Senin, 21 September 2020

HARGA DIRI LAKI-LAKI

 "Akses bandara ditutup, Bli."

"Apa? Darimana infonya?"

"Sudah nyebar beritanya dimana-mana, grup whatsapp juga banyak."

"Lah, terus rencana tamu yang datang bulan depan bagaimana?"

"Entahlah, Bli. Sepertinya semuanya dibatalkan. Aku juga bingung. Kita sebagai driver yang membawa tamu wisatawan jadi buntu."

Percakapan dengan temanku beberapa waktu yang lalu membuatku stres. Benar adanya berita penutupan bandara. Aku konfirmasi ke atasanku, dia membenarkan. Aku tidak bisa protes, bosku juga tampak bingung. Seperti aliran sungai yang tiba-tiba berhenti karena ada bendungan besar, itulah kondisi kami. Air menjadi diam dan tidak mengalir.

Di rumah, aku semakin stres. Hari pertama aku tidak bekerja, istriku menanyakan kenapa tidak bekerja. Akhirnya aku ceritakan semuanya, kondisi kami sebagai pelaku bidang wisata. Istriku juga kaget, ternyata dia sudah menduga hal itu. Dan ketakutannya terjadi. Istriku seperti biasa menenangkanku meskipun dia sendiri juga tidak tenang. Setidaknya dengan kata-kata yang diucapkannya, hatiku sedikit tenang, hanya sedikit. Pikiranku tetap berputar-putar tidak menentu. Bagaimana aku harus mencari nafkah sedangkan kebutuhan hidup terus berjalan. Aku tidak punya kemampuan lain selain menyetir. Puluhan tahun sudah aku jalani.

"Ma, bagaimana ya ini?" Tanyaku suatu hari.

"Entahlah, Pa. Mungkin bikin usaha kali ya? Jualan roti mungkin. Tabungan kita masih cukup buat dua bulan kedepan. Tapi kalau tabungan kita buat modal usaha, uang tabungan cuma cukup buat satu bulan saja."

"Tapi Papa ga bisa bantu, Ma. Tahu sendiri kan, Papa ga bisa masak."

"Papa bantuin belanja aja ya. Biar Mama disini bikin dan promosi lewat medsos. Nanti Papa juga bantu kirim kalau ada yang pesan. Kita mau sewa tempat uangnya juga kurang. Ga ada uang buat makan nanti."

"Iya, Ma. Papa basti bantu sambil cari-cari pekerjaan apa yang bisa dilakukan."

Istriku tersenyum mendengar jawabanku. Beruntung sekali aku punya pendamping hidup seperti istriku.

Berjalan satu bulan, usaha yang dijalankan hanya menghasilkan hasil yang sedikit, jauh sekali dari pendapatanku yang biasanya aku hasilkan. Pekerjaan juga tidak kunjung aku temukan. Keadaan semakin susah. Banyak perusahaan tidak membutuhkan karyawan baru, malah menguranginya. Aku semakin stres, merasa bersalah pada keluargaku. Stresku aku lampiaskan dengan minum alkohol. Istriku tidak pernah protes karena tahu keadaanku. Kebiasaanku minum alkohol semakin parah. Sebelumnya saat berkerja, memang aku suka minum tapi tidak sering karena waktuku habis untuk bekerja.

Penampilanku tidak terlihat terawat. Aku sudah cuek. Tubuh semakin kurus, kumis dan brewok aku biarkan tumbuh, apalagi rambut, jangan tanya keadaannya.

Melihatku amburadul, istriku pernah menanyakan, "Papa ga potong rambut? Ini Mama ada uang. Masih cukup buat makan dan modal besok."

Aku jawab, "Ga usah, Ma. Mending buat makan aja. Disimpen aja siapa tahu besok butuh."

Hatiku berat menerima bantuan dari istriku. Padahal buat potong rambut biayanya murah. Entah kenapa hatiku menolak, merasa bersalah dan tidak tega. Untuk rokok setiap hari pun istriku membelikan. Itu yang membuatku lebih berat. Ingin menolak tapi dia tahu aku perokok. Tanpa itu, keadaanku menjadi lebih buruk. Istriku tahu hal itu.

Berjalan dua bulan, usaha istriku mengalami peningkatan meskipun tidak banyak. Karena ini usaha online, keuntungannya tidak mungkin sebanyak kalau punya kios sendiri. Tapi hasilnya cukup untuk menambah biaya produksi, lebih banyak produksi lebih banyak keuntungannya. Pendapatan setiap harinya pun bertambah. Lauk makan bisa lebih enak dari bulan lalu.

Tapi nasibku sebagai pelaku bidang wisata belum menemukan kabar baik. Tidak jelas kapan semua akan kembali normal. Tanah kelahiranku benar-benar mengandalkan pariwisata karena keindahan alamnya. Semua bagian di sektor wisata benar-benar berhenti.

Kebiasaanku minum menjadi lebih buruk. Tapi aku tidak pernah meminta uang untuk membeli minuman alkohol kepada istriku. Tidak tega. Aku mendapatkannya selalu dari teman. Kebetulan beberapa temanku adalah pengusaha. Meskipun usahanya juga merosot tapi masih bisa membeli banyak hal karena tabungan mereka memang banyak. Beda denganku yang hanya supir freelance yang mendapatkan uang per perjalanan.

Istriku membiarkan kebiasaan burukku. Daripada stres, mending melakukan apa yang disuka selama tidak membebani. Mungkin begitu pikir istriku. Bahkan, ketika aku terlihat sangat capek, beberapa kali dia menawarkan untuk memijiti.

Tiga bulan tidak menemukan pekerjaan, keadaan ternyata belum juga membaik, aku memutuskan untuk mencari pekerjaan langsung ke tempat, tidak mengandalkan info dari teman-temanku. Aku berpamitan kepada istriku, setelah aku mengantar orderan aku tidak pulang langsung. Aku mau mencari pekerjaan. Istriku mengiyakan dan mendoakan. Aku tidak bisa terus menjadi pengangguran. Kasihan keluargaku.

Saat di jalan, setelah mengantar orderan, aku melihat kiri-kanan. Memang tidak ada terpampang tersedia lowongan pekerjaan. Tapi aku masuki satu-satu bertanya apa ada lowongan pekerjaan. Hampir semua menjawab tidak ada. Aku bisa maklumi karena memang keadaan sedang sulit. Sudah tiga jam aku di jalan, usahaku sia-sia. Peluh sudah membasahi baju dan kepalaku. Aku memutuskan untuk pulang.

Sesampainya di rumah, istriku bertanya, "Bagaimana, Pa?"

"Ga ada, Ma. Tiga jam yang sia-sia."

"Yang sabar, Pa. Kalau Tuhan sudah berkehendak, pasti nanti dapet kerjaan. Makanya Papa kurangi minumnya, biar pas sembahyang berdoanya lebih bersih."

Aku kaget mendengar jawaban istriku. Baru kali ini dia menyindir, meski sangat halus. Mungkin memang waktunya aku mengurangi, dan mulai mengurus diri. Akhir-akhir ini memang sembahyang jarang dilakukan. Pikiranku lebih fokus ke kehidupan duniawi. Stres melanda. Itu yang mendominasi.

Empat bulan sudah aku menganggur. Aku mulai berdamai dengan keadaan dan fokus membantu istriku sebisaku.  Aku tidak mau membiarkan istriku sibuk sendiri. Tapi keadaanku tetap menjadi beban tersendiri. Aku tetap mencari-cari pekerjaan yang bisa dilakukan. Usaha istriku memang sudah bisa memenuhi kebutuhan makan setiap hari, tapi tidak bisa untuk cicilan-cicilan yang selalu menunggu.

Teleponku berdering, ada pesan masuk. Ternyata dari temanku, mengabarkan ada pekerjaan harian yang bisa dilakukan. Sedikit mengembang dadaku, sedikit ada harapan. Aku tahu hasilnya tidak terlalu banyak tapi cukup untuk menafkahi keluargaku. Menjadi orang gudang penyimpanan popok bayi. Tugasnya memindahkan barang dari truk ke gudang. Tidak menggunakan alat karena tidak tersedia. Jadi barang dipindahkan secara manual, menggunakan tenaga manusia.

Aku mulai menjalani profesi itu. Tidak tentu setiap hari aku bekerja. Hanya saat barang datang baru aku bekerja. Hasilnya cukup untuk membeli rokokku dan sisanya aku berikan semuanya ke istriku. Hasilnya memang tidak banyak tapi lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Tubuhku menjadi kurus dan sedikit gelap. Tapi aku tidak peduli. Meskipun tetanggaku bicara berbagai hal tentang pekerjaan ini di belakangku, aku sangat tidak peduli, begitu juga dengan istriku.

Memasuki lima bulan dari pertama aku "putus kerja", kabar sektor wisata juga tidak kunjung membaik. Pekerjaanku sebagai petugas gudang juga berkurang penghasilannya. Datangnya barang tidak sesering bulan lalu. Mungkin karena permintaan berkurang dan daya beli masyarakat juga berkurang. Tapi tetap aku lakukan pekerjaan itu, menghilangkan stresku karena terlalu lama diam di rumah.

Harga diri seorang laki-laki adalah bekerja bukan? Tapi bagaimana kalau tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan? Bagaimana kalau punya pekerjaan tapi tidak cukup untuk menafkahi? Ternyata harga diri laki-laki bukan sepenuhnya bekerja. Tapi harga diri laki-laki adalah perempuan pendamping hidupnya yang mampu menguatkan laki-lakinya dalam kondisi terpuruk dan tetap menjaga reputasi keluarganya dengan tidak menceritakan ke dunia luar, seperti marah-marah sampai tetangga dengar, update status di media sosial tentang keadaan  keluarganya, dan masih banyak lagi. Harga diri laki-laki akan tetap utuh, dengan selalu dijaga oleh pendamping hidupnya dalam keadaan apapun. Perempuan yang bisa menahan laki-lakinya tidak terperosok ke dasar saat terjatuh dan menahan laki-lakinya tidak lepas tanpa arah saat terbang tinggi melayang, adalah juru kunci harga diri laki-laki. Laki-laki tanpa juru kunci hanyalah manusia tanpa arah yang lambat laun akan kehilangan harga diri.

Entah kapan pandemi ini berakhir, pekerjaanku akan kembali, dan semuanya pulih. Tapi aku tenang, istriku adalah perempuan juru kunci terbaik. Dan aku akan tetap menjaganya sebagai perempuan juru kunci terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lema...