Senin, 21 September 2020

PESAN UNTUK ISTRI

 "Tolooong! Tolooong!"

Saat itu masih jam tujuh pagi. Aku kaget mendengar suara orang minta tolong. Bergegas aku membuka pintu dan salah satu tetanggaku terlihat menuju rumah tetanggaku yang lain. Pasti ada yang tidak beres ini. Aku curiga. Langsung saja spontan aku juga lari menuju tetanggaku yang berlari menuju rumah tetanggaku yang lain, tanpa tahu apa yang terjadi.

Tetanggaku yang berlari tadi menuju rumah Pak Kar. Dua orang anaknya menangis panik di teras depan. Apa yang terjadi? Aku memutuskan bertanya. Tetanggaku yang berlari tadi sudah di dalam rumah Pak Kar sepertinya.

"Ada apa, Dek?"

"Om, tolongin bapak, Om. Bapak, Om, di dalem," salah satunya menjawab dengan terisak-isak.

Aku tidak bertanya lebih jauh lagi. Aku dengar suara tangisan lebih histeris, suara istri Pak Kar. Spontan saja aku masuk tanpa permisi. Sumber suara tangisan histeris Bu Kar ada di kamar mandi. Aku menuju ke sana.

Aku menemukan kejadian di luar dugaan, karena memang tidak pernah punya bayangan apa-apa sebelumnya. Di kamar mandi, tetanggaku yang lari tadi sudah dalam posisi menggopoh Pak Kar, berusaha membantu berdiri. Hanya berbalut handuk di bagian pinggang, Pak Kar terlihat menahan sakit. Astaga, aku baru sadar dan itu butuh beberapa detik untuk aku menyadari, Pak Kar jatuh di kamar mandi. Tetanggaku yang membantu terlihat kesulitan dengan tubuh Pak Kar yang sedikit berisi, istrinya berusaha menggopoh lengan yang lain tapi percuma karena bertubuh kecil, dan juga menangis histeris tidak jelas apa yang diucap. Sontak aku juga menghampiri berusaha menolong, menggantikan posisi Bu Kar.

Memang agak berat karena tubuh Pak Kar agak besar. Atau mungkin karena tubuh Pak Kar yang tiba-tiba lemas, jadi terasa lebih berat. Aku sempat memandang tetanggaku saat berusaha menggopoh, diapun sama balik menatap, saling tatap mata seperti sedang berkomunikasi lewat telepati.

Setelah berhasil membuat Pak Kar berdiri, kami berusaha mengeluarkan. Sedikit hambatan muncul. Pintu kamar mandi tidak cukup untuk kami bertiga keluar, aku menggopoh Pak Kar sebelah kanan dan tetanggaku sebelah kiri. Sedangkan kami sedang membawa beban tubuh Pak Kar yang berat. Pak Kar tidak pingsan, tapi kakinya lemas tidak bisa digerakkan.

"Gimana ini, Mas?" Tanyaku kepada tetanggaku, nafas sudah mulai tersengal-sengal menahan beban.

"Apa kita miring aja, Mas?" Jawabnya, juga tersengal-sengal.

"Bisa ga, Mas?" Aku bertanya lagi sedikit pesimis, melihat luas kamar mandi yang sudah sesak untuk kami. Di dalam kamar mandi ada empat orang, Aku, tetanggaku, Pak Kar dan Bu Kar yang masih menangis histeris.

"Coba aja, Mas. Mas bergerak ke depan, saya ke belakang, setelah itu kita jalan miring. Bu Kar agak ke pojok ya posisinya. Kita mau miring, biar bisa keluar." Jawabnya juga memberikan instruksi ke Bu Kar.

Tidak usah dimulai hitungan, kami langsung bergerak, memutar melawan arah jarum jam. Setelah berhasil, sedikit kesusahan karena luas kamar yang sempit, aku mulai memberikan aba-aba keluar pelan-pelan. Ternyata susah. Tubuh Pak Kar terasa lebih berat. Pak Kar juga terlihat hampir tidak sadarkan diri.

"Aduh susah, Mas. Gimana ini?" Aku bertanya lagi, memang susah.

"Iya ternyata susah. Apa kita gendong aja, Mas?" Jawab tetanggaku juga memberikan saran.

"Boleh, Mas. Aku gendong dari kanan, Mas dari kiri. Apa bisa lewat pintu ya?"

"Ya dipaksa aja, Mas. Pasti bisa." Tanggapnya tegas. Bu Kar masih menangis histeris.

Aku dan tetanggaku mulai membalikkan posisi semula, susah payah. Tenaga seperti cepat terkuras. Kemudian kami mulai menggendong, ternyata Pak Kar masih sadarkan diri. Pak Kar menahan kepalanya tegak. Kami mulai keluar melewati pintu. Benar saja, susah sekali. Menggendong membuat kami mengangkat beban yang lebih berat. Tapi karena posisi si penggendong, aku dan tetanggaku, miring, sepertinya ada harapan kami bisa melewati pintu. Bergerak keluar, punggungku dan tetanggaku menghantam tepian pintu. Sakit mulai terasa tapi kami lanjut. Untungnya jarak pintu dan kasur cuma sekitar dua meter, model kamar dengan kamar mandi di dalam kamar. Susah payah melewati, akhirnya berhasil. Tapi kami masih membawa beban tubuh Pak Kar. Tanganku sudah gemetar dan aku terus berdoa semoga kuat. Akan jadi lebih rumit kalau tiba-tiba tanganku lepas menahan dan tubuh Pak Kar terjatuh.

Akhirnya, kami bisa membawa Pak Kar sampai ke kasur. Bu Kar langsung mengambil baju dan memakaikannya ke Pak Kar yang cuma berbalut handuk di pinggang. Ternyata di luar kamar sudah banyak tetangga yang lain datang melihat, entah mau membantu atau penasaran saja.

"Gimana ini terus, Mas?" Tanyaku kepada tetanggaku, juga terlihat bingung. Lanjutku, "Apa di bawa ke rumah sakit?"

"Iya, Mas. Ke rumah sakit aja. Tapi naik apa ya? Apa panggil ambulans?" Responnya, juga masih sedikit bingung.

"Iya telepon ambulans aja. Bentar aku teleponkan." Aku keluar dari rumah Pak Kar meninggalkan suara riuh tetangga-tetangga yang datang melihat. Ternyata istri dan anakku juga sudah di luar tapi tidak berani masuk.

"Sayang, hapeku dimana?" Tanyaku ke istriku.

"Ini aku bawa," jawabnya dengan muka penasaran ingin bertanya apa yang sudah terjadi.

Aku mencari-cari nomer ambulans lewat google, ternyata susah. Kenapa tidak ada muncul di website-nya. Apa karena aku juga ikutan panik jadi tidak teliti. Aku tanya istriku, istriku juga menjawab tidak tahu. Aku langsung menghampiri tempat tadi, bilang ke tetanggaku.

"Mas, tahu ga cara menghubungi ambulans gimana?"

"Waduh, saya juga ga tahu, Mas," dia bingung, aku pun bingung. Aduh bagaimana ini, ucapku dalam hati. Dia melanjutkan, "Saya ada temen deket sini sih, punya mobil. Siapa tahu bisa dipinjem."

Eh, kenapa aku tidak berpikir dari tadi untuk cari pinjaman mobil ya? Panik membuatku buntu pikiran.

"Boleh banget, Mas." Jawabku.

Tetanggaku langsung keluar menghubungi. Bu Kar tidak aku ajak komunikasi karena menangis histeris dan panik, mengoceh tapi tidak aku dengarkan. Pikiranku tidak di tempat itu. Percuma juga sepertinya menenangkan orang yang sedang menangis histeris. Tak lama, tetanggaku datang.

"Bisa dipinjem, Mas. Bentar lagi diantar katanya."

Syukurlah. Tapi mau dibawa kemana Pak Kar setelah ini? Aku bertanya ke Bu Kar, karena keluarga yang punya hak memutuskan.

"Buk, mau dibawa ke rumah sakit mana bentar lagi?"

"Ga tahu sudah, Mas. Dimana aja yang penting bapak sembuh, Mas." Bu Kar berbicara sambil menangis.

Lah? Kok malah dilempar begini? Melihat orang panik aku juga ikut panik.

"Pak Kar punya asuransi, Buk?" Tanyaku lanjut.

"Ga punya, Mas, kayanya. Gimana terus ini, Mas." Jawab Bu Kar, masih panik.

Aku bertanya karena melihat kondisi keluarga Pak Kar. Sepertinya akan sedikit berat kalau tidak punya asuransi. Entahlah apa yang aku pikirkan, tiba-tiba bertanya pada Pak Kar yang terbaring lemah, "Pak Kar, punya asuransi dari kantornya Pak Kar?"

"Ga, Mas." Suara Pak Kar lirih tapi aku masih bisa mendengarnya. Hatiku sedikit lega mendengar Pak Kar menjawab, dia masih sadar.

Aku berpikir keras, bagaimana ini solusinya. Kalau tidak ada asurasi, mau bilang pakai umum pasti mahal jadi tidak tega. Salah satu tetangga masuk dan bilang, "Ke rumah sakit umum aja, Mas." Kemudian mendekat ke Pak Kar dan bertanya, "Pak Kar, kakinya kesemutan?"

"Iya." Suara Pak Kar masih lirih.

Tetanggaku yang lain tersebut mengernyitkan dahi, mengajakku keluar dari kamar, mau bicara. Anak tertua Pak Kar juga dipanggil.

"Sepertinya Pak Kar kena gejala stroke. Sebaiknya secepatnya dibawa biar ga terlambat, biar ga lebih parah." Ucapnya serius.

Spontan anak Pak Kar menangis menahan suaranya keluar. Aku juga kaget. Aku tidak pernah langsung menyaksikan bagaimana orang terkena gejala stroke. Aku juga ikut khawatir padahal aku cuma tetangga.

Tetanggaku yang mencari pinjaman mobil datang, kemudian bilang, "Mobil sudah di depan Mas. Ayo diangkat."

"Tapi ke rumah sakit mana ini, Mas? Rumah sakit umum agak jauh. Sedangkan katanya Mas Andre, Pak Kar kena gejala stroke. Di sebelah selatan sini ada rumah sakit yang lebih deket, tapi swasta. Dan juga Pak Kar ga punya asuransi kesehatan. Gimana ya, Mas?" Tanyaku dengan menjelaskan keadaan.

"Yang penting dibawa dulu yang terdekat aja mas daripada terlambat. Masalah biaya biar nanti kita hubungi keluarganya. Sekarang kita bawa ke rumah sakit swasta yang ada di utara aja, Mas." Intruksinya tanpa ragu.

Kemudian kami masuk lagi ke kamar dan bicara ke Bu Kar yang masih menangis. Kami jelaskan keadaannya, dan saran kami dibawa ke rumah sakit swasta. Bu Kar mengiyakan, meskipun aku yakin dia tidak sepenuhnya paham. Bergegas Bu Kar menyiapkan segala keperluan penting yang akan dibawa ke rumah sakit.

Pak Kar kami angkat menuju mobil. Empat orang membantu mengangkat, termasuk aku. Tapi ini lebih ringan karena tadi hanya diangkat dua orang. Sampai di mobil, memasukkanya juga susah. Pintu mobil yang kecil menjadi halangan. Tapi kami berhasil. Tetanggaku yang membatuku pertama tadi akan mengemudikan mobil, kemudian bertanya, siapa saja yang ikut untuk nanti membantu mengangkat Pak Kar sesampai di rumah sakit. Aku menunggu tetanggaku yang lain mengajukan diri, ternyata semuanya diam. Mau tidak mau, karena tidak tega, aku saja yang ikut, meskipun sebenarnya tanganku sangat lelah dan sedikit gemetar. Mungkin tetanggaku takut dengan berita virus pandemi, takutnya yang tiba-tiba stroke adalah yang terinfeksi virus. Aku tidak berpikir sejauh itu. Yang aku pikirkan cuma ingin membantu dan kasihan melihat keluarganya menangis.

Kemudian kami berangkat. Bu Kar dan anak sulungnya juga ikut. Tetanggaku yang mengemudikan menancap gas, sedikit panik karena Bu Kar masih menangis histeris.

Sesampainya di rumah sakit, mobil langsung menuju IGD, disambut oleh petugas berpakaian APD lengkap. Protokol kesehatan di rumah sakit mewajibkan hal seperti itu, karena pandemi, karena virus yang masih tidak jelas definisinya, hanya santer pemberitaannya di media.

Setelah Pak Kar ditangani, Bu Kar dan anaknya juga masuk ke ruangan IGD, aku dan tetanggaku yang menyetir tadi  berjalan menjauh mencari tempat yang bisa untuk merokok. Kami sulut rokok masing-masing, berusaha bersantai setelah ketegangan tadi.

"Aku kaget tadi Mas Indra, lihat Mas lari ke rumah Pak Kar, aku jadi ikut lari." Tanyaku memulai obrolan.

"Saya juga kaget, Mas. Tadi saya santai-santai di depan rumah, kok ada yang teriak minta tolong. Spontan aja saya lari. Belum ada orang keluar di sekitaran rumah tadi." Jawab tetanggaku, Mas Indra, yang berusaha bersantai sambil mengudut.

"Kasihan Pak Kar ya, Mas."

"Saya sudah firasat sih, Mas." Mas Indra berkomentar, membuatku kaget dan penasaran.

"Emang kenapa Pak Kar, Mas?" Aku menunggu jawaban Mas Indra lebih panjang karena penasaran.

"Belakangan ini Pak Kar sering main ke tempat saya, Mas. Tiba-tiba saja Pak Kar cerita kalau istrinya cerewet, ngoceh ini itu. Saya kan kaget Pak Kar cerita seperti itu. Itu kan masalah pribadi, masalah rumah tangga. Mau ga mau ya saya dengerin, Mas. Akhirnya, menghargai Pak Kar yang ngajak ngobrol, saya tanya kenapa kok istrinya ngomel? Pak Kar jawab tempat kerjanya sepi karena efek pandemi. Ga ada pekerjaan katanya. Tapi kalau Pak Kar di rumah aja, istrinya marah-marah, nanti makan bagaimana, disuruh cari pekerjaan yang lain, yang penting dapet uang. Mas Dana tahu sendiri kan Pak Kar mesti berangkat kerja pagi-pagi? Sebenarnya itu ya cuma tiduran aja di kantornya. Biar ga diomeli. Nyampe rumah diomeli lagi karena ga bawa uang. Ya mau gimana lagi, Mas. Banyak yang lagi susah karena pandemi. Tapi istrinya ga mau ngerti." Cerita Mas Indra cukup panjang.

Aku manggut-manggut seperti mulai memahami kenapa Pak Kar mengalami musibah seperti itu.

"Apa Pak Kar memendam semuanya ya, Mas? Maksudnya mau marah tapi dia pendam. Mau curhat ke orang tapi terbatas, ga mungkin semua uneg-uneg tentang keluarga Pak Kar diceritakan." Tanyaku penasaran lebih lanjut.

"Saya juga mikir gitu, Mas. Kan aneh tiba-tiba Pak Kar cerita masalah keluarganya ke saya yang cuma tetangga. Kalau kata tetangga yang lain sih, emang sering sih akhir-akhir ini istrinya marah-marah, sejak kerjaannya Pak Kar berkurang." Mas Indra berpendapat.

"Jadi Pak Kar ini stres ternyata sepertinya, Mas. Apa mungkin tadi jatuh karena pembuluh darahnya pecah ya, Mas?"

"Sepertinya emang stres, Mas, dimarah-marahi terus sama istrinya. Kalo pembuluh darah pecah, berarti stroke ya? Mudah-mudahan kita salah, Mas. Kasihan Pak Kar. Kita doakan yang terbaik aja." Lanjut Mas Indra.

"Iya Mas. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang buruk. Semua ini kayanya ulah pandemi. Semua karena virus. Banyak orang stres dan sayangnya tidak bisa mengontrol emosi. Tensi jadi naik, karena keadaan ekonomi tiba-tiba turun drastis. Ternyata efek pandemi bisa separah ini." Aku bicara sekaligus dalam hati bersyukur, kerjaanku tidak terlalu terdampak oleh pandemi dan istriku adalah orang yang mengerti dan memahami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lema...