Sungguh, yang kurindukan dari anak dan istriku saat mereka berada di kampung halaman adalah suasana rumah yang berantakan.
Itu benar-benar terjadi dan aku tidak punya bayangan apapun mengenai hal itu. Awalnya, hari pertama ditinggal, semua biasa saja seperti sebelum-sebelumnya ketika aku tidak bisa ikut mereka pulang kampung. Pekerjaan mengharuskanku tetap menjadi perantau yang baik. Rumah memang sedikit berantakan dan aku biarkan, malas sekali karena masih banyak waktu nanti, pikirku.
Tapi beberapa hari kemudian, ketika aku punya banyak waktu luang dan bingung apa yang perlu aku lakukan, aku memutuskan untuk membersihkan dan merapikan "rumah". Mainan anakku yang tergeletak sana-sini, barang-barang bekas makan dan minum, bungkus-bungkus makanan dan minuman, semua aku bereskan sampai suasana di rumah terlihat "enak".
Saat selesai dan lagi-lagi aku bingung apa yang harus aku lakukan, membaca buku atau menulis cerita sudah terasa membosankan, aku merasakan ada sesuatu yang hilang di rumah. Entahlah, kupikir itu hanya perasaan rinduku kepada anak dan istriku. Tapi rinduku sedikit terobati dengan komunikasi tatap muka menggunakan panggilan video. Tetap saja, masih ada yang menggangjal.
Aku sempat merenung, setelah melakukan berbagai hal yang bisa kulakukan, tetap saja ada yang kurang dan masih menggelitik hati tapi aku tidak paham. Ah, mungkin perasaanku saja. Perasaanku sering kali merasa hal-hal yang tiba-tiba muncul dan itu tidak penting. Apa yang aku pikirkan? Aku juga tidak tahu, terus saja aku memikirkan. Semakin keras aku berpikir semakin tidak ketemu apa yang aku cari. Akhirnya, aku lampiaskan dengan membaca kitab suci. Sejenak menghasilkan ketenangan. Setelah beberapa jam, perasaan tak enak muncul lagi.
Akhirnya aku menyerah, membiarkan semua berjalan seperti biasa meskipun tetap mengganjal. Rasa menyerah membuatku malas membereskan rumah. Perkakas makan di wastafel aku biarkan menumpuk. Bungkus-bungkus makanan aku biarkan. Sprei kasur tidak aku rapikan. Bantal guling biarlah berantakan. Baju kotor aku biarkan menumpuk. Keadaan rumah kembali seperti semula.
Tapi anehnya, perasaanku tenang. Di dalam rumah yang berantakan, aku bisa membayangkan anakku sedang bermain. Namanya anak kecil, setelah mengambil barang, tidak akan dia bereskan. Aku bisa membayangkan istriku bermain dengan anakku dalam rumah yang berantakan. Imajinasi itu, dengan adanya semua yang tidak rapi, membuat rinduku sedikit terobati.
Lama-lama, setelah terlihat sangat berantakan, rumah aku bereskan kembali. Seperti sebelumnya, aku merasakan ada sesuatu yang hilang lagi. Setelah merenung, sepertinya aku menemukan apa yang aku pikirkan. Aku merindukan anak dan istriku menggeletakkan apapun di rumah semau mereka. Aneh sekali. Harusnya orang nyaman dengan rumah yang rapi, tapi aku tidak. Aku nyaman dengan rumah yang berantakan.
Setelah dua belas hari, istri dan anakku kembali dari kampung halaman. Anakku, sesampai di rumah, langsunh saja mengambil mainan yang dia suka. Menaruhnya disana-sini sesukanya. Biasanya, hatiku sangat greget melihat anakku memberantakkan sesuatu. Tapi aneh, aku menikmati perbuatannya. Aku menikmati hasil yang dia buat, rumah berantakan. Sungguh, ternyata, apa yang dilakukan anakku dan istriku, sungguh nikmat di mataku. Mereka selalu bahagia bermain bersama, meskipun pada akhirnya rumah amburadul. Rumah yang tidak rapi, mengingatkanku pada senyum tawa mereka. Sekarang aku menikmatinya, menikmati rumah berantakan yang mereka hasilkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar