"Mas, kamu ternyata selingkuh! Begini kelakuanmu selama ini? Aku capek-capek ngurusin anak di rumah, ternyata begini kelakuanmu di belakangku! Tega kamu, Mas. Tega!"
"Bukan begitu, Tin. Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini sebenarnya.."
"Ah, sudah, Mas! Aku capek dengan ini semua. Kamu tahu? Banyak orang di lingkungan kita sedang membicarakan kamu, Mas! Aku lebih mempercayai kamu daripada mereka. Yang ngelihat kamu berduaan sama cewe lah, yang kamu sedang bermesraan lah. Aku tidak percaya, Mas. Tidak pernah mempercayai mereka. Tapi sekarang, ternyata benar! Kamu tega, Mas! Ini wanita simpananmu, hah?"
Wanita yang bersama Haris terlihat salah tingkah. Tina mempergoki Haris karena sudah tidak tahan dengan omongan tetangga. Akhir-akhir ini memang gelagatnya mencurigakan. Setiap Tina mencuci baju Haris, bau parfum seperti kepunyaan wanita selalu menempel. Dan terakhir yang membuatnya benar-benar di ujung puncak kecurigaan adalah ditemukannya bekas lipstik di baju kerja Haris. Akhirnya Tina memutuskan mengikuti Haris untuk menyelidiki.
Wanita yang bersama Haris, tiba-tiba berdiri dengan wajah yang sinis dan meremehkan.
"Oh, ini istri kamu, Mas? Pantesan kamu ga betah di rumah. Dekil, ga bisa dandan, dan pakaiannya cuma gini? Lebih pantes jadi pembantu daripada istrinya Mas Haris."
Sontak emosi Tina terpancing.
"Apa kamu bilang? Heh, jaga mulutmu perempuan gatel! Dasar pelakor, kamu tahu Mas Haris sudah punya istri dan anak, kan? Dasar wanita murahan!"
Wanita simpanan Haris juga mulai marah, dan menunjuk-nunjuk saat bicara.
"Jaga mulutmu, pembantu norak! Coba kamu tanya sama Mas Haris, siapa yang pedekate duluan? Kalo dia ga deketin aku, ngapain aku tergoda. Masih banyak pria di luaran sana yang mau sama aku! Ya pantesan aja lah kamu diselingkuhin. Dandanan pembantu kaya gini. Sedangkan lihat Mas Haris, ganteng, gagah, kaya lagi."
Tina menjadi lebih muntap.
"Jangan kurang ajar kamu, dasar pelakor!" Tina mulai mendorong dengan wajah murka. Wanita yang dituduh pelakor pun sedikit terhuyung ke belakang. Dia tidak terima dilakukan seperti itu. Lantas dia juga membalas dengan mendorong balik sedikit lebih keras. Tina terjatuh dan kepalanya terbentur di tembok dekat mereka. Seketika Tina tidak sadarkan diri.
"Tina!" Haris berteriak meraih Tina. Lanjutnya, "Apa yang kamu lakukan, Tami?"
"Aku, aku, tidak sengaja, Mas." Ucapannya bergetar. Tami, nama perempuan itu, terlihat bingung dan takut.
"Tina, bangun, Tin." Haris mencoba membangunkan Tina dengan menangis. "Tolong! Tolong!"
Keributan itu membuat beberapa orang yang ada di cafe mendatangi mereka. Salah satu orang menghampiri Tina, dan langsung memeriksa nadi yang ada di tangannya.
"Innalillahi wainnailaihi rojiun. Mbak ini sudah meninggal, Mas," ucapnya dengan nada datar, berusaha terdengar prihatin.
"Apa? Tina, Tin. Bangun, Tin. Aku menyesal dengan perbuatanku! Banguuuun, Tin!" Haris menangis histeris.
Tami, melihat kejadian itu, langsung berpikir untuk kabur. Kemudian dia berlari menjauh keluar.
"Tami! Jangan kabur kamu!" Haris berteriak marah melihat Tami yang berusaha melarikan diri.
Orang-orang yang berkerumun tadi mulai mengejar Tina dan Haris masih menangisi Tina ya sudah meninggal. Tidak ada darah di sana, tiba-tiba saja Tina meninggal karena terbentur tembok.
Tami ketakutan melihat dirinya dikejar beberapa orang. Pikirannya kalap dan tidak fokus. Sesampainya di jalan, tiba-tiba terlihat mobil yang sedang melaju. Langsung saja mobil itu menabrak Tami dan dia terjatuh. Mobil tidak berhenti dan langsung saja pergi setelah menabrak. Orang-orang yang mengejar tadi melihat itu, hanya menyaksikan mobil yang pergi, tida berusaha mengejar, dan menuju Tami. Tami tergeletak, tanpa darah bercucur. Salah satu menghampiri, memegan tangan Tami seperti memeriksa nadi. Ternyata Tami sudah meninggal.
"Innalillahi wainnailaihi rojiun. Wanita ini sudah meninggal," ucapnya kepada yang lain yang ikut mengejar Tami. Yang lain pun juga spontan berucap innalillah.
Tiba-tiba Haris berada di antara mereka dan menghampiri Tami. Melihatnya terkapar tidak bergerak, Haris menangis histeris, lagi.
Seperti biasa, setelah adegan tangis-tangisan seperti itu, suara penyanyi wanita muncul. "Kumenangiiiiis, membayangkaaan..."
Ah, ternyata sudah selesai. Seperti sebelum-sebelumnya, ending cerita ini tanggung. Mungkin sudah ketiga kalinya aku menonton episode ini. Aku melihat jam, masih jam empat sore, masih ada lagi episode lain yang akan tayang. Mungkin yang ini akan lebih seru, pikirku. Dan aku lihat tanggal di layar smartphone-ku. Masih empat hari lagi sisa isolasi mandiriku pasca divonis positif virus, meskipun aku tidak merasakan gejala-gejalanya.
Selama isolasi, tiba-tiba tontonan konflik hubungan, antara dua pasangan kemudian salah satu selingkuh dan kebanyakan si wanita yang selalu tersakiti, menjadi favoritku. Lebih baik dari menonton stasiun televisi lain yang selalu menayangkan berita tentang virus pandemi, yang isinya selalu menyeramkan untukku, mungkin untuk kebanyakan orang lain juga. Media sekarang menyedihkan, membuat sedih banyak orang, lebih sedih dari adegan tersedih tontonan favoritku, yang jauh lebih banyak menghibur orang.
Kumenangiiiiiiiis, membayangkaaaaaaaan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar