabarnya, dan memberinya sebagian uang yang aku hasilkan. Mami Bos tidak mau membantu untuk keinginanku yang kedua. Terus, bagaimana aku melakukannya? Keluar saja tidak bisa. Setidaknya aku merasa iba pada bapakku, ingin membantunya meskipun uangnya panas. Baru setelah beberapa bulan terkurung, aku tahu aku bisa keluar tapi harus dengan Mami Bos, berbelanja apapun tapi harus dengan Mami Bos. Aku benar-benar menjadi burung dalam sangkar sekarang.

Hari-hari aku jalani dengan siklus yang sama. Dinamika terasa hanya karena bertemu dengan orang yang berbeda setiap harinya. Aku masih muda, tenagaku masih kuat, dan aku cukup menghasilkan uang. Belum setahun pun aku sudah menjadi salah satu produk unggulan dengan biaya mahal.

Tak terasa sudah hampir tiga tahun aku di tempat ini. Entah apa yang sudah menggerogotiku. Entah aku sudah terkena atau belum. Aku juga tidak terlalu bodoh untuk mengetahui dunia ini membawa penyakitnya sendiri, penyakit dengan proses pengrusakan yang lama, dan tanpa penyembuh. Tapi aku tidak takut. Aku tahu menjaga diri, setidaknya itu yang diajari Mami Bos untuk meminimalisir peluang terkena penyakit. Setidaknya itu membuatku tidak takut. Bagaimana dengan dosa? Apalagi itu. Aku tidak berada di lingkungan dengan suasana beribadah dari kecil. Sekolah sudah mengajarkan tapi pelajaran hanya pelajaran, tidak berguna kalau lingkungan sehari-hari tidak singkron. Apa itu dosa? Aku sudah tidak bisa merasakan meskipun aku tahu. Kadang hati kecilku berhasil membujuk kalau itu salah, tapi realita lebih berdaya untuk mengalahkannya.

Yang terngiang hanya tentang bapakku. Berusaha aku melupakan tapi tidak pernah berhasil. Mengingat bapakku setidaknya membuatku merasa aku tidak sendirian di dunia ini. Ada rumah yang masih bisa aku bayangkan. Ada rumah yang masih bisa untuk aku pedulikan. Ada rumah yang masih bisa aku jadikan tujuan untuk pulang. Bantuan Mami Bos tetap tidak membantuku, tidak memuaskan keinginanku. Hanya dalam bentuk ucapan "bapak kau baik-baik saja, Signora" hanya membuatku semakin curiga kebenarannya. Sempat suatu hari aku mendesaknya meminta bukti visual, benar Mami Bos memberikannya. Terlihat bapakku memanggul karung putih terisi botol-botol plastik, sekarung penuh. Bapakku masih terlihat sama, tapi tidak terlihat bersedih karena tiba-aku aku menghilang. Apa Mami Bos pernah memberikan kabar keberadaanku? Aku tidak pernah bertanya, belum berani, melihatnya baik-baik saja sudah cukup bagiku.

Semakin lama semakin memuncak rindu ini. Kehidupan ini, hiruk pikuk dan gemerlapnya, membuatku semakin tidak nyaman. Apa yang bisa dilakukan? Tidak ada. Aku tidak tahu harus bercerita dengan siapa. Aku sudah terbiasa sendiri dan berbicara pada diriku sendiri. Tapi rasa tidak nyaman ini terus menusukku, seperti memberontak harus keluar. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Berdoa? Aku sudah lama melupakan ibadah. Entah aku masih ingat atau tidak melakukannya. Meskipun bisa, aku juga tidak yakin aku diterima. Sudah sekotor ini rasanya sangat tidak mungkin akan diterima.

Tahun ketiga ini benar-benar membuatku ingin memberontak. Tapi berontakku hanya berbentuk tangisan tiap malam. Selesai "bekerja", sebelum istirahat, air mataku selalu jatuh, masih dengan bayangan yang sama, bapakku. Pernah suatu ketika itu masuk ke level lebih tinggi, tangisanku benar-benar menjadi-jadi. Aku berontak, aku hendak berteriak tapi aku sumpal mulutku rapat-rapat dengan bantal agar tidak terdengar sekitar. Tangisan adalah representasi kelemahan, aku tidak mau terlihat lemah.

Mimpi-mimpiku saat terlelap pun di saat-saat terakhir tahun ketigaku hanya tentang bapakku. Entah kenapa aku sangat rindu, padahal aku tidak dekat. Apa benar kata peribahasa? Gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di ujung samudra sangat jelas terlihat. Bagiku ini bukan tentang kesalahan, tapi tentang ikatan batin antara anak dan orang tua. Saat sangat dekat, bertemu setiap hari, ikatan itu seperti lenyap. Saat jauh seperti ini, justru terasa sangat nyata. Ada sesuatu yang biasanya orang sebut rindu.

Perjalanan tiga tahun terakhir ini ternyata benar-benar jalanku mencerahkan pikiranku tentang definisi rumah, tempat kemana aku harus pulang. Keingingan pembuktian yang dulu menggebu-gebu, sekarang hampir lenyap. Apa guna punya segalanya kalau tidak punya tempat untuk pulang? Ada sesuatu dalam diriku yang terus mengucapkan pertanyaan itu, dimanapun dan kapanpun.

Untuk pertama kalinya, dalam tangisan malamku, aku menyebut Tuhan. Aku benar-benar bercerita bebanku. Tangis menjadi, muka merah-semerahnya, mulut terus bercerita dengan suara lirih tapi dalam, dan mengahadap ke atas, seperti untuk pertama kalinya aku merasa aku berbicara di depan Tuhan dan Ia sedang mendengar. Aku sudah tidak peduli aku kotor atau tidak, aku layak atau tidak, aku bisa atau tidak, aku hanya ingin beban dalam tubuhku keluar. Malam itu, setelah mengakhiri dramaku dengan Tuhan, dada ini seperti mulai bisa bernafas. Mulai terasa kelegaan meskipun tidak seluruhnya. Aku hanya ingin pulang, pulang ke rumahku, bapakku, hanya itu inti curhatanku pada Tuhan.

Beberapa malam setelah malam sakral itu, Tuhan seperti benar-benar menunjukkan jawaban pertanyaanku. Awalnya aku tidak mengerti kalau Tuhan menjawab keinginanku, melalui pandemi yang menyerang dunia.

Malam itu, aku berada di ruang tunggu tamu menunggu ada yang "membeli" jasaku sambil menonton televisi. Aku bosan dengan isinya. Aku ganti-ganti saluran semauku, sampai menemukan tayangan yang membuatku tertarik untuk melihat.

"Dikabarkan ratusan orang meninggal karena penyakit misterius yang muncul. Diduga penyakit ini berasal dari virus yang juga tidak dikenal. Menurut pengamatan para ahli, virus ini menyerang saluran pernafasan yang membuat korban tidak bisa bernafas seketika." Suara seorang penyiar berita terdengar dari televisi.

Mataku membelalak, aku setengah kaget tapi tetap antusias menyimak kelanjutan beritanya. Aku simak benar-benar perkataan penyiar di tengah suara musik yang sangat berisik. Ini penting bagiku, setidaknya ada hal yang sama dengan tempat gemerlap ini yang membuatku tertarik memperhatikan. Penyakit. 

Orang sekitarku tidak ada yang memperhatikan, mereka rata-rata sedang ngobrol bercanda dengan orang sebelahnya, atau asyik sendiri denga handphone-nya. Tapi aku serius memperhatikan apa yang diberitakan. Ternyata penyakit ini hanya terjadi di negara tetangga jauh saja, tidak di negaraku. Dan juga hanya menyerang saluran pernafasan, dan itu bukan seperti penyakit di tempatku. Akhirnya berita itu juga ikut membosankan seperti tayangan yang lain. Aku alihkan kebosananku pada handphone-ku seperti orang lain.

Besoknya, dengan situasi yang sama seperti hari sebelumnya, aku bosan menggonta-ganti saluran, dan muncul perkembangan berita tentang virus. Aku simak sekilas, ternyata korbannya bertambah, lebih banyak. Hari berikutnya dan berikutnya, saat aku melihat berita kembali, jumlahnya sudah mencapai ribuan. Dan negara lain sudah juga mengalami penyakit dengan gejala yang sama. Kenapa bisa cepat begini? Aku tidak habis pikir. Virus apa ini? Sepertinya sangat berbahaya. Tidak ada yang tahu itu apa, jenis virus baru. Tapi negara-negara yang terjangkit sangat jauh. Beberapa negara sudah melakukan sistem lock down, melarang orang dari negara lain masuk ke negaranya. Separah itu kah? Pikirku kembali. Aku hanya membayangkan kejadian di negara itu dan mempertanyakan ini itu hanya untuk mengusir kebosananku dan pikiranku tentang pulang.

Sampai pada akhirnya, aku sadar itu adalah jawaban Tuhan untukku, jawaban tentang keinginanku pulang. Tuhan memberikan jawaban dengan menghadirkan penyakit tersebut di negaraku..

Rabu, 16 September 2020

SIGNORA (BAGIAN 1)

 Gemerlap. Dunia ini begitu gemerlap. Entah kenapa aku terjebak di dunia macam ini. Tidak semua orang bisa mengendalikan diri dari godaan, apalagi didorong oleh kebutuhan, ya, apalagi kalau bukan kebutuhan duniawi.

Kadang aku bertanya pada Tuhan, kenapa diciptakan keadaan yang membuat sengsara? Tentunya sengsara menurut pemahamanku. Dan tidak beruntungnya, kenapa aku jadi salah satunya? Salah satu yang menerima keadaan tersebut? Kalau jawabannya adalah takdir, aku sudah tahu itu dari banyak sumber. Tapi hanya itu? Hatiku tidak puas. Tidak ada, atau belum ada, yang bisa mengisi relung hatiku yang kosong yang terus bertanya-tanya ini.

Keadaanku benar-benar di bawah waktu itu. Aku sudah terbiasa seiring berjalannya waktu. Hidup memang seperti itu, setidaknya itu yang aku pahami. Aku memang di bawah, tapi tidak ada yang mempermasalahkan. Banyak orang-orang "atas" yang aku kenal juga termasuk baik, tidak mempermasalahkan siapa aku dan keadaanku. Sampai aku mengenal apa arti di bawah dan di atas saat aku mulai menjalani kehidupan bersosial di tempat bernama sekolah.

Sekolah dasar, tempat pertamaku berkehidupan sosial. Definisi tingkatan kehidupan masih sangat biasa, aku orang miskin kamu orang kaya. Semakin naik tingkatku, semakin tahu kalau aku memang di bawah. Cacian, ejekan, hanya karena profesi bapakku atau di mana aku tinggal, sudah mulai aku dapatkan. Terasa sekali kalau aku memang tidak punya daya untuk mengimbangi mereka yang di "atas".

Sekolah tingkat menengah pertama, menjadi saksi bagaimana definisi tingkatan di sekolah dasar mulai berbentuk nyata. Cacian sudah berbentuk jarak sosial. Sudah dicaci, dijauhi pula. Hanya karena aku orang "bawah"? Secara fisik aku tidak berbeda. Hanya karena yang aku pakai dan aku tinggal di mana serta bapakku berprofesi apa, aku terlihat berbeda dan tidak pantas berada di dekat mereka apalagi masuk ke dalamnya.

Sekolah tingkat menengah atas, menjadi tempatku merasakan, definisi tingkatan tidak lagi "terlihat" nyata, tapi "terasa" nyata. Pemisahan jarak berubah menjadi aniaya. Aku diperlakukan hanya untuk bahan komedi mereka yang di "atas". Aku pernah ingin melawan tapi kalah jumlah. Bisa masuk sekolah pun hanya karena bantuan adalah aib untuk mereka. Yang aku lakukan cukup bertahan. Beruntungnya aku kuat. Hanya bertahan, dengan luka yang tampak ataupun tidak. Tapi berhasil melewati itu semua.

Setelah itu, aku tidak sanggup lagi meneruskan. Tingkatan yang lebih tinggi itu hanya untuk mereka yang punya uang. Aku punya tapi tidak banyak, tidak cukup untuk melanjutkan. Beasiswa? Hanya untuk orang denga karunia yang lebih. Gen kecerdasanku tidak banyak. Yang aku bisa hanya mengikuti, tidak menggebrak batas. Entahlah, sudah di bawah, cerdas juga tidak. Malang benar nasibku. Tuhan tidak adil, setidaknya itu yang aku pikirkan saat itu.

Dirundung oleh keadaan membuatku semakin terpuruk. Sudah miskin, tidak pandai, tidak berparas elok pula. Lengkap sudah. Itu sudah lebih dari sengsara. Membuatku susah untuk diterima oleh lapangan kerja kebanyakan. Yang menerimaku hanya tempat yang menawarkan imbalan tak seberapa seperti tukang cuci atau pembantu rumah tangga. Hey, aku berijazah SMA, apa kalian pikir pantas pekerjaan itu untukku? Idealisme itu tertanam padaku. Bukan untuk bergaya, tapi memang itu yang otomatis terbentuk. Aku juga punya gengsi dengan mempunyai sertifikat itu.

Apalah daya, keadaanku semakin memburuk. Aku tak kunjung menghasilkan uang. Bapakku mulai sakit-sakitan, ibuku sudah lama meninggal. Bapakku tidak berinteraksi banyak denganku saat kecil sampai sekarang. Aku hanya "dilepas" untuk berkembang sendirian. Itulah kenapa aku tak punya arah saat ini. Apa aku menyalahkan keadaan? Tidak, aku menyalahkan Tuhan. Tuhan tidak adil padaku. Setidaknya ada satu kebaikan untukku yang tidak membuatku seperti ini. Aku tidak punya, itu yang aku pahami.

Keadaan buruk sudah biasa. Semakin memburuk sudah biasa. Aku pikir itu tidak ada batasnya, ternyata tidak. Semua ada batasnya, bahkan perasaanku yang sakit hati dengan keadaan.

Sudah lama aku tahu ada pekerjaan yang bisa merubah keadaanku. Tapi itu seperti masuk jurang. Setelah jatuh, aku tidak akan bisa keluar, kemungkinan untuk naik kembali hampir tidak ada. Batasku sudah benar-benar batas. Ternyata keadaan membuatku tidak takut, seperti gelap mata. Sudah habis semangat idealisku tentang pembuktian, pembuktian aku tidak hina seperti celotehan luar yang banyak terucap. Aku marah pada Tuhan, tapi aku masih berharap ditolong. Tapi semua itu sudah hangus, seperti ada yang membelokkan pikiran. Jalan pintas itu adalah anugerah. Tidak semua dianugerahi keberanian untuk masuk ke jurang itu. Aku merasa spesial, berani, tidak seperti mereka, dasar pengecut, begini saja tidak berani.

Lokalisasi ini terkenal. Siapa yang tidak tahu? Bahkan pasukan yang terkenal membasmi hal-hal yang buruk menurut agama, hanya berani berkoar-koar, tidak berani tindak nyata. Beraninya protes ke pemerintah setempat.

Pemerintah? Mereka tahu dan itu pasti. Tapi seakan tutup mata, semua dibiarkan begitu saja. Tempat itu aman sentosa seakan mereka paham, hidup harus hitam dan putih. Hitam saja atau putih saja akan membosankan.

Aku masuk, mulai mencari sosok yang terlihat paling mentereng dan bisa dipastikan dia punya pengaruh di tempat ini. Saat kutemukan, aku berkenalan, menyampaikan maksud, kemudian diarahkan ke sosok yang terlihat paling "bercahaya", semua orang memanggilnya Mami Bos.

Mami Bos orang yang sangat berkelas, cara bicaranya, cara berpakaiannya, cara memandangku dari atas sampai bawah, apa yang dia kenakan, semuanya berkelas. Bahkan saat minum air putih pun terlihat sangat berkelas. Menimbang-nimbang  parasku dari atas sampai bawah, dia berkomentar, "Kamu punya potensi. Hanya butuh sedikit dipoles. Cantik itu tidak penting. Make up akan membuatmu menjadi menarik dan menghasilkan banyak emas. Masih virgin?"

Virgin, istilah halus yang khas selalu diucapnya. Aku mengangguk. Aku memang tidak seperti yang lain. Aku masih menjaga martabatku dengan menjaga sesuatu yang suci. Setidaknya aku merasa tidak hina seperti mereka-mereka yang banyak merundungku dengan melakukan itu. Merasa suci tapi gampang saja menyerahkan kehormatan. Tampak sekali dari caranya memeluk pasangannya saat berboncengan motor.

"Perfecto!" Teriaknya. Dia harus sedikit berteriak agar lawan bicaranya dengar. Suasana di sini benar-benar seperi kawinan, musik gencar memekakkan telinga. Ucapnya lagi, "Ayo ikut ke kamarku." Aku mengikutinya kemudian.

Aku terus berjalan mengikutinya, ke arah sebuah ruangan yang semakin lama musik semakin redup terdengar lirih. Aku masuk setelah dia mempersilahkan. Aku kaget setengah mati. Gambar-gambar majalah dewasa pria banyak terpampang di dinding. Bukannya harusnya suasana ini dimiliki oleh seorang pria? Bukan wanita seperti Mami Bos? Aku tak bertanya lebih lanjut. Aku menuruti arahannya.

"Silahkan duduk di atas ranjangku. Tidak usah takut. Kau berani datang kesini artinya niatmu sudah bulat." Arahnya sambil berkomentar. Sepertinya dia melihatku gugup.

Aku duduk seperti yang diarahkan. Mami Bos menuju meja riasnya dan mengambil beberapa perlatan make up yang aku tidak familiar. Jangankan tahu, lihat saja tidak pernah. Karena aku memang tidak punya media informasi seperti tivi ataupun main-main ke pusat perbelanjaan seperti mall. Yang aku tahu hanya bedak dan lipstik. Standar perlengkapan anak perempuan di sekolah.

"Aku akan menyulap kau menjadi sesuatu yang sangat menarik. Ah, sungguh menyenangkan. Sudah lama aku tidak melakukan ini, merubah batu menjadi pahatan berkelas. Kebanyakan yang datang ke sini sudah berparas, ada yang bagus tapi kebanyakan mirip ondel-ondel." Senyumnya merekah sumringah. Seperti menemukan sesuatu yang sudah lama dia idam-idamkan. Aku masih terdiam. Aku hanya menduga-duga apa yang akan dilakukannya.

Dugaanku benar. Aku akan dipermak dimulai dari rambutku. Rambutku ditata dengan tangkas menggunakan gunting dan sisir. Sesekali dia berkomentar, "rambut kau bagus, cuma tidak ditata dan dibuat gaya. Ibarat emas, bentuknya cuma batu, tidak berbentuk perhiasan." Setelah selesai, giliran wajahku, entah diapakan aku tidak paham. Aku tidak bisa melihat kaca karena Mami Bos ada di depanku. Mataku memang mengarah ke depan tapi pikiranku mengarah ke bayangan seperti apa mukaku. 

Hampir dua puluh menit prosesi permak wajah itu memakan waktu. Mami Bos mengarahkan cermin seukuran wajah, dan aku terkejut sekaligus sumringah. Ini wajahku? Aku tidak percaya. Ini terlihat seperti wanita-wanita berkelas, seperti wanita-wanita yang wajahnya terpampang di banner-banner pinggir jalan, ada yang memegang handphone, ada yang berpose tanpa memegang apa-apa, dan masih banyak macamnya.

"Waw, kau terlihat berbeda. Kayu gelondongan sudah menjadi kayu ukiran mahal." Mami Bos berucap. Sering sekali dia menggunakan pengandaian. Itu yang menurutku membuatnya terlihat berkelas, salah satunya.

Lalu aku disuruh berdiri, memegang hampir semua bagian tubuhku. Aku hanya diam. Peringatan darinya sudah dilantangkan sejak awal sebelum aku masuk, tidak usah berkomentar dan menolak, menurut saja. Mengangguk-angguk pelan seperti menilai sesuatu di tubuhku, Mami Bos kemudian beranjak menuju lemari kayu besar. Mengambil baju, gaun malam sepertinya, tanpa lengan, berwarna hijau gelap, dengan sedikit pernak-pernik mengkilap menghiasi bagian leher dan dada. "Pakai ini," pintanya.

Aku bergegas menuju kamar mandi, berganti baju, baju yang diberikan Mami Bos. Baju ini sangat ketat. Siluet bentuk tubuhku benar-benar tampak. Pantaskah aku berpakaian seperti ini? Ini pertama kalinya dalam hidupku. Aku keluar dari kamar mandi dan kikuk berjalan menuju arah Mami Bos. "Perfecto Signora!", komentarnya. Aku tidak tahu itu apa artinya, yang jelas itu terdengar bagus.

"Waw, kau memang terlihat bukan yang terbaik. Tapi ini lebih dari cukup untuk menimbun emas. Ahahahahaha." Tertawanya lepas, terdengar ganjil, sedikit terdengar licik.

Aku memberanikan diri untuk bertanya setelah lama diam, "Mami."

"Iya, Signora?" Mami Bos merespon.

"Apa aku pakai baju ini saat "bekerja"?" Tanyaku takut-takut.

"Tentu, Signora. Ini salah satu hal wajib agar kamu laku. Kau mau pakai pakaianmu tadi? Dikiranya malah tukang cuci piring kau di sini."

"Apa saat pulang aku boleh berganti baju dengan baju biasa?"

"Pulang?"

"Iya, Mami, setelah pulang."

Mami Bos tertawa lebih kencang dan lebih licik. Aku heran, apa aku salah bertanya?

"Signora, kau tidak akan pulang. Setelah kau memutuskan menjadi bagian tempat ini, kau tinggal di sini."

Jantungku mendadak berdegup kencang. Aku tak percaya dengan apa yang barusan aku dengar. Aku sudah tahu kalau aku hampir tidak bisa keluar dari tempat ini, tidak seharfiah itu artinya. Ternyata sama sekali tidak seperti dugaanku.

"Setelah apapun yang aku lakukan ke padamu dari ujung rambut sampai ujung kaki, kau sudah menjadi bagian tempat ini, Signora. Kau sudah tak bisa keluar dari tempat ini tanpa ijin dariku. Sekali-kali kau coba lari, ingatlah, kau akan kembali ke tempat ini lagi dengan keadaan lebih buruk."

Aku menelan ludah. Jantungku masih berdegup. Keringat dingin sedikit muncul di dahi. Apa yang telah aku lakukan? Aku kesini untuk membuktikan aku akan bisa lebih di atas dengan banyak uang, tapi bagaimana kalau aku tidak keluar dari tempat ini? Bukannya itu percuma? Bagaimana dengan bapakku yang sakit-sakitan di rumah? Siapa yang akan mengurusnya? Aku memang tidak dekat tapi aku tetap anaknya. Seketika aku merasa kasihan. Apa yang sudah aku lakukan?

Dunia gemerlapku baru saja dimulai..

Selasa, 15 September 2020

JADI PEMIMPIN ITU BERAT!

 "Gawat, Pak Din."

"Apanya yang gawat?"

"Kita dapet surat dari pemkot."

"Surat apa?"

"Surat himbauan, Pak Din."

"Himbauan? Lagi? Waduh, Tar. Gimana ini terus, padahal acara mushola ini sudah minggu depan." Pak Syamsudin mengenang acara pengajian beberapa bulan yang lalu pernah dibubarkan dan menyusul surat himbauan berisi larangan untuk tidak melaksanakan acara yang melibatkan massa. Bahkan sholat berjamaah di mushola pun dilarang. Tapi beberapa bulan kemudian surat himbauan dicabut.

"Iya itu Pak Din. Padahal kita juga patuh sama protokol kesehatan. Jaga jarak, pakai masker, tempat cuci tangan, semuanya udah."

Pak Syamsudin mengeluh menghembus  nafas pelan. Terdiam sejenak sambil berpikir. Suasana jadi hening. Sutar, marbot mushola, tadi siang menerima surat dari seseorang berpakaian seragam aparatur sipil, surat himbauan dari pemerintah kota. Sebelum sholat maghrib, Pak Syamsudin, imam mushola, datang. Sutar langsung menghampiri dan menceritakan isi surat tersebut.

Memecah keheningan, Pak Syamsudin berucap, "Ya sudah, Tar. Kita rapatkan setelah sholat maghrib aja bersama yang lain. Semoga jamaah yang datang banyak bentar lagi. Biar semua dapat infonya."

Usai sholat maghrib, Sutar membuat pengumuman kepada jamaah agar tidak pulang dulu. Ada sesuatu yang harus dibicarakan. Para jamaah langsung duduk membuat lingkaran. Pak Syamsudin memimpin rapat dadakan.

"Assalamualaikum warahmatullohi wabarakatuh, " Pak Syamsudin membuka dengan salam. Semua jamaah menjawab salam Pak Din.

"Terkait acara pengajian kita minggu depan, sepertinya harus ditunda bapak-bapak sekalian."

Suasana langsung riuh dengan keluhan sana-sini. Pengajian yang mereka tunggu-tunggu dari lima bulan yang lalu tiba-tiba dibatalkan. Para jamaah sudah "haus" dengan acara rohani seperti tausiyah, sedikit tidak terima dengan himbauan pemkot.

"Tapi itu kan cuma himbauan, Pak Din?" Salah satu jamaah menyahut spontan.

"Iya benar, Pak Kam. Tapi di dalam surat himbauan ini, tertulis dilarang melaksankan acara yang membuat kerumunan massa."

"Tapi kan kita juga mematuhi protokol kesehatan? Tambah Pak Kam.

"Benar. Ini yang saya juga belum tahu. Apa diperbolehkan atau tidak. Kita sudah ijin ke semua pihak pemerintahan. Sudah jauh-jauh hari malah. Dan semua sudah mendapat persetujuan. Tiba-tiba dapat surat seperti ini saya juga bingung." Jawab Pak Syamsudin dengan nada yang tenang.

"Terus bagaimana, Pak Din? Bapak Ustad Abdul sudah berangkat besok pagi dari Surabaya. Pak Ustad memang mau datang lebih awal karena ada kunjungan ke beberapa kerabat dan saudara. Hotel Pak Ustad menginap untuk H-1 juga sudah dipesan. Juga sudah dibayar. Uang DP untuk konsumsi juga tenda sudah dibayar. Gimana sama itu semua?" Tanya jamaah yang lain.

"Iya saya tahu, Pak Sur. Kalau misal kita batalkan, apa uang bisa kembali ya?" Tanya balik Pak Din.

"Hmm, saya juga tidak tahu, Pak Din. Kalau uang DP konsumsi sama tenda mungkin bisa. Bukan bisa kembali tapi kita ajukan kalau acara diundur dan pasti mereka menyetujui. Tapi kalau uang hotel, saya tidak yakin bisa kembali." Jawab Pak Surya ragu-ragu.

Keadaan riuh kembali. Ada yang berkomentar uang keluar sia-sia, uang penginapan hotel juga mahal karena yang dipesan kelas yang agak bagus, dan masih banyak komentar-komentar yang tidak jelas saling bersahut-sahutan.

"Tolong perhatiannya, bapak-bapak sekalian." Pak Syamsudin mencoba menghentikan kekacauan yang terjadi.

Lanjutnya, "Kita juga tidak mengira ini akan terjadi, khususnya saya. Saya kira semuanya berjalan lancar karena sudah mendapat persutujuan dari berbagai pihak yang berwenang. Mungkin karena peta persebaran virus, menurut data statistik pemkot, menunjukkan kalau daerah kita banyak yang menjadi zona merah, maka dibuatlah himbauan ini. Saya juga sedikit kecewa karena acara ini penting untuk kita, memperingati hari jadi tempat kita tercinta ini. Tapi saya yakin semua yang terjadi sudah kehendak Alloh. Pasti ada hal baik di balik semua ini."

Para jamaah mulai tenang dan sedikit berpikir mencerna perkataan Pak Din. Memang menyejukkan, tapi beberapa masih terlihat tidak terima. Apa-apaan pemkot ini, tiba-tiba saja melarang tanpa solusi. Mungkin dalam hati mereka begitu isinya.

"Sebaiknya kita langsung hubungi Pak Ustad Abdul saja dulu, Pak Din, kalau acaranya diundur." Saran Sutar tiba-tiba.

"Ya memang harusnya begitu, Tar. Tapi kan uang tiket pesawat tidak bisa kembali juga. Anggaran kita juga menipis sekali, bahkan hampir kurang." Respon Pak Jumadi yang memang jadi bendahara di acara tersebut.

"Iya saya juga tahu itu, Pak Jum," Timpal Pak Din segera. "Kalau misal kita reschedule acara ini, kita juga pasti butuh biaya lagi untuk itu. Jamaah yang lain pasti juga keberatan kalau ditarik iuran lagi. Saya juga bingung jadinya. Mau cari sponsor juga susah. Kebanyakan perusahaan juga sedang susah."

Pak Syamsudin terlihat berpikir keras. Masalah mendadak muncul dan selaku ketua para jamaah, beliau harus mencari solusi dan menenangkan keadaan.

"Atau begini saja, bapak-bapak." Semua menoleh ke arah suara, Pak Karim yang berbicara. "Kalau misal acara dibuat online bagaimana? Seperti yang sudah dilakukan banyak orang. Rapat semua online. Sekolah saja online."

"Saya tidak setuju." Para jamaah menoleh ke arah suara yang lain, Pak Jul yang sedang berbicara merespon. "Buat apa kita mengadakan acara kalau tidak di satu tempat? Tidak ada "rasanya" Pak. Saya melihat anak saya sekolah online saja sudah aneh. Belum terkendala sinyal yang macet-macetan. Apalagi anak saya yang pertama, kemarin ikut wisuda tapi online. Aneh sekali. Belum lagi baru-baru ini yang lagi viral, ospek online. Maksa banget kesannya. Marah-marah ke peserta ospek tapi melalui semacam video call. Aneh banget memang. Mending ga usah menurut saya."

"Memang aneh sih Pak Jul. Kurang greget rasanya. Apalagi acara pengajian. Kalau pas Pak Ustad doa, ditengah doa sinyalnya jelek, jadi putus doanya. Mau ngomong bismillah jadi bis, errrrrt, ah. Jadi beda artinya." Pak Syamsudin menanggapi.

Para jamaah tertawa. Pak Syamsudin mencairkan suasana. Wajah Pak Karim memerah dengan tertawa tanggung. Aku kan cuma saran saja. Mungkin begitu isi hatinya.

"Kalau masalahnya adalah anggaran," Pak Bima berbicara di tengah tawa, "bagaimana kalau acaranya dibatalkan saja, Pak?"

Pak Karim yang mukanya masih merah padam tampak tidak terima, "Ya sayang banget Pak Bim. Usaha kita berbulan-bulan yang lalu melakukan persiapan jadi sia-sia. Ini acara yang sakral buat kita. Untuk terus memelihara semangat kita dalam silaturahmi dan mengaji, kita butuh acara ini. Saya tidak setuju. Saya humas di sini. Kemarin saya korban banyak waktu dan tenaga buat mengurusi perijinan kesana-kesini. Semua jadi sia-sia kalau ini dibatalkan. Kalau diundur, itu masih bisa dipertimbangkan."

"Tapi Pak Karim dengar sendiri tadi kan apa kata Pak Din. Himbauan pemkot jelas, DILARANG! Kalau kita melanggar itu, kita bisa didenda. Untung-untung kalau didenda, kalau saksinya dilarang mengadakan acara seterusnya? Itu lebih gawat," Pak Bima membalas respon Pak Karim dengan sedikit nada tinggi.

"Ya tapi bagaimana usaha saya selama ini, Pak Bim? Jadi sia-sia semua. Pak Bima enak tidak seperti saya yang harus mondar-mandir dan..."

Pak Bima menyela, "Loh kok dibanding-bandingkan dengan saya? Semua kan sudah sesuai tugas masing-masing. Tugas kita ya beda lah!" Tensi Pak Bima sedikit naik dari nada bicaranya.

"Sudah bapak-bapak, sudah!" Pak Syamsudin meninggikan sedikit nada bicaranya untuk melerai perdebatan. Beliau meneruskan, "bukan waktunya kita debat sekarang. Apalagi sampai pakai nada tinggi segala. Jangan sampai niat kita yang baik ini dihiasi suasana yang buruk. Semua masalah harus dihadapi dengan kepala dingin. Tujuan kita kan untuk mempererat tali silaturahmi, bukan malah merenggangkan."

Semua jamaah terdiam. Perkataan Pak Syamsudin memang selalu magis, kesan wibawanya selalu ada. Memang pantas Pak syamsudin menjad imam jamaah. Beliau melemparkan pertanyaan lagi pada jamaah, "atau ada yang punya solusi lain, bapak-bapak?"

Sutar mengangkat tangan. Spontan semua menoleh ke arahnya. "Apa kita bisa minta semacam permohonan kembali ke pemkot, Pak Din? Semacam  pengajuan tetap melaksanakan acara ini. Kita jelaskan kalau acara kita masih dengan melakukan protokol kesehatan yang ada."

"Saran yang bagus, Tar. Kita bisa lakukan itu. Apapun yang mungkin bisa dilakukan harus kita lakukan. Mungkin ada yang ingin membantu Pak Karim untuk menghubungi pemkot?" Pak Syamsudin berbicara lagi, tetap dengan intonasi yang tenang.

Semua terdiam. Mulai berpikir karena memang semua jamaah rata-rata kerja dari pagi sampai sore. Sedangkan untuk mengurusi masalah administrasi, harus dilakukan pada jam kerja perkantoran. Yang bisa melakukan itu memang harus berkorban waktunya sedikit.

Pak Karim sebagai humas pun juga tidak menanggapi perkataan Pak Syamsudin. Mungkin sudah selesai pengorbanan waktunya kemarin. Sekarang sudah tidak bisa lagi dia lakukan.

Pak Syamsudin mulai membaca situasi. Sepertinya memang tidak ada yang sanggup karena semuanya tidak menanggapi.

"Jujur saja saya juga tidak bisa bapak-bapak. Waktu saya benar-benar habis karena pandemi ini. Banyak hal yang harus saya lakukan karena usaha saya juga sedang merosot. Bapak pasti paham lah dengan posisi saya sekarang." Terus Pak Syamsudin dengan sedikit curhat. "Kamu bisa, Tar?"

"Waduh, saya ga bisa ngomong, Pak Din. Saya cuma lulusan SD. Saya ga begitu ngerti masalah ijin-ijin. Kalo adzan atau bersih-bersih sih saya sanggup. Tapi kalau ngurus masalah ke kantor pemkot, saya ga yakin, Pak Din. Nanti malah tersesat saya di kantor pemkot." Jawab Sutar lugu.

Semua tertawa. Kejujuran Sutar yang lugu menjadi bahan pencair ketegangan. Solusi yang tidak ditemukan sejenak terlupakan.

Alarm jam masjid berbunyi. Waktunya sholat Isya. Pak Syamsudin berbicara, "Baiklah bapak-bapak. Sepertinya solusi masalah ini belum kita dapatkan sekarang. Sekarang, kita sholat dulu kemudian kita pulang ke rumah masing-masing. Siapa tahu, besok, kita bisa menemukan jalan lain. Meskipun tadi sempat bersitegang, semoga itu bisa menjadi penguat tali persaudaraan kita. Dan mari kita akhiri dulu, dan besok kita kumpul lagi di waktu yang sama seperti tadi."

Pak Syamsudin mengakhiri rapat dadakan dengan salam. Adzan dikumandangkan oleh Sutar. Semua duduk hikmat dan mendengarkan. Sebagian mengambil wudhu kembali. Pak Syamsudin, sembari mendengarkan dan menjawab adzan, berpikir dan merenung. Jadi pemimpin dalam kelompok kecil di tengah pandemi begini saja cukup memusingkan. Padahal cuma ada satu masalah yang dihadapi. Bagaimana dengan memimpin satu negara ini? Pasti banyak masalah yang muncul. Belum kalau salah mengambil keputusan, bisa naas nasib rakyat. Dan dosanya mungkin sebesar jumlah semua penduduk di negara ini. Pak Syamsudin semakin tenggelam dengan renungannya. Tiba-tiba tersadar, suara adzan sudah tidak ada. Astaghfirulloh, aku sampai lupa kalau di depanku ada ayat suci yang dikumandangkan. Begitu isi hati Pak Syamsudin. Berat memang menjadi pemimpin, tidak terbayang dosanya kalau sedikit melakukan kesalahan, apalagi kedzaliman.

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lema...