"Signora, kau tahu kan apa tugasmu? Kau sudah siap? Tenang saja, aku akan pilihkan kau seseorang dengan paras terbaik, agar kecewamu tidak terlalu besar nanti." Mami Bos sedikit serius. Aku hanya diam dan menyanggupi.
Kemudian, setelah "malam pertama" itu, semua berjalan biasa, karena memang terbiasa. Aku sudah ceritakan kalau aku sudah terbiasa dengan kata "terbiasa", kan? Serahkan semuanya pada sang waktu. Itu saja kuncinya.
Dunia ini memang sangat gemerlap. Apapun yang dilarang agama, semuanya ada. Terpaksa aku melakukannya, aku terjebak, lebih tepatnya membuat diriku sendiri terjebak. Gemerlapnya dunia ini juga sempat membuatku lupa bagaimana kondisi bapakku. Sempat aku memohon kepada Mami Bos untuk melihatnya sebentar saja meskipun itu dari jauh, hanya untuk memastikan keadaannya. Tapi Mami Bos menolak. Dia bilang dia yang akan memeriksanya sendiri dan akan dikabarkannya sendiri. Sedikit kecewa tapi itu sudah cukup. Aku hanya ingin tahu kabarnya, dan memberinya sebagian uang yang aku hasilkan. Mami Bos tidak mau membantu untuk keinginanku yang kedua. Terus, bagaimana aku melakukannya? Keluar saja tidak bisa. Setidaknya aku merasa iba pada bapakku, ingin membantunya meskipun uangnya panas. Baru setelah beberapa bulan terkurung, aku tahu aku bisa keluar tapi harus dengan Mami Bos, berbelanja apapun tapi harus dengan Mami Bos. Aku benar-benar menjadi burung dalam sangkar sekarang.
Hari-hari aku jalani dengan siklus yang sama. Dinamika terasa hanya karena bertemu dengan orang yang berbeda setiap harinya. Aku masih muda, tenagaku masih kuat, dan aku cukup menghasilkan uang. Belum setahun pun aku sudah menjadi salah satu produk unggulan dengan biaya mahal.
Tak terasa sudah hampir tiga tahun aku di tempat ini. Entah apa yang sudah menggerogotiku. Entah aku sudah terkena atau belum. Aku juga tidak terlalu bodoh untuk mengetahui dunia ini membawa penyakitnya sendiri, penyakit dengan proses pengrusakan yang lama, dan tanpa penyembuh. Tapi aku tidak takut. Aku tahu menjaga diri, setidaknya itu yang diajari Mami Bos untuk meminimalisir peluang terkena penyakit. Setidaknya itu membuatku tidak takut. Bagaimana dengan dosa? Apalagi itu. Aku tidak berada di lingkungan dengan suasana beribadah dari kecil. Sekolah sudah mengajarkan tapi pelajaran hanya pelajaran, tidak berguna kalau lingkungan sehari-hari tidak singkron. Apa itu dosa? Aku sudah tidak bisa merasakan meskipun aku tahu. Kadang hati kecilku berhasil membujuk kalau itu salah, tapi realita lebih berdaya untuk mengalahkannya.
Yang terngiang hanya tentang bapakku. Berusaha aku melupakan tapi tidak pernah berhasil. Mengingat bapakku setidaknya membuatku merasa aku tidak sendirian di dunia ini. Ada rumah yang masih bisa aku bayangkan. Ada rumah yang masih bisa untuk aku pedulikan. Ada rumah yang masih bisa aku jadikan tujuan untuk pulang. Bantuan Mami Bos tetap tidak membantuku, tidak memuaskan keinginanku. Hanya dalam bentuk ucapan "bapak kau baik-baik saja, Signora" hanya membuatku semakin curiga kebenarannya. Sempat suatu hari aku mendesaknya meminta bukti visual, benar Mami Bos memberikannya. Terlihat bapakku memanggul karung putih terisi botol-botol plastik, sekarung penuh. Bapakku masih terlihat sama, tapi tidak terlihat bersedih karena tiba-aku aku menghilang. Apa Mami Bos pernah memberikan kabar keberadaanku? Aku tidak pernah bertanya, belum berani, melihatnya baik-baik saja sudah cukup bagiku.
Semakin lama semakin memuncak rindu ini. Kehidupan ini, hiruk pikuk dan gemerlapnya, membuatku semakin tidak nyaman. Apa yang bisa dilakukan? Tidak ada. Aku tidak tahu harus bercerita dengan siapa. Aku sudah terbiasa sendiri dan berbicara pada diriku sendiri. Tapi rasa tidak nyaman ini terus menusukku, seperti memberontak harus keluar. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Berdoa? Aku sudah lama melupakan ibadah. Entah aku masih ingat atau tidak melakukannya. Meskipun bisa, aku juga tidak yakin aku diterima. Sudah sekotor ini rasanya sangat tidak mungkin akan diterima.
Tahun ketiga ini benar-benar membuatku ingin memberontak. Tapi berontakku hanya berbentuk tangisan tiap malam. Selesai "bekerja", sebelum istirahat, air mataku selalu jatuh, masih dengan bayangan yang sama, bapakku. Pernah suatu ketika itu masuk ke level lebih tinggi, tangisanku benar-benar menjadi-jadi. Aku berontak, aku hendak berteriak tapi aku sumpal mulutku rapat-rapat dengan bantal agar tidak terdengar sekitar. Tangisan adalah representasi kelemahan, aku tidak mau terlihat lemah.
Mimpi-mimpiku saat terlelap pun di saat-saat terakhir tahun ketigaku hanya tentang bapakku. Entah kenapa aku sangat rindu, padahal aku tidak dekat. Apa benar kata peribahasa? Gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di ujung samudra sangat jelas terlihat. Bagiku ini bukan tentang kesalahan, tapi tentang ikatan batin antara anak dan orang tua. Saat sangat dekat, bertemu setiap hari, ikatan itu seperti lenyap. Saat jauh seperti ini, justru terasa sangat nyata. Ada sesuatu yang biasanya orang sebut rindu.
Perjalanan tiga tahun terakhir ini ternyata benar-benar jalanku mencerahkan pikiranku tentang definisi rumah, tempat kemana aku harus pulang. Keingingan pembuktian yang dulu menggebu-gebu, sekarang hampir lenyap. Apa guna punya segalanya kalau tidak punya tempat untuk pulang? Ada sesuatu dalam diriku yang terus mengucapkan pertanyaan itu, dimanapun dan kapanpun.
Untuk pertama kalinya, dalam tangisan malamku, aku menyebut Tuhan. Aku benar-benar bercerita bebanku. Tangis menjadi, muka merah-semerahnya, mulut terus bercerita dengan suara lirih tapi dalam, dan mengahadap ke atas, seperti untuk pertama kalinya aku merasa aku berbicara di depan Tuhan dan Ia sedang mendengar. Aku sudah tidak peduli aku kotor atau tidak, aku layak atau tidak, aku bisa atau tidak, aku hanya ingin beban dalam tubuhku keluar. Malam itu, setelah mengakhiri dramaku dengan Tuhan, dada ini seperti mulai bisa bernafas. Mulai terasa kelegaan meskipun tidak seluruhnya. Aku hanya ingin pulang, pulang ke rumahku, bapakku, hanya itu inti curhatanku pada Tuhan.
Beberapa malam setelah malam sakral itu, Tuhan seperti benar-benar menunjukkan jawaban pertanyaanku. Awalnya aku tidak mengerti kalau Tuhan menjawab keinginanku, melalui pandemi yang menyerang dunia.
Malam itu, aku berada di ruang tunggu tamu menunggu ada yang "membeli" jasaku sambil menonton televisi. Aku bosan dengan isinya. Aku ganti-ganti saluran semauku, sampai menemukan tayangan yang membuatku tertarik untuk melihat.
"Dikabarkan ratusan orang meninggal karena penyakit misterius yang muncul. Diduga penyakit ini berasal dari virus yang juga tidak dikenal. Menurut pengamatan para ahli, virus ini menyerang saluran pernafasan yang membuat korban tidak bisa bernafas seketika." Suara seorang penyiar berita terdengar dari televisi.
Mataku membelalak, aku setengah kaget tapi tetap antusias menyimak kelanjutan beritanya. Aku simak benar-benar perkataan penyiar di tengah suara musik yang sangat berisik. Ini penting bagiku, setidaknya ada hal yang sama dengan tempat gemerlap ini yang membuatku tertarik memperhatikan. Penyakit.
Orang sekitarku tidak ada yang memperhatikan, mereka rata-rata sedang ngobrol bercanda dengan orang sebelahnya, atau asyik sendiri denga handphone-nya. Tapi aku serius memperhatikan apa yang diberitakan. Ternyata penyakit ini hanya terjadi di negara tetangga jauh saja, tidak di negaraku. Dan juga hanya menyerang saluran pernafasan, dan itu bukan seperti penyakit di tempatku. Akhirnya berita itu juga ikut membosankan seperti tayangan yang lain. Aku alihkan kebosananku pada handphone-ku seperti orang lain.
Besoknya, dengan situasi yang sama seperti hari sebelumnya, aku bosan menggonta-ganti saluran, dan muncul perkembangan berita tentang virus. Aku simak sekilas, ternyata korbannya bertambah, lebih banyak. Hari berikutnya dan berikutnya, saat aku melihat berita kembali, jumlahnya sudah mencapai ribuan. Dan negara lain sudah juga mengalami penyakit dengan gejala yang sama. Kenapa bisa cepat begini? Aku tidak habis pikir. Virus apa ini? Sepertinya sangat berbahaya. Tidak ada yang tahu itu apa, jenis virus baru. Tapi negara-negara yang terjangkit sangat jauh. Beberapa negara sudah melakukan sistem lock down, melarang orang dari negara lain masuk ke negaranya. Separah itu kah? Pikirku kembali. Aku hanya membayangkan kejadian di negara itu dan mempertanyakan ini itu hanya untuk mengusir kebosananku dan pikiranku tentang pulang.
Sampai pada akhirnya, aku sadar itu adalah jawaban Tuhan untukku, jawaban tentang keinginanku pulang. Tuhan memberikan jawaban dengan menghadirkan penyakit tersebut di negaraku..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar