Selasa, 15 September 2020

JADI PEMIMPIN ITU BERAT!

 "Gawat, Pak Din."

"Apanya yang gawat?"

"Kita dapet surat dari pemkot."

"Surat apa?"

"Surat himbauan, Pak Din."

"Himbauan? Lagi? Waduh, Tar. Gimana ini terus, padahal acara mushola ini sudah minggu depan." Pak Syamsudin mengenang acara pengajian beberapa bulan yang lalu pernah dibubarkan dan menyusul surat himbauan berisi larangan untuk tidak melaksanakan acara yang melibatkan massa. Bahkan sholat berjamaah di mushola pun dilarang. Tapi beberapa bulan kemudian surat himbauan dicabut.

"Iya itu Pak Din. Padahal kita juga patuh sama protokol kesehatan. Jaga jarak, pakai masker, tempat cuci tangan, semuanya udah."

Pak Syamsudin mengeluh menghembus  nafas pelan. Terdiam sejenak sambil berpikir. Suasana jadi hening. Sutar, marbot mushola, tadi siang menerima surat dari seseorang berpakaian seragam aparatur sipil, surat himbauan dari pemerintah kota. Sebelum sholat maghrib, Pak Syamsudin, imam mushola, datang. Sutar langsung menghampiri dan menceritakan isi surat tersebut.

Memecah keheningan, Pak Syamsudin berucap, "Ya sudah, Tar. Kita rapatkan setelah sholat maghrib aja bersama yang lain. Semoga jamaah yang datang banyak bentar lagi. Biar semua dapat infonya."

Usai sholat maghrib, Sutar membuat pengumuman kepada jamaah agar tidak pulang dulu. Ada sesuatu yang harus dibicarakan. Para jamaah langsung duduk membuat lingkaran. Pak Syamsudin memimpin rapat dadakan.

"Assalamualaikum warahmatullohi wabarakatuh, " Pak Syamsudin membuka dengan salam. Semua jamaah menjawab salam Pak Din.

"Terkait acara pengajian kita minggu depan, sepertinya harus ditunda bapak-bapak sekalian."

Suasana langsung riuh dengan keluhan sana-sini. Pengajian yang mereka tunggu-tunggu dari lima bulan yang lalu tiba-tiba dibatalkan. Para jamaah sudah "haus" dengan acara rohani seperti tausiyah, sedikit tidak terima dengan himbauan pemkot.

"Tapi itu kan cuma himbauan, Pak Din?" Salah satu jamaah menyahut spontan.

"Iya benar, Pak Kam. Tapi di dalam surat himbauan ini, tertulis dilarang melaksankan acara yang membuat kerumunan massa."

"Tapi kan kita juga mematuhi protokol kesehatan? Tambah Pak Kam.

"Benar. Ini yang saya juga belum tahu. Apa diperbolehkan atau tidak. Kita sudah ijin ke semua pihak pemerintahan. Sudah jauh-jauh hari malah. Dan semua sudah mendapat persetujuan. Tiba-tiba dapat surat seperti ini saya juga bingung." Jawab Pak Syamsudin dengan nada yang tenang.

"Terus bagaimana, Pak Din? Bapak Ustad Abdul sudah berangkat besok pagi dari Surabaya. Pak Ustad memang mau datang lebih awal karena ada kunjungan ke beberapa kerabat dan saudara. Hotel Pak Ustad menginap untuk H-1 juga sudah dipesan. Juga sudah dibayar. Uang DP untuk konsumsi juga tenda sudah dibayar. Gimana sama itu semua?" Tanya jamaah yang lain.

"Iya saya tahu, Pak Sur. Kalau misal kita batalkan, apa uang bisa kembali ya?" Tanya balik Pak Din.

"Hmm, saya juga tidak tahu, Pak Din. Kalau uang DP konsumsi sama tenda mungkin bisa. Bukan bisa kembali tapi kita ajukan kalau acara diundur dan pasti mereka menyetujui. Tapi kalau uang hotel, saya tidak yakin bisa kembali." Jawab Pak Surya ragu-ragu.

Keadaan riuh kembali. Ada yang berkomentar uang keluar sia-sia, uang penginapan hotel juga mahal karena yang dipesan kelas yang agak bagus, dan masih banyak komentar-komentar yang tidak jelas saling bersahut-sahutan.

"Tolong perhatiannya, bapak-bapak sekalian." Pak Syamsudin mencoba menghentikan kekacauan yang terjadi.

Lanjutnya, "Kita juga tidak mengira ini akan terjadi, khususnya saya. Saya kira semuanya berjalan lancar karena sudah mendapat persutujuan dari berbagai pihak yang berwenang. Mungkin karena peta persebaran virus, menurut data statistik pemkot, menunjukkan kalau daerah kita banyak yang menjadi zona merah, maka dibuatlah himbauan ini. Saya juga sedikit kecewa karena acara ini penting untuk kita, memperingati hari jadi tempat kita tercinta ini. Tapi saya yakin semua yang terjadi sudah kehendak Alloh. Pasti ada hal baik di balik semua ini."

Para jamaah mulai tenang dan sedikit berpikir mencerna perkataan Pak Din. Memang menyejukkan, tapi beberapa masih terlihat tidak terima. Apa-apaan pemkot ini, tiba-tiba saja melarang tanpa solusi. Mungkin dalam hati mereka begitu isinya.

"Sebaiknya kita langsung hubungi Pak Ustad Abdul saja dulu, Pak Din, kalau acaranya diundur." Saran Sutar tiba-tiba.

"Ya memang harusnya begitu, Tar. Tapi kan uang tiket pesawat tidak bisa kembali juga. Anggaran kita juga menipis sekali, bahkan hampir kurang." Respon Pak Jumadi yang memang jadi bendahara di acara tersebut.

"Iya saya juga tahu itu, Pak Jum," Timpal Pak Din segera. "Kalau misal kita reschedule acara ini, kita juga pasti butuh biaya lagi untuk itu. Jamaah yang lain pasti juga keberatan kalau ditarik iuran lagi. Saya juga bingung jadinya. Mau cari sponsor juga susah. Kebanyakan perusahaan juga sedang susah."

Pak Syamsudin terlihat berpikir keras. Masalah mendadak muncul dan selaku ketua para jamaah, beliau harus mencari solusi dan menenangkan keadaan.

"Atau begini saja, bapak-bapak." Semua menoleh ke arah suara, Pak Karim yang berbicara. "Kalau misal acara dibuat online bagaimana? Seperti yang sudah dilakukan banyak orang. Rapat semua online. Sekolah saja online."

"Saya tidak setuju." Para jamaah menoleh ke arah suara yang lain, Pak Jul yang sedang berbicara merespon. "Buat apa kita mengadakan acara kalau tidak di satu tempat? Tidak ada "rasanya" Pak. Saya melihat anak saya sekolah online saja sudah aneh. Belum terkendala sinyal yang macet-macetan. Apalagi anak saya yang pertama, kemarin ikut wisuda tapi online. Aneh sekali. Belum lagi baru-baru ini yang lagi viral, ospek online. Maksa banget kesannya. Marah-marah ke peserta ospek tapi melalui semacam video call. Aneh banget memang. Mending ga usah menurut saya."

"Memang aneh sih Pak Jul. Kurang greget rasanya. Apalagi acara pengajian. Kalau pas Pak Ustad doa, ditengah doa sinyalnya jelek, jadi putus doanya. Mau ngomong bismillah jadi bis, errrrrt, ah. Jadi beda artinya." Pak Syamsudin menanggapi.

Para jamaah tertawa. Pak Syamsudin mencairkan suasana. Wajah Pak Karim memerah dengan tertawa tanggung. Aku kan cuma saran saja. Mungkin begitu isi hatinya.

"Kalau masalahnya adalah anggaran," Pak Bima berbicara di tengah tawa, "bagaimana kalau acaranya dibatalkan saja, Pak?"

Pak Karim yang mukanya masih merah padam tampak tidak terima, "Ya sayang banget Pak Bim. Usaha kita berbulan-bulan yang lalu melakukan persiapan jadi sia-sia. Ini acara yang sakral buat kita. Untuk terus memelihara semangat kita dalam silaturahmi dan mengaji, kita butuh acara ini. Saya tidak setuju. Saya humas di sini. Kemarin saya korban banyak waktu dan tenaga buat mengurusi perijinan kesana-kesini. Semua jadi sia-sia kalau ini dibatalkan. Kalau diundur, itu masih bisa dipertimbangkan."

"Tapi Pak Karim dengar sendiri tadi kan apa kata Pak Din. Himbauan pemkot jelas, DILARANG! Kalau kita melanggar itu, kita bisa didenda. Untung-untung kalau didenda, kalau saksinya dilarang mengadakan acara seterusnya? Itu lebih gawat," Pak Bima membalas respon Pak Karim dengan sedikit nada tinggi.

"Ya tapi bagaimana usaha saya selama ini, Pak Bim? Jadi sia-sia semua. Pak Bima enak tidak seperti saya yang harus mondar-mandir dan..."

Pak Bima menyela, "Loh kok dibanding-bandingkan dengan saya? Semua kan sudah sesuai tugas masing-masing. Tugas kita ya beda lah!" Tensi Pak Bima sedikit naik dari nada bicaranya.

"Sudah bapak-bapak, sudah!" Pak Syamsudin meninggikan sedikit nada bicaranya untuk melerai perdebatan. Beliau meneruskan, "bukan waktunya kita debat sekarang. Apalagi sampai pakai nada tinggi segala. Jangan sampai niat kita yang baik ini dihiasi suasana yang buruk. Semua masalah harus dihadapi dengan kepala dingin. Tujuan kita kan untuk mempererat tali silaturahmi, bukan malah merenggangkan."

Semua jamaah terdiam. Perkataan Pak Syamsudin memang selalu magis, kesan wibawanya selalu ada. Memang pantas Pak syamsudin menjad imam jamaah. Beliau melemparkan pertanyaan lagi pada jamaah, "atau ada yang punya solusi lain, bapak-bapak?"

Sutar mengangkat tangan. Spontan semua menoleh ke arahnya. "Apa kita bisa minta semacam permohonan kembali ke pemkot, Pak Din? Semacam  pengajuan tetap melaksanakan acara ini. Kita jelaskan kalau acara kita masih dengan melakukan protokol kesehatan yang ada."

"Saran yang bagus, Tar. Kita bisa lakukan itu. Apapun yang mungkin bisa dilakukan harus kita lakukan. Mungkin ada yang ingin membantu Pak Karim untuk menghubungi pemkot?" Pak Syamsudin berbicara lagi, tetap dengan intonasi yang tenang.

Semua terdiam. Mulai berpikir karena memang semua jamaah rata-rata kerja dari pagi sampai sore. Sedangkan untuk mengurusi masalah administrasi, harus dilakukan pada jam kerja perkantoran. Yang bisa melakukan itu memang harus berkorban waktunya sedikit.

Pak Karim sebagai humas pun juga tidak menanggapi perkataan Pak Syamsudin. Mungkin sudah selesai pengorbanan waktunya kemarin. Sekarang sudah tidak bisa lagi dia lakukan.

Pak Syamsudin mulai membaca situasi. Sepertinya memang tidak ada yang sanggup karena semuanya tidak menanggapi.

"Jujur saja saya juga tidak bisa bapak-bapak. Waktu saya benar-benar habis karena pandemi ini. Banyak hal yang harus saya lakukan karena usaha saya juga sedang merosot. Bapak pasti paham lah dengan posisi saya sekarang." Terus Pak Syamsudin dengan sedikit curhat. "Kamu bisa, Tar?"

"Waduh, saya ga bisa ngomong, Pak Din. Saya cuma lulusan SD. Saya ga begitu ngerti masalah ijin-ijin. Kalo adzan atau bersih-bersih sih saya sanggup. Tapi kalau ngurus masalah ke kantor pemkot, saya ga yakin, Pak Din. Nanti malah tersesat saya di kantor pemkot." Jawab Sutar lugu.

Semua tertawa. Kejujuran Sutar yang lugu menjadi bahan pencair ketegangan. Solusi yang tidak ditemukan sejenak terlupakan.

Alarm jam masjid berbunyi. Waktunya sholat Isya. Pak Syamsudin berbicara, "Baiklah bapak-bapak. Sepertinya solusi masalah ini belum kita dapatkan sekarang. Sekarang, kita sholat dulu kemudian kita pulang ke rumah masing-masing. Siapa tahu, besok, kita bisa menemukan jalan lain. Meskipun tadi sempat bersitegang, semoga itu bisa menjadi penguat tali persaudaraan kita. Dan mari kita akhiri dulu, dan besok kita kumpul lagi di waktu yang sama seperti tadi."

Pak Syamsudin mengakhiri rapat dadakan dengan salam. Adzan dikumandangkan oleh Sutar. Semua duduk hikmat dan mendengarkan. Sebagian mengambil wudhu kembali. Pak Syamsudin, sembari mendengarkan dan menjawab adzan, berpikir dan merenung. Jadi pemimpin dalam kelompok kecil di tengah pandemi begini saja cukup memusingkan. Padahal cuma ada satu masalah yang dihadapi. Bagaimana dengan memimpin satu negara ini? Pasti banyak masalah yang muncul. Belum kalau salah mengambil keputusan, bisa naas nasib rakyat. Dan dosanya mungkin sebesar jumlah semua penduduk di negara ini. Pak Syamsudin semakin tenggelam dengan renungannya. Tiba-tiba tersadar, suara adzan sudah tidak ada. Astaghfirulloh, aku sampai lupa kalau di depanku ada ayat suci yang dikumandangkan. Begitu isi hati Pak Syamsudin. Berat memang menjadi pemimpin, tidak terbayang dosanya kalau sedikit melakukan kesalahan, apalagi kedzaliman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lema...