Virus telah masuk ke negaraku. Diberitakan di hampir semua televisi nasional, pasien pertama, kedua, dan ketiga. Sepertinya semua penduduk ibukota panik termasuk aku dan semuanya yang ada di lokalisasi. Padahal jarak negara pertama yang terinfeksi sangat jauh. Dan dalam hitungan bulan, negaraku juga terjangkit diawali dengan pasien satu, dua, dan tiga yang diumumkan salah satu juru bicara presiden pada press conference.
Untuk apa aku panik? Aku melihat semua orang di sini baik-baik saja. Setidaknya aku memperhatikan berita selanjutnya setelah pengumuman pasien pertama, berita tentang gejala-gejala yang ada pada orang yang diduga terinfeksi virus. Aku bisa menahan kepanikan dengan pengetahuan yang tidak sengaja aku tahu. Semua orang panik, mendadak semua membicarakan itu. Padahal jangankan bicara, tahu virus itu saja tidak.
Setelah itu, di tengah kepanikan yang terjadi, entah kenapa firasatku baik. Aku belum menyadari kenapa perasaanku sangat ringan. Sampai setelah kasus terinfeksi bertambah, pemerintah menerapkan pola hidup baru, jaga jarak atau kerennya social distancing. Aku sadar, itulah kenapa firasatku bagus. Harus jaga jarak? Apakah artinya kerumunan dan segala aktivitasnya akan segera dilarang?
Benar sekali dugaanku. Peningkatan angka orang terinfeksi semakin tidak terkontrol. Banyak yang mulai berspekulasi, menyalahkan, dan sedikit yang tetap optimis memberi semangat. Aku tidak peduli itu semua. Yang jadi perhatianku bagaimana pola jaga jarak ini akan mengontrol semua aktivitas yang melibatkan kerumunan, termasuk tempatku ini, jurang yang dalamnya tidak terlihat.
Pemerintah tidak bisa melakukan sistem isolasi negara atau lock down seperti yang dilakukan negara-negara lain. Bagaimana mungkin? Kalau itu diterapkan, siapa yang akan memberi makan dan menghidupi semua yang diisolasi? Negara lain yang melakukan itu adalah negara maju. Anggaran sudah mereka persiapkan untuk wabah ini. Tapi negara kita? Jangan tabungan, hutang saja belum lunas. Tapi, sebagai usaha untuk menangani ini, pemerintah membuatnya dengan istilah dan sedikit modifikasi. Pembatasan sosial berskala besar. Pembatasan aktivitas bukan berarti tidak beraktivitas, hanya sektor tertentu saja yang boleh. Bagaimana tempatku? Aku berharap tempatku terkena aturan tidak boleh beroperasi.
Sejak PSBB diumumkan, pelaksanaanya tidak mulus seperti yang dikira. Namanya masyarakat, butuh sosialisasi dulu untuk mengerti. Maka, tahap pertama, melakukan sosialisasi langsung terjun ke lapangan, selain terus gencar di media elektronik maupun cetak. Belum sampai itu tantangannya. Ternyata banyak yang masif tidak terima. Pendapatan akan menurun, rata-rata itu alasannya. Tapi memang benar, tapi PSBB dilakukan untuk kesehatan semua. Negara maju yang sakit pun lama-lama juga bobrok. Salah satunya yang menolak ada Mami Bos. Sudah lama tempat ini tidak didatangi petugas berseragam. Sekarang, tiga pihak langsung mendatangi, satpol pp, polisi dan tentara. Kewajiban mereka lah yang memastikan aturan yang dibuat pemerintah berjalan dengan baik. Mungkin pemerintah tahu ini tempat salah satu yang berpotensi membangkang. Maka dari itu tiga pihak langsung dikirim.
"Tapi kami bisa menerapkan apa yang dianjurkan oleh pemerintah, bapak-bapak semuanya." Mami kos melakukan pembelaan ketika mulai berdiskusi dengan pasukan yang datang.
"Tapi, tempat ibu ini harus ditutup sementara bu, sudah masuk daftar "yang harus ditutup". Kalau ibu tidak percaya, baca saja surat edaran yang dikeluarkan." Timpal salah satu petugas yang tampaknya seorang polisi.
Membaca edaran tersebut, Mami Bos mengernyitkan dahi.
"Tapi tidak bisa, Pak. Banyak yang kerja di sini, bagaimana dengan mereka setelah ini? Mereka hanya dapat upah harian, tidak bulanan seperti bapak sekalian." Mami Bos membela lagi, pandai sekali bersilat lidah.
"Tugas kami hanya melaksanakan perintah, Bu. Kalau mau protes, datang saja ke kantor walikota atau gubernur. Yang jelas, kalau ibu mengahalangi kami, ibu melanggar peraturan daerah. Dan resikonya, tempat ini bisa ditutup selamanya." Bapak berpakaian tentara yang terlihat sudah hampir berusia lima puluh tahun mulai maju berbicara. Tapi Mami Bos tidak gentar.
Mami Bos berpikir lagi. Kalau Mami Bos terdesak, biasanya ajudan-ajudan premannya menghampiri dan membela. Sekarang, mereka hanya berdiri jauh di pojokan ruangan, tidak berkutik mirip ayam kedinginan terkena hujan.
Mami Bos benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa kali ini. Hanya memandang sekitar berkali-kali seperti mencari pembelaan. Kalau petugas sudah berbicara, Mami Bos tidak bisa berbuat apa-apa. Tempat ini, tidak boleh beraktifitas sampai waktu yang belum ditentukan.
Bagaimana nasibku? Apakah aku bisa bebas dengan kejadian ini? Aku hanya memperhatikan percakapan dari jauh. Sayup-sayup aku mendengar tapi sebagian besar aku bisa mendengarnya. Setalah itu, setelah menjelaskan beberapa hal kepada Mami Bos, para petugas dari tiga elemen tersebut berpamitan. Mami Bos terlihat kesal tapi tetap berusaha tersenyum.
Para petugas memang berpamitan, tapi datang lagi beberapa petugas lain. Tugasnya memastikan semua pengunjung di tempat ini pergi. Semua aktifitas dihentikan dari musik sampai yang berjualan. Hanya tempat seperti miniarket atau warung saja yang boleh buka. Yang sedang berkumpul juga dibubarkan, tidak ada kerumunan. Setelah kondusif, para petugas pergi dari tempat ini. Tapi selang beberapa jam, akan datang lagi petugas untuk berpatroli, memastikan semua sesuai aturan.
Setelah semua dirasa "aman", Mami Bos mengumpulkan kami semua para karyawannya. Dan mulai membuka obrolan, "Sial sekali kita kali ini. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi secepat ini?" Mami Bos menendang kursi di depannya sampai jatuh.
"Kalian mungkin beberapa dengar percakapanku dengan petugas tadi. Kita disurih tutup sampai waktu yang tidak ditentukan. Tapi feelingku, ini akan sebentar. Paling sebulan lagi atau paling lama dua bulan. Karyawan yang berhubungan dengan makanan minuman, kalian boleh pulang ke kampung masing-masing." Mami Bos mulai memberi perintah. Hatiku mengembang, sepertinya aku juga boleh pulang.
Lanjutnya, "kalian yang melayani tamu, jangan harap kalian bisa pulang. Meskipun tidak ada pekerjaan, kalian harus tetap di sini. Jangan coba-coba kabur. Semua kebutuhan makan kalian ditanggung. Hanya sebatas itu. Hanya untuk makan dan kebutuhan pokok lain."
Aku mengernyitkan dahi. Semangat karena firasat baikku kemarin kandas, tiba-tiba terhempas begitu saja. Aku menunduk. Aku tahu aku tidak punya kekuatan untuk melawan Mami Bos. Yang lain tampak biasa saja, bahkan senang tidak ada pekerjaan tapi tetap diberi makan. Apa hanya aku yang merindukan rumah? Orang di sini semuanya ramah, tidak pernah terjadi suatu pertengkaran yang berarti. Tapi itu tidak cukup untuk membuat tempat ini menjadi rumah baruku. Aku tidak mau menangis meskipun ingin. Aku tidak mau menampakkan aku ingin pergi dari tempat ini.
Entahlah, sesedih apapun karena momen kemarin, firasatku tetap baik. Tugasku di dalam tempat ini sekarang adalah tidak melakukan apa-apa. Hanya berbincang dengan yang lain dan lama-lama membuat kami bosan setelah beberapa hari.
Satu bulan berikutnya, semua mulai bingung, mulai gelisah dan beberapa terkena demam. Demam? Iya demam, dan itu masuk salah satu gejala virus. Tapi Mami Bos tidak melapor, hanya melakukan pengobatan mandri menggunakan obat-obat yang ada di warung. Tapi kebanyakan panik, pikiran sudah menjalar liar, takut terinfeksi virus juga, takut meninggal. Beruntungnya, yang demam itu sembuh keesokan harinya. Semua kembali lega, karena demamnya hanya demam biasa. Dari televisi mereka mendapat informasi kalau demam yang merupalan gejala adalah demam selama minimal satu minggu.
Tapi memasuki tiga bulan dari tutupnya tempat ini, Mami Bos lah yang mulai mengernyitkan dahi. Perkiraan dan perhitungannya meleset. Uang cadangan untuk menghidupi seluruh pelayan tamu semakin menipis. Dikiranya setelah dua bulan dia akan bisa menghasilkan uang lagi. Ternyata, semua benar-benar meleset. Mami Bos tidak berani melawan aturan, karena tempat ini benar-benar mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
Singkat cerita, setelah kebingungan dan kegalauannya beberapa hari terkahir, Mami Bos menyerah. Saat itu aku di kamar, tidak melakukan apa-apa selain memainkan smartphone tanpa arah. Ada pesan masuk dari Mami Bos. Semua disuruh berkumpul di ruang tunggu tamu. Aku bergegas ke sana dan masih belum tahu akan ada apa. Mami Bos dan yang lain terlihat hanya diam sesampainya aku di sana. Setelah semua berkumpul, Mami Bos mulai berbicara. Aku baru sadar dia lebih kurus.
"Para daraku, singkat saja, aku tidak akan berlama-lama. Tampaknya aku sudah tak sanggup menanggung kalian. Uangku sudah habis, jujur saja. Maka dari itu, kalian sebaiknya pulang ke rumah masing-masing. Meskipun kalian tidak punya rumah, kalian tidak boleh tinggal di sini. Terserah kalian mau tinggal dimana. Tapi percayalah, aku akan memanggil kalian kalau suasana normal kembali."
Apa? Mimpikah aku? Aku berteriak kencang dalam hati. Sembunyi-sembunyi aku mengepalkan tangan. Nanti dipanggil lagi? Aku memantapkan hati untuk benar-benar pergi dari tempat ini. Aku akan pergi jauh. Nomer teleponku akan aku ganti. Bapakku akan aku ajak pindah. Aku tidak akan terdeteksi.
Aku sekarang sadar, Tuhan Maha Mendengar kepasa siapapun. Tuhan mengabulkan doaku. Aku merasa lebih berdosa karena mengingat aku yang tidak beribadah dan sempat meragukan Tuhan. Aku salah, Tuhan selalu baik kepada siapapun. Akhirnya, aku bisa pulang, benar-benar kerinduan yang sudah memuncak. Kejadian ini benar-benar menyadarkanku akan kuasa Tuhan. Tuhan selalu punya cara yang unik dan tidak pernah terduga untuk menjawab pertanyaan manusia tentang permasalahan kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar