Rabu, 23 September 2020

WOY! AKU BUKAN MALING!

 Tok! Tok! Tok!

Ada yang mengetok pintu. Siapa juga datang siang-siang begini. Mengganggu tidur siangku saja. Aku bangun dan mendapati sekitar, istri dan anakku tidak ada. Kemana mereka? Entahlah, mungkin sedang keluar membeli sesuatu. Dengan wajah kusut dan berantakan, aku membuka pintu dan, kaget bukan kepalang. Ada tiga orang petugas berpakaian APD lengkap! Dengan ambulansnya juga! Di depan rumahku! Astaga! Ada apa mereka datang kesini?

"Selamat siang, Pak. Kami datang untuk menjemput bapak." Ucap salah satu petugas, entah petugas yang mana karena semua wajahnya tertutup.

"Saya, Pak?" Balasku kaget. Ada apa?  Memangnya aku terinfeksi virus?

"Iya, Pak. Bapak terindikasi membawa virus. Maka dari itu kami dari Dinas Kesehatan akan menjemput bapak. Segera bapak ambil barang-barang yang diperlukan ya," jawabnya berusaha ramah.

"Bentar-bentar, Pak. Kenapa tiba-tiba saya terinfeksi virus?"

Belum sempat petugas menjawab, muncul suara gaduh seperti demo berada sekitar sepuluh meter di belakang petugas.

"Pak Mad! Cepat ikut petugas itu! Bapak membawa virus! Cepat pergi dari sini." Itu tetanggaku. Dia berteriak marah. Apa yang terjadi denganku? Kok tiba-tiba seperti ini?

"Sebentar, Pak. Sebentar. Saya kaget. Kenapa tiba-tiba saya dinyatakan terkena virus?" Tanyaku masih bingung.

"Sudah lah, Pak Mad! Ga usah mengelak. Bapak membawa virus. Sekarang pergi dari lingkungan sini! Membuat warga di sini resah." Ucap salah satu tetangga yang lain. Entah kenapa mereka tiba-tiba bergerombol di belakang petugas.

"Lho! Saya kok diadili macam gini? Saya tidak kemana-mana, saya tidak batu tidak pilek. Kok bisa tiba-tiba divonis seperti ini?" Aku makin panik. Para tetanggaku sudah berteriak-teriak marah mengusir. Teriakannya bersahut-sahutan. Sudah tidak jelas apa yang diucapkan oleh mereka.

"Dari data Dinas Kesehatan. Bapak positif terinfeksi virus. Maka bapak harus kami karantina agar virus tidak menyebar." Salah satu petugas yang lain berujar.

"Tapi saya juga harus tahu, darimana data itu? Tidak tiba-tiba saya dibawa tanpa alasan yang logis. Saya tidak melakukan tes apapun. Saya juga tidak sedang sakit. Saya perlu tahu itu semua. Saya tidak mau dituduh begitu saja!" Bantahku dengan intonasi sedikit tinggi.

"Pak Mad! Cepat pergi! Bapak meresahkan warga di sini!" Teriak salah satu tetangga yang lain, suaranya paling keras.

"Tapi, Pak, saya tidak bersalah! Kenapa saya seperti tersangka tanpa kesalahan seperti ini?" Aku membela diri.

"Hoy! Cepat pergi! Kalau tidak kami akan hancurkan rumah Pak Mad!" Terdengar suara mengancam yang tidak jelas siapa.

"Saya tidak mau!"

"Kalau begitu, bapak kami paksa untuk ikut. Diajak baik-baik tidak mau, maka kami menggunakan kekerasan." Timpal salah satu petugas. Masih tidak jelas petugas yang mana berbicara.

"Lho-lho, tidak bisa begitu. Saya berhak..." Belum selesai aku bicara, para petugas meraih tanganku dengan paksa. Aku meronta. Tapi percuma, aku kalah jumlah. Para tetangga berteriak-teriak mendukung petugas. Susah payah aku menahan tubuhku untuk tidak dibawa, tapi semua percuma. Aku diseret menuju ambulans. Aku tetap meronta berusaha meloloskan diri.

Di antara kerumunan aku melihat istriku sedang menggendong anakku. Dia menangis! Anakku juga menangis tidak kalah kencang. Sontak hati ini tersayat. Ya Tuhan, apa yang sedang terjadi? Kenapa tiba-tiba seperti ini?  Kenapa mendadak sekali kericuhan ini? Aku yang berusaha istirahat siang tiba-tiba menjadi tegang? Apa salahku? Kenapa aku dituduh?

Begitu banyak pertanyaan muncul sembari para petugas menarikku untuk masuk ke ambulans. Aku masih berusaha meloloskan diri tapi tidak bisa. Melihatku berontak, teriakan gerombolan demonstrasi para tetangga semakin memekakkan telinga. Kenapa mereka jadi jahat begini? Padahal aku selalu baik pada mereka. Eh, kenapa aku jadi busuk begini? Pamrih kepada mereka. Ya Tuhan. Aku seperti ditusuk banyak pedang menembus jantung. Tiba-tiba bagian dadaku sakit. Sakit hati kepada mereka.

"Ayo, Pak. Jangan melawan seperti ini. Ini untuk kebaikan bapak," bujuk salah satu petugas.

Aku tidak mengindahkan. Masa bodo. Aku tidak salah, tiba-tiba diperlakukan macam ini. Dengan segenap keyakinan, mendadak muncul kekuatan entah dari mana. Aku menarik tanganku yang mereka pegang, aku lolos!

Seketika itu juga aku berlari ke arah berbeda dari para tetangga yang sedang demo. Aku berlari kencang sekencang-kencangnya. Entah ini kekuatan dari mana, tiba-tiba muncul. Aku menuju jalan besar. Tapi, para warga yang aku tak tahu berapa jumlahnya, juga berlari mengikutiku, berteriak-teriak tidak menentu.

"Hoy! Pak Mad! Berhenti!"

Aku panik, tetap berlari. Pikiranku jadi tidak fokus. Suara sirine ambulans juga mulai dinyalakan, meraung-raung. Ah, kenapa ada musik latar segala sih, pikirku. Aku tetap berlari, sesekali melihat belakang. Kenapa jumlah warga yang mengejar semakin banyak? Aku semakin panik tapi tetap berusaha kabur dari mereka.

Buuuk!

Sesuatu menghantam kepalaku, benda keras, sepertinya batu. Muncul rasa sakit dan refleks aku memegang bagian kepala yang terhantam. Kenapa basah? Aku lihat tanganku, kenapa ada darah! Astaga, mereka melempariku. Mereka membuat kepalaku bocor! Kenapa jahat sekali mereka? Aku bukan maling.

"Woy! Aku bukan maling!" Teriakku membalas.

Aku menoleh ke belakang, lemparan batu jadi semakin banyak. Suara sirine ambulans masih meraung-raung. Astaga. Mereka benar-benar kalap dan membabi buta. Teriakan-teriakan mereka sudah tidak jelas. Aku seperti maling atau copet yang sedang dikerjar warga. Aku semakin panik, semakin tidak fokus, masih berlari tapi pandangan sudah bukan seperti yang ada di depan mata. Tiba-tiba aku merasakan pijakanku kosong, eh, ada apa ini? Ternyata aku sudah tidak berada di atas jalan. Kakiku berada di atas selokan besar, otomatis keseimbangaku goyang dan, gubraaak! Tubuhku jatuh dan terjerembab ke dalam selokan tersebut. Seketika pandanganku gelap.

Pandanganku gelap beberapa detik. Aku masih bisa merasakan nafasku tersengal dan jantungku berdegup kencang. Peluh bercucuran di kening. Beberapa detik yang aneh, tak lama kemudian aku buka mata.

Wajahku terasa dingin, juga tanganku, juga kakiku. Terlihat lantai keramik. Kenapa di selokan ada lantai keramik? Pandangangku sudah mulai jelas. Aku mengangkat wajah dan, kenapa aku di lantai? Aku lihat sekeliling, ini kan kamarku? Tapi kenapa aku tergeletak di lantai kamarku? Aku berusaha bangkit. Berusaha berdiri tegak, lah kok istriku sudah tidur di kasur? Bukannya tadi ada di luar dan menangis melihatku ditarik oleh petugas ber-APD? Kenapa kejadiannya cepat sekali berubah? Apa yang aku lewatkan?

Peluhku masih membasahi dahiku,menetes di bagian wajahku yang lain. Nafasku sudah mulai tenang, begitu juga dengan detak jantung. Aku mulai sadar, ternyata hanya mimpi! Astaga, kenapa terasa nyata sekali? Aku menuju dapur, mengambil air, dan menegaknya lahap. Perasaanku jadi tenang. Nafas dan detak jantung juga sudah normal. Aku mengambil tisu dan mengusap wajahku yang basah. Kemudian aku kembali ke kamar.

Wajah istri dan anakku yang tidur nyenyak membuat hatiku menjadi lebih tenang. Sangat pulas. Berbeda dengan pikiranku yang sekarang masih heran, kenapa mimpiku bisa terlihat sangat nyata. Aku duduk di kursi dekat tempat tidur, sambil memandangi wajah istri dan anakku. Mulailah aku berargumen dalam hati tentang mimpi yang sangat mengacu adrenalin. Aku masih sangat ingat detil kejadiannya. Dari tiba-tiba datang petugas APD sampai masuk ke selokan saat dikejar warga. Ternyata aku bergerak saat tidur dan terjatuh. Itulah kenapa terasa sampai alam mimpi, diterjemahkan menjadi adegan masuk selokan.

Ada-ada saja mimpi siang ini. Sepertinya aku terlalu kepikiran. Besok aku menerima hasil swab test yang dilakukan tiga hari yang lalu. Apes sekali, kenapa rapid test-ku hasilnya reaktif? Apes. Akhirnya aku harus menjalani swab test yang tidak horor seperti di benak banyak orang. Dan hasilnya akan keluar besok. Aku yakin aku baik-baik saja karena aku tidak menampakkan gejala, begitu juga istri dan anakku. Tapi pikiran ini tidak bisa dicegah untuk tidak rileks. Tetap saja adegan-adegan horor berkelibatan di pikiran. Sampai akhirnya berhasil menembus ke alam bawah sadar, menjadi mimpi. Mimpi sialan. Bikin panik aja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lema...