"Dek, jangan keluar rumah. Lihat itu berita di tivi. Semakin lama semakin nyebar."
"Aduh, Ma. Adek cuma keluar bentar. Ga enak udah janjian sama temen."
"Dek!" Kaget, Mama sedikit membentak. Mama meneruskan ucapannya, "kamu kalau dibilangin jangan bantah! Mama itu ga pingin kamu kenapa-kenapa."
Aku tidak berani menjawab. Aku tahu Mama. Kalau sudah memutuskan sesuatu, akan tetap teguh dengan itu. Tidak ada yang bisa menganggu gugat. Tadinya aku sudah bersiap mengambil sepatu favoritku. Mendengar peringatan Mama membuatku tiba-tiba beku dan mengurungkan niat. Tapi bagaimana dengan Enzy, teman dekatku di kampus. Kemarin kita sudah bahas akan mencari bahan untuk konten Youtube kami. Dan sepertinya rencana itu harus batal gegara berita tadi pagi, heboh.
"Dek?" Mama memecah keheningan melihatku termangu dan terpaku. Spontan aku menoleh ke Mama dengan ekspresi sedikit bertanya-tanya.
"Iya, Ma?" Timpalku menghargai sahutan Mama.
"Kamu ga apa-apa kan, Dek?"
"Gapapa, Ma." Mama pakai tanya. Sudah jelas-jelas aku kecewa, tapi aku pandai menyembunyikan ekspresiku, apalagi di depan Mama. Dan aku tahu perintah Mama tidak bisa dibantah, undeniable.
"Maaf ya, Dek. Mama cuma pingin jaga anak Mama. Kakak juga selalu Mama nasehatin meskipun dia jauh di Swedia sana."
Kak Sonya memang apes kali ini. Meskipun sudah jauh ke negeri orang, dan prestasinya luar biasa sampai bisa dapat beasiswa di Swedia, tetap tidak bisa lepas dari omelan Mama. Aku selalu tersenyum tipis mengingat itu.
"Iya gapapa, Ma. Masalah janjian sama Enzy bisa diatur."
Belum juga kecewaku habis, Mama tiba-tiba berteriak kaget.
"Ya ampun!" Mama menepuk jidat sambil melihat layar smartphone-nya.
Aku juga kaget karena teriakan Mama, "Kenapa, Ma?"
"Kamu tahu, Dek, Mama dapet chat broadcast dari temen nih. Korban virus pandemi di daerah kelurahan kita sudah ada satu orang! Gimana nih dek, ya ampun, ini juga gambar daerah lingkungan kita sudah merah. Aduh gimana ya, Dek. Mana Mama tadi mampir ke warung Bu Rina pagi-pagi. Katanya korbannya deket situ. Aduh gimana ya, Dek. Tahu gitu kan Mama ga kemana-mana." Mama terlihat panik seketika.
Mama kok jadi sepanik itu? Aku heran. Mama melanjutkan ceritanya.
"Aduh, Dek. Virus ini udah benar-benar merebak! Negara ini sudah dua juta orang. Negara itu sudah satu juta orang. Di sini kemarin sudah ada ada kasus baru positif seratus orang. Pusing Mama." Mama memang sangat khas dengan gaya ngomongnya yang meledak-ledak.
"Makanya jangan lihat berita di tivi, Ma. Mending lihat sinetron aja," responku spontan.
"Kamu itu, masih muda tapi ga update berita. Anak jaman sekarang emang susah diajak maju. Ga peka informasi. Kerjaannya kalau ga main game, bikin video-video joget-jogetan." Sindirian ini juga sering juga terlontar. Saking seringnya, telingaku sudah kebal menerimanya.
"Ya ga gitu, Ma. Mama jadinya takut sendiri kan gara-gara kebanyakan nonton berita? Semua berita nampilin virus. Korbannya segini, terus naik, level waspada, semua jadi merah petanya. Suasananya lebih horor dari film horor."
"Mereka kan memberikan informasi biar orang-orang waspada, Dek."
"Jadinya malah beda kan, Ma? Coba deh lihat Mama sendiri. Setiap hari isinya takuuuut terus sama virus."
"Mama bukan takut, Dek. Mama ini waspada. Dan ngingetin anak-anak Mama yang suka ngentengin sesuatu. Apalagi ini masalah kesehatan. Organisasi kesehatan dunia aja kewalahan, apalagi kita yang masih belajar dari orang-orang luar sana?"
Centing! Suara hape Mama, sepertinya ada pesan chat masuk.
"Ini. Ini baru informasi berguna. Tanda-tanda terkena virus," Mama berkomentar setelah membuka pesan masuk.
"Apa emangnya, Ma?" Aku bertanya basa-basi saja. Aku sudah tahu, cuma iseng saja biar Mama bercerita. Selalu asyik mendengarkan Mama berceloteh.
"Batuk, pilek, sesak nafas, demam. Intinya itu sih. Hampir sama kaya flu ya? Cuma ada sesak nafasnya. Kok ngeri ya? Gejalanya benar-benar mirip sama flu. Ga bisa disepelekan ini." Mama terlihat serius sekali. Mama kalau sudah serius terlihat seperti adegan-adegan sinetron. Ekspresif sekali Mamaku ini, boleh lah besok diajak collab di kanal Youtube-ku.
Mama melanjutkan, "Sering-sering cuci tangan. Dek, coba kamu lihat hand sanitizer kita, sudah habis belum? Coba kamu cek di lemari belakang itu."
Aih, kenapa tiba-tiba aku yang disuruh-suruh? Ya sekali lagi, perintah Mama adalah undeniable. Bergegas aku bergerak tanpa berkomentar.
"Ada, Ma. Satu kardus malah."
"Oya? Duh Mama lupa."
Aku dan Papa juga kaget saat Mama pulang membawa hand sanitizer satu kardus. Padahal harganya melonjak berkali-kali lipat. Kesehatan memang mahal harganya. Itu kata Mama selalu. Aku dan Papa mendadak saling pandang kalau komentar itu keluar dari Mama.
Kemudian Mama bergumam asyik sendiri dengan chat-nya di smartphone. Aku juga sibuk chat dengan Enzy. Dia sewot tiba-tiba rencana dibatalkan.
Terdengar suara mobil dari luar. Papa? Ini masih pagi, kok Papa sudah pulang? Mama pun juga menoleh ke arahku tanpa berkata-kata, juga heran.
Pintu depan terbuka. Papa masuk ke rumah. Bergegas aku dan Mama menghampiri.
"Pa? Kenapa pulang cepet?" Mama bertanya tanpa basa-basi.
Papa terlihat pucat. Tas kerja diambil Mama. Firasatku tidak bagus.
"Iya, Ma. Tiba-tiba Papa ga enak badan. Ini juga badan Papa agak anget. Tenggorokan juga tiba-tiba ga enak."
Mama melihat ke arahku, seperti mau bilang "Ini kan yang tadi kita bahas, Dek? Gejala infeksi virus?" Wajah cerah Mama terlihat merah padam, khawatir. Aku yang tadinya sangat santai mendadak merinding ngeri, takut tepatnya, dan mematung tidak tahu harus berbuat apa, tidak ada bedanya dengan Mama sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar