Kamis, 24 September 2020

NOT RESPONDING

 "Selamat pagi semuanya," sapaku. Ternyata cuma satu muridku yang muncul.

"Selamat pagi, Bunda." Panggilan guru perempuan di sekolah tempatku mengajar adalah bunda.

"Yang lain kemana ya, Dan?" Tanyaku kepada Wildan, murid pertama yang muncul dalam kelas daring. Sejak pandemi, kelas memang dijalankan secara daring, melalui platform pertemuan jarak jauh.

"Waduh, ga tau, Bun. Mungkin lagi loading." Wildan menjawab, suara dan wajahnya muncul dari komputer jinjingku. Dan wajahnya pun hanya terlihat kecil, hanya muncul dari kotak kecil berukuran sekitar tiga kali dua centimeter. Memang platform ini menyediakan ruang untuk bertemu secara jarak jauh dan pesertanya akan dibagi-bagi dalam kotak-kotak persegi panjang kecil dalam satu layar komputer.

"Ya udah kita tunggu dulu yang lain ya. Kalau sudah banyak baru kita mulai." Memang selalu begini keadaannya. Tidak semua bisa masuk bersamaan, tergantung kekuatan koneksi masing-masing. Ini teknologi canggih tapi membuat repot orang. Padahal, adanya teknologi itu untuk mempermudah manusia, bukan malah membuat pusing.

"Iya, Bun," jawabnya singkat. Terlihat si Wildan seperti menulis sesuatu, mungkin mengisi kebosanannya menunggu.

Untungnya aku sudah terbiasa dengan koneksi yang "lemot". Apa boleh buat, yang bisa dilakukan hanya ini. Batas waktu pertemuan daring macam ini pun hanya empat puluh menit sejak pertama dimulai. Menunggu proses semua bisa masuk bisa jadi lima menit. Jadi total waktu bersih untuk proses pembelajaran cuma tiga puluh lima menit. Belum terpotong kendala yang lain seperti, aaah, aku tidak mau memikirkan. Nanti terjadi beneran.

Tiga puluh detik berlalu, dua muridku yang lain muncul. Dua-duanya mengucap salam hampir bersamaan. Aku menjawab dan bilang seperti sebelumnya, menunggu sampai yang bergabung jumlahnya agak banyak. Satu menit berlalu tiga orang muncul. Mereka mengucap salam. Sudah enam orang bergabung. Jumlah murid kelas sekarang lima belas orang. Masih belum separuh yang bergabung. Aku suruh menunggu lagi. Murid pertama yang muncul bergabung terlihat sangat bosan tapi tidak bisa beranjak dari layar, sudah perjanjian dari awal, tidak boleh meninggalkan "kelas" saat sudah bergabung.

Empat menit berlalu, empat murid yang lain sudah bergabung. Total sudah ada sepuluh murid. Pikirku, mungkin sudah bisa dimulai daripada menunggu lebih lama lagi. Waktu juga sangat terbatas.

"Kita mulai ya, anak-anak?" Aku awali percakapan tanda kelas akan dimulai.

"Iya, Bun."

"He-em, Bun."

"Yes, Bun."

"Siap, Bunda."

Suara mereka bersahut-sahutan. Menjadi tidak jelas lagi ketika mereka bergerak dan bersuara bersamaan. Pasti salah satu ada yang terganggu jaringannya, membuat gerakan dan suara yang keluar patah-patah.

"Biar yang lain menyusul. Kalau menunggu mereka semua bisa habis waktunya. Baiklah, buka halaman tiga puluh semuanya ya." Aku memulai kelas.

Aku kira semua berjalan lancar dan suaraku bisa diterima dengan baik, ternyata tidak.

"Apa, Bun? Halaman berapa?" Salah satu bertanya. Aku tahu itu suara siapa, suara Sinta. Sepertinya memang koneksi internetnya buruk. Gambarnya terlihat patah-patah, macet-macetan.

"Tiga puluh, Sin," dengan sabar aku menjawab.

"Apa, Bun? Suaranya putus-putus, Bun. Tiga puluh berapa?" Dia masih bertanya dengan gambar dan gerakan yang masih patah-patah.

Haduh, setiap kelas daring ini selalu saja membuatku melewati ujian kesabaran. Aku jawab masih dengan sabar, "Tiga puluh, Sinta. Yang lain ada yang kurang jelas sama suaranya Bunda?"

Tidak ada yang menanggapi. Baik, mungkin sudah jelas semua apa yang aku omongkan.

"Bunda," ada yang memanggil. Entah siapa itu.

"Siapa yang bicara ya?" Tanyaku penasaran.

"Saya, Bun, Reza."

"Kenapa Rez?"

"Bunda, kuota saya mau habis ini. Barusan ada peringatannya."

Astagaaa. Spontan aku menepuk dahi. Kok ada saja kejutan kelas daring ini.

"Lho, kamu ga minta Mamamu, Rez?"

"Sudah, Bun. Tapi Mama masih sibuk katanya. Gimana ini Bun kalau misalnya mati?" Reza menjawab dengan lugunya.

"Waduh, Bunda ga tahu, Rez. Mama di rumah sekarang?" Tanyaku lagi.

"Ga, Bun. Mama..." plep! Tampilan gambar Reza menjadi layar hitam. Lah? Mati? Haduh jangan-jangan emang kuotanya beneran habis. Bagaimana ini cara menghubunginya.

"Reza mati, Bun," salah satu berkomentar.

"Hush! Yang lengkap kalimatnya. Gambarnya Reza mati, begitu." Aku membenarkan kalimat muridku. Sedikit tertawa aku mendengarnya.

"Oh iya, Bun," jawabnya sedikit tersipu malu.

Hahahahaha. Murid-murid yang lain juga tertawa mendengar kalimat ambigu tadi. Sejenak keteganganku melunak mendengar tawa bahak mereka.

"Sudah, sudah. Nanti Bunda hubungi Reza lewat telepon aja. Sekarang kita mulai ya, buka halaman tiga puluh."

Semua serempak membuka buku, terlihat dari layar.

"Sekarang lihat bab satu latihan dua," lanjutku menjelaskan.

Tapi ada yang aneh. Kok semua gambar muridku menjadi gambar tidak bergerak? Semuana menjadi beku?

"Halo, anak-anak." Aku coba memastikan koneksiku masih lancar.

Semua masih diam. Ada apa lagi ini? Ya ampun.

"Halo, halo, anak-anak. Bisa dengar Bunda kah?" Tanyaku mencoba berbicara dengan gambar diam mereka.

Ada apa lagi ini? Aku mencoba memeriksa apa yang salah. Aku lihat pertama adalah router koneksi wifi. Lampunya masih menyala kuning kelap-kelip. Aku cek koneksi wifi di laptop-ku, masih terdapat gambar sinyal dengan tulisan "signal-on". Apa ya yang salah?

Aku memutuskan menemui bagian IT sekolah. Meskipun kelas daring, aku tetap datang ke sekolah, entah apa tujuannya, padahal bisa dilakukan di rumah seperti murid-murid.

Aku menuju kantor karyawan, menemui bagian IT. "Pak Jalal, internetnya macet ini. Gimana ya?"

Pak Jalal sedang sibuk mengutak-atik komputer waktu aku temui. "Oh, iya, Bun. Bentar ya. Bentar lagi saya cek."

Aku kembali ke tempatku. Tak lama kemudian Pak Jalal menyusul.

"Ini, Pak. Sudah saya cek semuanya, masih on. Tapi ga tahu kok tiba-tiba semuanya macet gambarnya."

Pak Jalal memeriksa seperti yang aku lakukan sebelumnya. Hasilnya nihil. Pak Jalal juga heran apa yang salah. Dahinya mengkerut, menandakan sedang konsentrasi untuk memcahkan masalah.

Lima menit sudah terlewati. Masih tidak ada hasil. Kemudian, aku melihat ekspresi Pak Jalal berubah. Sedikit lega, sepertinya sudah menemukan apa yang salah.

"Ya elah, Bu," ucapnya tiba-tiba.

"Apanya, Pak, yang ya elah?" Tanyaku heran melihat responnya.

"Pantesan," tambahnya masih menggantung.

"Apanya yang pantesan, Pak." Aku masih bingung.

Sambil menunjuk layar komputer jinjingku, Pak Jalal melanjutkan, "Lihat ini, Bun."

Aku masih bingung apa yang berusaha ditunjuk dan dijelaskan Pak Jalal.

"Apa, Pak?"

"Ini loh, Bun. Not responding." Pak Jalal menujuk ke bagian atas aplikasi platform.

"Astaga!" Dahi ku tepuk lagi. "Kok bisa gitu, Pak?"

"Ga tahu juga, Bun. Mungkin memorinya penuh. Atau laptop lagi panas."

Spontan aku mengangkat laptop dan memeriksa bagian bawahnya, benar Pak Jalal, panas. Jadi karena ini komputerku jadi macet? Ya ampun. Ternyata, teknologi tidak selamanya memudahkan, punya batasnya juga. Ladang kebaikanku jadi terhalang karena teknologi, terutama pandemi. Ya sudah lah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lema...