"Maaaa.. Sudah jam delapan ini. Bu Rachel sudah WA (baca : we-a). Qila ga bisa buka hapenya."
"Bentar, La. Mama masih di depan kompor ini. Kalau ditinggal gosong nanti ayamnya," jawabku dengan menghindar-hindar dari cipratan minyak. Mesti kalau sudah ayam masuk minyak panas, minyaknya jadi agresif begini.
"Ayo maaa, cepeeet. Nanti Qila telat lho. La jadi ga ngerti nanti. Ini pelajaran bahasa Inggris. Mama kan juga ga ngerti kalo La tanyain."
Huff, anak perempuan sepuluh tahunku itu pandai sekali menyindir. Aku memang cuma tamatan SMA biasa, yang kurang menaruh perhatian pada belajaran bahasa bangsa penjajah tersebut. Kenapa pula bahasa itu jadi bahasa internasional. Bikin repot saja kalau sudah sekolah model online begini. Gara-gara pandemi, Ibu rumah tangga seperti aku juga ikut susah.
"Bentar, La. Ini mama sudah hampir selesai. Tunggu satu meniiit aja yaaa," pintaku sedikit manyun memohon.
Qila terlihat kesal. Pipinya sedikit menggembung. Lucu sekali kalau sudah seperti itu, terlihat menggemaskan. Tapi aku juga bahagia, kesal artinya dia sangat antusias mengikuti pelajaran sekolah daring. Daring? Ya, singkatan dari dalam jaringan. Bahasa Indonesia dari online.
Aku bergegas mengentas ayam goreng yang sudah berwarna kecoklatan, masih dengan sedikit was-was, takut nanti minyak panas bertindak brutal lagi. Qila sudah mulai bosan menungguku sepertinya, mulai memainkan pensilnya menjadi gandulan bergoyang kiri kanan mirip jam klasik besar. Dia tahu kebiasaanku, satu menit aku suruh tunggu artinya pasti lebih dari itu, bisa lima menit, enam menit, dan seterusnya. Selesai sudah akhirnya si ayam goreng, terlihat begitu anggun di atas piring putih bergambar logo merk micin terkenal. Bergegas segera aku menghampiri Qila.
Qila terlihat antusias kembali, tidak sabaran bercampur khawatir lebih tepatnya, khawatir aku tidak bisa membantunya. Apalagi ini pelajaran yang tidak aku kuasai banyak, hanya tahu sekedar yes dan no, good morning, hello how are you, I'm fine thank you, and you. Selebihnya? Ampun, aku angkat tangan, harus menunggu bapaknya anak-anak datang sore dan baru bisa ditanyai seusai sholat maghrib. Qila pasti sudah mengantuk sekali.
Aku mengambil hape di depan Qila. Aku buka kata sandinya berupa rangkaian enam angka. Memang aku sengaja memberi kata sandi, biar Qila, anakku yang masih sangat polos, tidak menjadi anti sosial gegara kecanduan. Banyak sudah kasus seperti itu dan membuatku sangat ketat dan disiplin tentang penggunaan hape yang sekarang disebut smartphone.
Aku mendapati beberapa notifikasi masuk. Ada begitu banyak hal remeh mulai akun facebook sampai akun email. Yang menjadi fokusku hanya pesan aplikasi Whatsapp, membuka grup chat wali murid kelas empat, dan terdapat pesan dari Bu Rachel, wali kelas Qila, berupa tautan menuju aplikasi pembelajaran daring.
Baru aku klik tautan itu dan masih belum beres terbuka aplikasinya, masih terdapat tanda berputar-putar kecil di tengah berwarna biru menunjukkan masih harus ditunggu, suara Fiqo, adik Qila yang masih satu tahun dua bulan, terdengar nyaring dan kencang, tandanya dia bangun tidur.
"Howeeeek! Howeeeek!" Tangis Fiqo semakin kencang. Bagaimana ini, belum juga beres masalah sekolahnya Qila, eeh si Fiqo bangun. Ini juga kenapa sinyalnya tiba-tiba hilang, bikin geregetan saja. Ini jadinya kalau tergiur sama kuota data murah dengan jumlah banyak, sinyal lemotnya minta ampun.
"Iyaa bentaaar yaaa, Naaak." Dari kamar Qila aku berusaha membujuk yang aku tahu itu tidak akan berhasil. Kamarku, tempat Fiqo sekarang menangis, berada di sebelah kamar Qila. Tangisnya terasa semakin kencang dan mendesakku. Duh, bagaimana ini. Mana loading masuk aplikasi sekolah daring ini super lemot. Qila pun tidak sabaran, bolak-balik melihat jam dinding di kamarnya, sudah hampir sepuluh menit dia terlambat mengikuti.
"La, kamu tunggu bentar ya. Sebetar lagi muncul pilihan batalkan dan oke, kamu pilih yang oke. Fiqo bangun, mama kesana bentar." Qila cuma mengangguk sebentar dan langsung menatap layar hape kembali.
Sampai di sumber tangisan si bayi menggemaskanku, dia sudah dalam posisi duduk, dengan wajah sedih tertekuk, suara kencang memanggil tapi tidak histeris dan air mata keluar cukup banyak.
"Aduh anakku sayang sudah bangun, cup cup cup, ini mama disini. Mau nenen ya, sini nak sini. Aduh anak mama yang ganteng," aku bujuk Fiqo dan mengeluarkan senjata andalan agar tangisannya reda, ASI. Sambil mengusap-usap rambutnya, sedikit melihat wajah bapaknya anak-anak di wajah Fiqo.
"Maaaa.. Mamaaaaaaaa.."
Aduh apalagi ini kok Qila teriak-teriak memanggil, suaranya fals pula.
"Iya, Laaa. Sebentar. Kenapa lagi, Nak?" Tanggapku dengan sedikit kencang suara.
"Kok ini hapenya mati, Maaaa. Tiba-tiba matiii."
Mati? Apalagi ini. Reflek jidat kutepuk. Aku kira sudah selesai satu masalah Qila. Eeeh malah ada masalah lain muncul. Ya sudahlah. Kubawa juga akhirnya Fiqo dalam gendongan menuju Qila.
Alamak! Kenapa bisa mati begini. Cuma hitam yang terlihat. "Kamu apakan La hapenya?" Tanyaku kemudian.
"Qila ga nyentuh sama sekali, Ma. Pas Qila nunggu, ngeliatin bulet-bulet di tengah muter-muter, tiba-tiba hilang," jawab Qila polos.
Langsung ku ambil hapenya, aku tekan lama tombol on/off-nya, masih tidak menampakkan apapun di layar kecuali warna hitam. Aku bolak-balik sok tahu si hape, berharap aku menemukan apa yang salah. Aku periksa suhu punggung si hape, ternyata dia tidak demam, masih dingin, pertanda tidak terjadi kerusakan apapun menurut pengetahuan terbatasku. Aku putar-putar lagi, melihat setiap lubang yang ada , dari lubang charger sampai lubang jack earphone, sepertinya masih seperti sebelumnya. Apa yang salah aku masih tidak tahu.
Dengan masih menyusui si Fiqo, tiba-tiba teringat sesuatu. Ahaa pintar sekali aku ini. Aku ambil charger, pengisi daya, aku colokkan ke lubang listrik dekat meja belajar Qila, gambar baterai konvensional dengan 1% di tengahnya muncul. Alamak, aku lupa nge-charge hape tadi malam. Sekali lagi ku tepuk jidat.
"Duh, Mama lupa ngisi baterenya La tadi malem. Tunggu sebentar ya. Kalau angkanya sudah 5%, baru bisa dihidupin lagi."
"Yah, Mamaaaa. Ini sudah jam delapan lewat sepuluh, Ma. Nanti Qila terlambat ikut pelajaran." Qila manyun.
"Sabar anak mama yang cantik. Kan Qila anak mama yang baik. Anak baik tidak boleh mengeluh, oke?" Gampang saja aku mengarang kalimat agar Qila sedikit tenang. Sepertinya berhasil. Qila mengalihkan perhatian ke buku bahasa Inggrisnya, sepertinya mulai berusaha belajar sendiri.
Breeet! Breeeet!
Aih, siapa yang kentut ini? Mana bau sekali. Aku sedikit terkejut, hanya ekspresi latah saja. Siapa lagi kalau bukan Fiqo pelakunya. Bau kentutnya khas bau bayi. Fiqo pup (istilah di keluargaku untuk buang air besar) di pangkuanku. Aku masih duduk di kasur si Qila setelah men-charge hape. Kulihat wajah si Fiqo, eeh dia malah tersenyum bahagia. Mungkin sudah merasa lega. Tidak tahu apa si Fiqo ini, mamanya sedang repot kesana kemari, malah diberi pupnya. Tapi aku bahagia, melihat anak bayiku tersenyum selalu membuatku bahagia.
Aku bergegas beranjak menuju kamarku, kemudian menaruhnya di atas tempat tidur. Fiqo aku beri mainan kesukaanya, agar dia diam dan asyik sendiri karena setelah ini aku mau menyiapkan perlengkapan mandinya.
Saat menuju kamar mandi untuk menyiapkan semuanya, Qila tiba-tiba berteriak lagi, "Maaaaaa."
"Ada apa lagi, Nak?" Monyong sedikit mulutku, mau sebal. Masalah apalagi muncul setelah ini, pikirku.
"Kata sandi, Maaa. Ini sudah hidup hapenya," ucap Qila dengan suara lantang. Anak sulungku ini memang punya suara yang tegas dan lantang sejak dia TK.
Aku menghampiri tanpa berkomentar lagi. Pikiranku masih di kamar mandi. Kemudian aku ketuk kata sandi, masuk ke tautan yang diberikan ke Bu Rachel tadi, dan hey! Ajaib! Aplikasi terbuka dengan cepat! Itu keajaiban pertama yang muncul sejak keriwehan pagi ini dimulai. Qila terlihat ber-huff tanda dia lega, akhirnya bisa ikut belajar di "kelas".
Hey, si kecil aku lupakan. Bukannya ke kamar mandi malah ke kamarku. Reflek saja aku mau melihat Fiqo terlebih dulu. Ternyata si Fiqo sedang asyik dengan centong sayurnya, mainan kesukaannya. Sedikit berbeda memang Fiqo ini, tidak tertarik mainan-mainan mainstream yang berbentuk mobil, pesawat, robot dan sebagainya. Dia malah suka bermain dengan alat-alat dapur semacam centong, sendok, sutil (spatula), wajan dan masih banyak lagi.
Aku bergegas ke kamar mandi lagi. Menyiapkan air di bak mandi bayi serta perlengkapan mandinya. Setelah semuanya siap, aku menuju Fiqo dan mulai memandikannya dengan lembut. Baru saja selesai, terdengar suara teriakan Qila lagi.
"Maaaaaaa!"
Haduh! Apa lagi anak ini. Jangan masalah lagi muncul. "Ada apa lagi, Laaaa?"
"Ini, Maaaaa. Kok Qila ga bisa ngomong ke Bu Rachel. Padahal Qila sudah ngomong, tapi katanya ga denger. Suruh anmyut (unmute) dulu. Qila lupa ma cara anmyutnya."
Ada saja kehebohan pagi ini. Aku bergegas ke kamar Qila setelah aku handuki Fiqo di kamarku dan kutinggalkan dengan mainannya. Ini sudah pertemuan ke tiga dengan Bu Rachel, tapi Qila masih saja lupa caranya mute dan unmute. Padahal sudah aku beri tahu berkali-kali. Bu Rachel ini memang terkenal suka mute murid-muridnya agar tidak berisik saat menyampaikan materi, fitur seperti itu memang disediakan.
Terlihat Bu Rachel masih mencoba memanggil Qila, kemudian aku tekan tombol unmute dan spontan aku yang bicara, "Duh, maaf Bu Rachel, Qila tadi lupa cara unmute-nya. Saya masih belum bisa mendampingi, masih mandikan adiknya Qila, Bu."
Dari layar hape, Bu Rachel seperti heran tiba-tiba muncul suaraku. Sekejap mengerti kalau itu suaraku, kemudian menjawab, "Oh iya tidak apa-apa, Bu. Makanya kok Qila disuruh unmute ga dilakukan." Ramah suara Bu Rachel terdengar dari hape, melanjutkan berbincang dengan Qila, kemudian aku tinggal. Si kecil belum berbaju. Astaga aku lupa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar