Rabu, 16 September 2020

SIGNORA (BAGIAN 1)

 Gemerlap. Dunia ini begitu gemerlap. Entah kenapa aku terjebak di dunia macam ini. Tidak semua orang bisa mengendalikan diri dari godaan, apalagi didorong oleh kebutuhan, ya, apalagi kalau bukan kebutuhan duniawi.

Kadang aku bertanya pada Tuhan, kenapa diciptakan keadaan yang membuat sengsara? Tentunya sengsara menurut pemahamanku. Dan tidak beruntungnya, kenapa aku jadi salah satunya? Salah satu yang menerima keadaan tersebut? Kalau jawabannya adalah takdir, aku sudah tahu itu dari banyak sumber. Tapi hanya itu? Hatiku tidak puas. Tidak ada, atau belum ada, yang bisa mengisi relung hatiku yang kosong yang terus bertanya-tanya ini.

Keadaanku benar-benar di bawah waktu itu. Aku sudah terbiasa seiring berjalannya waktu. Hidup memang seperti itu, setidaknya itu yang aku pahami. Aku memang di bawah, tapi tidak ada yang mempermasalahkan. Banyak orang-orang "atas" yang aku kenal juga termasuk baik, tidak mempermasalahkan siapa aku dan keadaanku. Sampai aku mengenal apa arti di bawah dan di atas saat aku mulai menjalani kehidupan bersosial di tempat bernama sekolah.

Sekolah dasar, tempat pertamaku berkehidupan sosial. Definisi tingkatan kehidupan masih sangat biasa, aku orang miskin kamu orang kaya. Semakin naik tingkatku, semakin tahu kalau aku memang di bawah. Cacian, ejekan, hanya karena profesi bapakku atau di mana aku tinggal, sudah mulai aku dapatkan. Terasa sekali kalau aku memang tidak punya daya untuk mengimbangi mereka yang di "atas".

Sekolah tingkat menengah pertama, menjadi saksi bagaimana definisi tingkatan di sekolah dasar mulai berbentuk nyata. Cacian sudah berbentuk jarak sosial. Sudah dicaci, dijauhi pula. Hanya karena aku orang "bawah"? Secara fisik aku tidak berbeda. Hanya karena yang aku pakai dan aku tinggal di mana serta bapakku berprofesi apa, aku terlihat berbeda dan tidak pantas berada di dekat mereka apalagi masuk ke dalamnya.

Sekolah tingkat menengah atas, menjadi tempatku merasakan, definisi tingkatan tidak lagi "terlihat" nyata, tapi "terasa" nyata. Pemisahan jarak berubah menjadi aniaya. Aku diperlakukan hanya untuk bahan komedi mereka yang di "atas". Aku pernah ingin melawan tapi kalah jumlah. Bisa masuk sekolah pun hanya karena bantuan adalah aib untuk mereka. Yang aku lakukan cukup bertahan. Beruntungnya aku kuat. Hanya bertahan, dengan luka yang tampak ataupun tidak. Tapi berhasil melewati itu semua.

Setelah itu, aku tidak sanggup lagi meneruskan. Tingkatan yang lebih tinggi itu hanya untuk mereka yang punya uang. Aku punya tapi tidak banyak, tidak cukup untuk melanjutkan. Beasiswa? Hanya untuk orang denga karunia yang lebih. Gen kecerdasanku tidak banyak. Yang aku bisa hanya mengikuti, tidak menggebrak batas. Entahlah, sudah di bawah, cerdas juga tidak. Malang benar nasibku. Tuhan tidak adil, setidaknya itu yang aku pikirkan saat itu.

Dirundung oleh keadaan membuatku semakin terpuruk. Sudah miskin, tidak pandai, tidak berparas elok pula. Lengkap sudah. Itu sudah lebih dari sengsara. Membuatku susah untuk diterima oleh lapangan kerja kebanyakan. Yang menerimaku hanya tempat yang menawarkan imbalan tak seberapa seperti tukang cuci atau pembantu rumah tangga. Hey, aku berijazah SMA, apa kalian pikir pantas pekerjaan itu untukku? Idealisme itu tertanam padaku. Bukan untuk bergaya, tapi memang itu yang otomatis terbentuk. Aku juga punya gengsi dengan mempunyai sertifikat itu.

Apalah daya, keadaanku semakin memburuk. Aku tak kunjung menghasilkan uang. Bapakku mulai sakit-sakitan, ibuku sudah lama meninggal. Bapakku tidak berinteraksi banyak denganku saat kecil sampai sekarang. Aku hanya "dilepas" untuk berkembang sendirian. Itulah kenapa aku tak punya arah saat ini. Apa aku menyalahkan keadaan? Tidak, aku menyalahkan Tuhan. Tuhan tidak adil padaku. Setidaknya ada satu kebaikan untukku yang tidak membuatku seperti ini. Aku tidak punya, itu yang aku pahami.

Keadaan buruk sudah biasa. Semakin memburuk sudah biasa. Aku pikir itu tidak ada batasnya, ternyata tidak. Semua ada batasnya, bahkan perasaanku yang sakit hati dengan keadaan.

Sudah lama aku tahu ada pekerjaan yang bisa merubah keadaanku. Tapi itu seperti masuk jurang. Setelah jatuh, aku tidak akan bisa keluar, kemungkinan untuk naik kembali hampir tidak ada. Batasku sudah benar-benar batas. Ternyata keadaan membuatku tidak takut, seperti gelap mata. Sudah habis semangat idealisku tentang pembuktian, pembuktian aku tidak hina seperti celotehan luar yang banyak terucap. Aku marah pada Tuhan, tapi aku masih berharap ditolong. Tapi semua itu sudah hangus, seperti ada yang membelokkan pikiran. Jalan pintas itu adalah anugerah. Tidak semua dianugerahi keberanian untuk masuk ke jurang itu. Aku merasa spesial, berani, tidak seperti mereka, dasar pengecut, begini saja tidak berani.

Lokalisasi ini terkenal. Siapa yang tidak tahu? Bahkan pasukan yang terkenal membasmi hal-hal yang buruk menurut agama, hanya berani berkoar-koar, tidak berani tindak nyata. Beraninya protes ke pemerintah setempat.

Pemerintah? Mereka tahu dan itu pasti. Tapi seakan tutup mata, semua dibiarkan begitu saja. Tempat itu aman sentosa seakan mereka paham, hidup harus hitam dan putih. Hitam saja atau putih saja akan membosankan.

Aku masuk, mulai mencari sosok yang terlihat paling mentereng dan bisa dipastikan dia punya pengaruh di tempat ini. Saat kutemukan, aku berkenalan, menyampaikan maksud, kemudian diarahkan ke sosok yang terlihat paling "bercahaya", semua orang memanggilnya Mami Bos.

Mami Bos orang yang sangat berkelas, cara bicaranya, cara berpakaiannya, cara memandangku dari atas sampai bawah, apa yang dia kenakan, semuanya berkelas. Bahkan saat minum air putih pun terlihat sangat berkelas. Menimbang-nimbang  parasku dari atas sampai bawah, dia berkomentar, "Kamu punya potensi. Hanya butuh sedikit dipoles. Cantik itu tidak penting. Make up akan membuatmu menjadi menarik dan menghasilkan banyak emas. Masih virgin?"

Virgin, istilah halus yang khas selalu diucapnya. Aku mengangguk. Aku memang tidak seperti yang lain. Aku masih menjaga martabatku dengan menjaga sesuatu yang suci. Setidaknya aku merasa tidak hina seperti mereka-mereka yang banyak merundungku dengan melakukan itu. Merasa suci tapi gampang saja menyerahkan kehormatan. Tampak sekali dari caranya memeluk pasangannya saat berboncengan motor.

"Perfecto!" Teriaknya. Dia harus sedikit berteriak agar lawan bicaranya dengar. Suasana di sini benar-benar seperi kawinan, musik gencar memekakkan telinga. Ucapnya lagi, "Ayo ikut ke kamarku." Aku mengikutinya kemudian.

Aku terus berjalan mengikutinya, ke arah sebuah ruangan yang semakin lama musik semakin redup terdengar lirih. Aku masuk setelah dia mempersilahkan. Aku kaget setengah mati. Gambar-gambar majalah dewasa pria banyak terpampang di dinding. Bukannya harusnya suasana ini dimiliki oleh seorang pria? Bukan wanita seperti Mami Bos? Aku tak bertanya lebih lanjut. Aku menuruti arahannya.

"Silahkan duduk di atas ranjangku. Tidak usah takut. Kau berani datang kesini artinya niatmu sudah bulat." Arahnya sambil berkomentar. Sepertinya dia melihatku gugup.

Aku duduk seperti yang diarahkan. Mami Bos menuju meja riasnya dan mengambil beberapa perlatan make up yang aku tidak familiar. Jangankan tahu, lihat saja tidak pernah. Karena aku memang tidak punya media informasi seperti tivi ataupun main-main ke pusat perbelanjaan seperti mall. Yang aku tahu hanya bedak dan lipstik. Standar perlengkapan anak perempuan di sekolah.

"Aku akan menyulap kau menjadi sesuatu yang sangat menarik. Ah, sungguh menyenangkan. Sudah lama aku tidak melakukan ini, merubah batu menjadi pahatan berkelas. Kebanyakan yang datang ke sini sudah berparas, ada yang bagus tapi kebanyakan mirip ondel-ondel." Senyumnya merekah sumringah. Seperti menemukan sesuatu yang sudah lama dia idam-idamkan. Aku masih terdiam. Aku hanya menduga-duga apa yang akan dilakukannya.

Dugaanku benar. Aku akan dipermak dimulai dari rambutku. Rambutku ditata dengan tangkas menggunakan gunting dan sisir. Sesekali dia berkomentar, "rambut kau bagus, cuma tidak ditata dan dibuat gaya. Ibarat emas, bentuknya cuma batu, tidak berbentuk perhiasan." Setelah selesai, giliran wajahku, entah diapakan aku tidak paham. Aku tidak bisa melihat kaca karena Mami Bos ada di depanku. Mataku memang mengarah ke depan tapi pikiranku mengarah ke bayangan seperti apa mukaku. 

Hampir dua puluh menit prosesi permak wajah itu memakan waktu. Mami Bos mengarahkan cermin seukuran wajah, dan aku terkejut sekaligus sumringah. Ini wajahku? Aku tidak percaya. Ini terlihat seperti wanita-wanita berkelas, seperti wanita-wanita yang wajahnya terpampang di banner-banner pinggir jalan, ada yang memegang handphone, ada yang berpose tanpa memegang apa-apa, dan masih banyak macamnya.

"Waw, kau terlihat berbeda. Kayu gelondongan sudah menjadi kayu ukiran mahal." Mami Bos berucap. Sering sekali dia menggunakan pengandaian. Itu yang menurutku membuatnya terlihat berkelas, salah satunya.

Lalu aku disuruh berdiri, memegang hampir semua bagian tubuhku. Aku hanya diam. Peringatan darinya sudah dilantangkan sejak awal sebelum aku masuk, tidak usah berkomentar dan menolak, menurut saja. Mengangguk-angguk pelan seperti menilai sesuatu di tubuhku, Mami Bos kemudian beranjak menuju lemari kayu besar. Mengambil baju, gaun malam sepertinya, tanpa lengan, berwarna hijau gelap, dengan sedikit pernak-pernik mengkilap menghiasi bagian leher dan dada. "Pakai ini," pintanya.

Aku bergegas menuju kamar mandi, berganti baju, baju yang diberikan Mami Bos. Baju ini sangat ketat. Siluet bentuk tubuhku benar-benar tampak. Pantaskah aku berpakaian seperti ini? Ini pertama kalinya dalam hidupku. Aku keluar dari kamar mandi dan kikuk berjalan menuju arah Mami Bos. "Perfecto Signora!", komentarnya. Aku tidak tahu itu apa artinya, yang jelas itu terdengar bagus.

"Waw, kau memang terlihat bukan yang terbaik. Tapi ini lebih dari cukup untuk menimbun emas. Ahahahahaha." Tertawanya lepas, terdengar ganjil, sedikit terdengar licik.

Aku memberanikan diri untuk bertanya setelah lama diam, "Mami."

"Iya, Signora?" Mami Bos merespon.

"Apa aku pakai baju ini saat "bekerja"?" Tanyaku takut-takut.

"Tentu, Signora. Ini salah satu hal wajib agar kamu laku. Kau mau pakai pakaianmu tadi? Dikiranya malah tukang cuci piring kau di sini."

"Apa saat pulang aku boleh berganti baju dengan baju biasa?"

"Pulang?"

"Iya, Mami, setelah pulang."

Mami Bos tertawa lebih kencang dan lebih licik. Aku heran, apa aku salah bertanya?

"Signora, kau tidak akan pulang. Setelah kau memutuskan menjadi bagian tempat ini, kau tinggal di sini."

Jantungku mendadak berdegup kencang. Aku tak percaya dengan apa yang barusan aku dengar. Aku sudah tahu kalau aku hampir tidak bisa keluar dari tempat ini, tidak seharfiah itu artinya. Ternyata sama sekali tidak seperti dugaanku.

"Setelah apapun yang aku lakukan ke padamu dari ujung rambut sampai ujung kaki, kau sudah menjadi bagian tempat ini, Signora. Kau sudah tak bisa keluar dari tempat ini tanpa ijin dariku. Sekali-kali kau coba lari, ingatlah, kau akan kembali ke tempat ini lagi dengan keadaan lebih buruk."

Aku menelan ludah. Jantungku masih berdegup. Keringat dingin sedikit muncul di dahi. Apa yang telah aku lakukan? Aku kesini untuk membuktikan aku akan bisa lebih di atas dengan banyak uang, tapi bagaimana kalau aku tidak keluar dari tempat ini? Bukannya itu percuma? Bagaimana dengan bapakku yang sakit-sakitan di rumah? Siapa yang akan mengurusnya? Aku memang tidak dekat tapi aku tetap anaknya. Seketika aku merasa kasihan. Apa yang sudah aku lakukan?

Dunia gemerlapku baru saja dimulai..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lema...