Lagi-lagi, rumah sangat berantakan di mana-mana. Yaa, aku menyadari ini namanya konsekuensi, atas lepasnya ketergantungan terhadap gawai (gadget, handphone, smartphone, dsb.) Di sisi yang sangat damai, aku sangat menikmati setiap letak mainan yang berserakan. Di sisi yang memusingkan, aku capeeek! Hahaha. Harus bersihkan lagi, rapikan lagi, inikan lagi, itukan lagi.
Benar, aku menikmati para mainan yang tiduran di manapun mereka ingin. Aku menikmati karena rasa bersyukurku; anakku akhirnya bisa move-on dari ketertarikannya pada smartphone. Ku pikir akan sangat mustahil untuk melepaskan mereka dari itu semua (adiksi terhadap Youtube, games, dll). Ternyata kami, sebagai orang tua, bisa membelenggu ketergantungan mereka.
Berawal dari kasihan, kami memberikan kenikmatan menggunakan smartphone pada anak-anak. Meskipun sebenarnya, selain kasihan, kami juga ingin cara yang sangat mudah agar anak tidak rewel. Aku yakin, semua orang tua yang mudah saja membekali anaknya dengan smartphone adalah tipe orang tua yang tidak mau ribet menangani anak. "Kasih aja hape, biar gak ribet, biar ga macem-macem tingkahnya, biar gak nyusahin kita." Aku yakin alasannya adalah itu, karena aku pun juga begitu.
Sebagai orang tua yang baru belajar, pasti merasakan bagaimana susahnya menangani tingkah anak yang "nakal". Lama-lama, setelah merenungi itu semua, anak-anak yang sedikit bertingkah dan merepotkan bukanlah anak nakal. Mereka hanya belum tahu mana yang baik dan buruk, boleh dan tidak. Ditambah dengan rasa penasaran yang besar akan banyak hal.
Tentunya karakter setiap orang, setiap anak, berbeda-beda. Aku menyebutnya bawaan lahir. Tuhan sudah membubuhi karakter itu bahkan sebelum anak lahir ke dunia. Dan tidak semua anak punya karakter yang penurut, pendiam dan kalem, kan? Kalau kau mendapatkan anak seperti itu, rajin belajar tanpa tingkah laku yang macam-macam, selalu nurut, mudah diatur, itu sungguh kemudahan yang luar biasa nikmat. Jalanmu mendidik anak akan sangat ringan. Bagaimana kalau sebaliknya? Anakmu keras, malas dan terus bergerak mengutak-atik banyak hal (a.k.a. membuat kekacauan)? Ya betul, akan sedikit berat. Hahaha. Dan aku juga mengalami hal itu, Bro, Sis.
Aku dianugerahi dua anak. Yang pertama, si kakak, meskipun aku manjakan dia dengan gadget dari usia satu tahun, ketikan ku hentikan aktivitasnya bermain smartphone, dia tidak berontak, atau meraung-raung, atau merengek meminta lagi. Tapi yang kedua, si adik? Haduh, ku pikir akan sama dengan si kakak. Ternyata aku salah menilai. Maklum lah ya, orang tua yang masih belajar. Ternyata si adik punya karakter rebel. Kalau tidak terima akan sesuatu, seperti tiba-tiba ku ambil smartphone dari tangannya, dia akan berontak, menangis dan sebagainya. Apapun akan dia lakukan sampai dia mendapatkan apa yang diinginkan.
Contohnya ya seperti yang ku sebutkan di atas; menghentikan aktivitas bermain gadget. Aku memanjakan si adik dengan smartphone. Lambat laun akhirnya dia tahu bahwa itu sangat menyenangkan. Lama-lama dia merasa butuh itu. Bangun tidur, yang diminta hape. Mau makan, selesai makan, yang diminta hape. Bangun tidur siang, hape. Everytime hape lah pokoknya. Daripada merengek dan berisik, kasih hape aja kan ya?
Awalnya, ku pikir menggunakan hape terlalu sering tidak banyak berpengaruh apa-apa, seperti si kakak. Dia malah tahu banyak hal dari Youtube. Tontonan yang sering dia lihat masih berbau edukasi; bahasa Inggris lah, angka dan huruf lah, dan banyak lagi tontonan edukatif lainnya. Tapi aku melupakan satu hal, ketertarikan anak berbeda-beda, tergantung karakternya masing-masing.
Sempat ku lihat tontonan anakku yang kedua, ternyata tidak sama dengan si kakak. Yang dilihatnya adalah video-video akting konten kreator anak, sebut saja drama-dramaan. Temanya macam-macam, kebanyakan tidak jelas. Berusaha lucu tapi tidak lucu, berusaha sedih tapi tidak sedih, resolusi gambar ya begitu lah, cuma direkam pake smartphone, serba ala kadarnya. Si adik menyukai adegan drama-dramaan macam itu. Sampai akhirnya aku menyadari, tontonan-tontonan itu yang hampir membentuk perilakunya.
Aku contohkan adegannya seperti ini. Misalnya ada adegan ibu dan anak (pemerannya juga anak-anak semua). Ibu: I, anak: A.
A: "Asiiik, aku main hape.""
I: "Hey, kamu tidak boleh main hape terus. Sini hapenya! Ibu mau belanja di Shopee."
(Kemudian hape direbut oleh si ibu dan si anak menangis)
A: "Heeeeeee (akting menangis). Ibu, aku mau main hape." (Masih akting menangis)
I: "Tidak boleh! Sana kamu main sama temen kamu aja."
A: "Gak mau Ibu (sambil nangis-nangis). Aku mau hape. Sini Ibu, hapenya (berusaha merebut hape dari tangan si ibu)."
I: "Dibilang gak boleh, ya gak boleh! (Akting marah ala anak-anak, sambil melotot dan manyun-manyun pula)"
A: "Ibu jahat sama aku, aku maunya main hape, Ibu gak sayang sama aku."
I: (Dalam hatinya dia berkata, kasihan anakku, sampai bilang kayak gitu ke aku. Ya sudah aku mengalah saja.) "Ya sudah Nak, ini hapenya biar kamu gak sedih lagi."
A: "Horee. Terima kasih Ibu. Aku sayang sekali sama Ibu."
Adegan itu, atau semacam itu, sangat mudah diserap oleh si adik. Mungkin dia tertarik dengan dunia akting, tapi dengan konten itu? Ya itulah senjatanya ketika menemui situasi yang serupa karena itu yang dia pikir benar dilakukan. Secara langsung maupun tidak, dia sudah "belajar".
Bahkan adegan ekspresif yang disajikan akan benar-benar diserap; menangis, tertawa, dan sebagainya. Eskalasi ekspresi yang dipraktekkan bisa jadi meningkat drastis dari tayangan dan akhirnya menjadi "senjata" untuk dia. Kalau orang tuanya "kalah", ketika dia menginginkan sesuatu dan tidak mendapatkannya, senjata itulah yang terus dia pakai. Hal ini yang terjadi pada si adik, yang biasa orang bilang "Tantrum", bahkan "Tantroy". Tantrum parah Coy!
Aku dan istri juga sering berdiskusi memikirkan bagaimana caranya menghentikan ketantruman si adik. Karena akhirnya, kebiasaan menangis meraung-raung itu tidak cuma soal gadget, merambat ke hal lain juga. Misalnya, minta kue cokelat, aku tahu dia sedang batuk, kemudian aku melarangnya. Dia akan menangis sejadi-jadinya dan akan terus seperti itu sampai keinginannya terpenuhi. Sampai suatu saat yang paling parah, dia bisa menangis sambil menjerit-jerit dan guling-guling tiduran di manapun; di jalan (pinggirnya ya, bukan tengahnya), di lantai mall, di manapun ketika dia memulai ritual tantrumnya. Lebih parahnya lagi, kebiasaan tersebut terbawa saat tidur. Orang biasanya mengigau ya biasa saja, ngomong ini itu, biasa saja. Tapi anakku, mengigaunya dengan marah-marah, tiba-tiba menangis, sampai akhirnya terbangun dengan tetap menangis dan marah-marah.
Separah itu? Betul. Kami juga pikir itu sudah sangat parah. Setelah sering berdiskusi, aku dan istri sepakat kalau kami sebagai orang tua, harus "tega" mengambil kebahagiaannya, yaitu handphone. Karena itulah akar kenapa anakku bisa punya perilaku seperti itu. Bagaimana kalau dia minta handphone dan tidak diberi, kemudian menangis sejadi-jadinya? Ya kami harus "tega". Kami menjadi raja dan ratu tega. Sungguh sebenarnya hati teriris-iris melihat tangisan anak yang menjadi-jadi, tapi ya mau bagaimana lagi? Demi kebaikannya sendiri saat dia besar nanti.
Berlangsung berapa lama? Entahlah aku tidak memperhatikan. Tapi rasanya lamaaaaa sekali menjadi raja dan ratu tega. Berbulan-bulan yang pasti, mungkin sampai setahun. Dan akhirnya kebiasaan itu berkurang juga, bahkan drastis. Lain kali ku beritahukan caranya.
Aku juga sudah menyadari apa yang akan terjadi ketika anak-anak sudah tidak bergantung lagi bermain gadget. Mereka akan bereksplorasi dengan imajinasinya dan langsung dipraktekkan. Referensi mereka ya pasti dari dunia sekitarnya. Salah satunya adalah televisi.
Seperti gambar yang aku cantumkan di atas, mainan peralatan masak yang berantakan, pasti hasil dari melihat kartun yang adegannya tentang memasak, jual-beli, dagang-dagangan, dan semacamnya. Alhamdulillah, aku pun punya inisiatif mendukung pengembangan imajinasi mereka. Misalnya, kedua anakku sedang mempraktekkan adegan pertarungan antara super hero dan monster. Tiba-tiba muncul ide untuk membuat topeng dari bahan seadanya. Katanya orang tua harus kreatif ya kan? Kalau tidak bisa buat ya beli. Seperti alat masak-masakan, gimana coba bikinnya? Hehe.
Aku juga menyadari konsekuensi dari eksplorasi imajinasi mereka adalah rumah akan sangat berantakan. Kok gak diajarin bersih-bersih? Merapikan mainan lagi? Sudaaaaah, Kawan. Sudah sangat sering, ribuan kali mungkin. Tapi ya, namanya anak kecil, habis main, capek, terus tidur. Mau marahin anak lagi tidur? Kami tidak setega itu ternyata. Akhirnya orang tuanya lah yang membereskan segala yang tercecer berantakan.
Capek kah? Ya iya laaah. Hahaha. Pulang kerja, disambut dengan mainan berserakan. Bangun tidur, disambut dengan senyuman anak yang sedang bermain, dan mainannya masih berserakan. Keluar sebentar, kemudian masuk rumah, disambut dengan hal yang sama, padahal tadi sudah dibereskan. Hadeeeh.
Tapi suasana berubah. Aku sudah jarang mendengar tangisan, amukan, rengekan seperti sebelumnya, saat tragedi tantrum terjadi. Ya sesekali mendengar tangisan, marah-marah, saat mereka, anak-anakku, berantem. Tidak tantrum, waktu main bareng, eeeh, malah berantem. Bisa pukul-pukulan beneran, akhirnya salah satu menangis, atau salah duanya. Kadang rebutan mainan, menangis lagi salah satu, atau salah duanya. PR lagi untuk orang tuanya kalau sudah seperti itu. Habis tantrum, terbitlah berantem. Hadeeeh. Ternyata susah ya jadi orang tua. Hahaha.
Cheers! Untuk kehidupan yang sangat menyenangkan ini.
cieee jadi bapak2 konten blogspot😂
BalasHapus