Jumat, 23 Desember 2022

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lemah. Lalu lalang kendaraan hanya menjadi layar abu-abu dan hening semata. Yang didengar hanya suara kepalanya yang sedang berbincang ramai tentang kejadian yang barusan terjadi. Motor yang sedang ia kendarai seperti jalan dengan sendirinya, seperti ada yang mengendalikan, bukan dia. Fokus pikirannya hanya kejadian barusan, ya, barusan. Bukan jalan dengan banyak kendaraan yang dia lihat di depan matanya. Hanya mantan kekasihnya yang baru saja ia putus tanpa kata putus dan segala kenangan setelah menjalin hubungan selama hampir empat tahun lamanya.


Tiba-tiba pusing terasa di belakang matanya. Mungkin karena menahan tangis. Hatinya terasa perih sangat dalam. Tegar, kamu tidak boleh menangis, kamu pria kuat seperti namamu, ucapnya dalam hati untuk memotivasi. Tapi pusingnya malah menjadi. Dia memutuskan untuk menghentikan laju motornya dan menepi. Helm yang dipakai juga terasa sangat berat, membuat pusingnya menyebar ke seluruh bagian kepala. Dia copot helm setelah memakirkan motor di pinggir jalan dan duduk di tepi trotoar yang posisinya lebih tinggi dari jalan aspal.

Sekali lagi dia menghembuskan nafas setelah berkali-kali dilakukannya saat mengendarai motornya tadi, sekedar untuk mengurangi beban dadanya yang terasa sesak. Menatap jalanan yang ramai malah membuat beban pikirannya bertambah. Untung sedang mendung. Panasnya matahari tidak membuat kepalanya jadi lebih panas.

Oh, Nia, kenapa kamu berkhianat? Kalimat itu saja yang terngiang di kepala Tegar. Kepalanya terasa berat sekali sampai-sampai harus menunduk, seperti tidak kuasa menegakkan kepala. Beberapa pengendara motor yang melewatinya pun menengok ke arahnya, bertanya-tanya apa yang dilakukan seorang pemuda yang duduk di pinggir jalan menatap ke tanah. Tapi Tegar benar-benar sedang tidak berada di dunia nyata. Dia sedang terpuruk di dunia pikirannya sendiri. Sekitarnya hanya layar abu-abu.

Tegar merogoh tasnya dan mendapati bungkus rokok bersandingan dengan korek api. Diraihnya sepasang sejoli itu kemudian diambilnya satu batang rokok dari bungkusnya. Sebatang putih dipasangkan ke mulutnya dan siap dibakar. Tapi semesta seperti membuatnya lebih kesal. Saat akan memantik korek api, angin berhembus kencang, karena memang lalu lalang kendaraan menimbulkan angin yang lumayan terasa. Berkali-kali dia mencoba tapi kekuatan angin tetap lebih perkasa dari nyala kecil korek api. Hatinya dongkol bukan main, menambah sesak dada. Menunggu angin tidak berhembus, akhirnya dia mencoba sekali lagi dan berhasil. Sebatang kenikmatan berwarna putih berhasil dia sulut.

Tegar menghisap dalam-dalam asap rokok yang dia bakar dan menghembuskannya dengan pelan dan syahdu. Nikotin lumayan membuat pikirannya rileks sedikit demi sedikit. Fokusnya sudah berganti dari bayangan mantan kekasihnya ke nikmatnya rokok yang dia hisap. Layar yang tampak di penglihatannya sudah tidak abu-abu lagi, sudah mulai berwarna dan menunjukkan lalu lalang kendaraan. Tapi bayangan Nia tetap tampak samar, hanya samar, dan terus berusaha untuk menerobos pikirannya lagi.

Oh, Nia, kenapa kamu berkhianat? Suara itu lagi yang muncul disertai gambaran samar Nia yang sedang tersenyum. Perih hatinya terasa lagi. Ah, kenapa dia lagi yang muncul? Grundelnya dalam hati. Cahaya matahari mulai muncul menerpa wajahnya. Ditengoknya ke atas, ternyata mendung mulai memudar. Sudah hatinya panas, ditambah kepalanya panas. Tegar memasang helmnya lagi dan menaiki motornya. Rokok masih terjepit di antara jari telunjuk dan tengah tangan kirinya. Setelah men-stater si Jengki, motor butut kesayangannya yang sudah berpenampilan klimis karena dicat ulang, Tegar menghisap lagi rokoknya yang tinggal separuh dalam-dalam dan menghembuskan asapnya perlahan dengan lembut. Barulah dia mulai melaju ke jalanan.

Pandangannya sudah tidak suram lagi, sudah mulai normal tapi masih dikelebati bayang-bayang samar mantan kekasinya. Senyumnya masih menari-menari di kepalanya. Ah betapa indah senyummu, Nia. Spontan Tegar pun tersenyum juga. Parasnya benar-benar melekat di hati dan pikirannya. Bagaimana tidak? Selama hampir empat tahun dan hampir setiap hari dia bersama Nia. Sebagai pasangan kekasih, Tegar dan Nia terbilang mesra. Yang tampak ketika mereka bersama hanya tersenyum dan tertawa dengan raut wajah riang. Perlakuan mesra antara keduanya yang tidak mengindahkan sekitar membuat yang menontonnya hanya tersenyum geli, bisa jadi iri. Nia yang berkuliah di Fakultas Ekonomi, sering dijemput oleh Tegar yang berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas yang sama. Hampir setiap hari seperti itu kecuali hari libur. Kenangan-kenangan indah selama hampir empat tahun terpatri terlalu dalam di hati Tegar.

Ah, kenapa Nia lagi Nia lagi? Ucapnya kesal dalam hati. Diisapnya lagi rokok di tangannya untuk mengalihkan bayang-bayang kenangan yang terus muncul. Asap rokok disertai remah-remah abu beterbangan ke arah belakang meninggalkan Tegar dan Jengki-nya. Angin yang menerpa dari depan tidak menyurutkan usahanya untuk terus menghisap rokok. Ternyata nikmat juga merokok sambil berkendara, pikirnya. Lumayan mengurangi stres pikiran dan ganjalan hati.

Tapi, lagi, bayangan Nia muncul. Bukan Nia yang sedang tersenyum, tapi kejadian yang Tegar saksikan tadi yang membuatnya benar-benar tidak bertenaga, kejadian yang sangat merobek hatinya, meluruhkan semangatnya, mengaburkan pandangannya.

Seperti biasa, tadi, Tegar akan menjemput Nia. Dia menunggu Nia di depan gerbang Fakultas Ekonomi. Tapi sesuatu di luar kebiasaan terjadi. Lima belas menit menunggu, Nia tidak kunjung keluar. Dicobalah menghubungi lewat telepon. Menunggu sampai nada dering telepon selesai, tidak juga diangkat. Dicobanya lagi berkali-kali, tidak juga ada respon. Mungkin masih menghadap dosen. Diputuskannya menunggu beberapa menit lagi.

Ah, Nia lagi Nia lagi. Tegar tersadar dan kembali ke kehidupan nyata. Diisapnya rokok yang tinggal seperempat sambil masih memacu si Jengki dengan tidak kencang. Kepulan asap dan abu sisa pembakaran tembakau masih berterbangan diterpa angin jalanan. Dengan tetap melihat ke depan, bayangan Nia muncul lagi. Adegan yang dibayangkan tadi berlanjut.

Setelah mencoba menghubungi Nia dan menunggu beberapa menit lagi, Tegar tetap tidak menemukan sosok kekasihnya keluar melewati gerbang Fakultas Ekonomi. Dia mulai gelisah. Lebih baik aku masuk aja nyari Nia, dia memutuskan. Dia masuk ke areal parkir Fakultas kekasihnya itu dan mulai berjalan mencari pujaan hatinya yang tak kunjung menampakkan diri.

Saat itu masih pukul sepuluh pagi, tapi awan terlihat mendung pekat. Muramnya langit menambah kegelisahan hatinya. Tempat yang dituju pertama adalah kantin Fakultas Ekonomi. Tidak mungkin dia menuju kelas, nanti malah dicurigai banyak orang karena memang Tegar bukan mahasiswa di kampus itu. Jaraknya tidak jauh dari tempat parkir, hanya berjalan lima menit. Tegar sudah sering ke sana sejak berpacaran dengan Nia jadi tidak susah mencari lokasi kantin. Dari jarak dua puluh meter menuju kantin, dia melihat sosok kekasihnya yang dia hafal betul.

Kekasihnya berkemeja pendek kuning kunyit, dipadu celana jeans skinny. Rambut hitam legamnya tergerai anggun dan serasi dengan postur tubuhnya. Senyum tersimpul di bibir Tegar. Tapi senyumnya sementara, langsung menghilang digantikan kernyit dahi. Kekasihnya tidak sendiri. Dia bersama dengan sesosok yang sepertinya laki-laki. Mereka sedang duduk bersama di satu meja kayu berbentuk bulat, melakukan percakapan, sesekali dengan senyuman. Tegar melambatkan langkahnya. Hatinya mulai panas. Warna mukanya mulai memerah menahan amarah. Tangannya terkepal kencang. Tapi Tegar adalah Tegar yang terkenal dengan kedewasaannya mengolah emosi. Mungkin itu teman kuliahnya yang kebetulan sedang duduk di sana juga, pikirnya positif. Panas hatinya menurun. Warna mukanya berangsur normal. Tegar melanjutkan langkahnya seperti sebelumnya.

Jarak tinggal sepuluh meter dari kantin. Tegar mencoba menyimpulkan senyum kembali sambil memikirkan kalimat yang pas agar kekasihnya bisa tersenyum mesra saat bertemu dengannya. Naas, sepertinya Zeus sang dewa petir di balik mendung sedang murka. Tegar merasa seperti disambar petir begitu melihat Nia kekasihnya memegang tangan sosok lelaki di depannya. Entah itu mesra atau tidak, pandangan Tegar sudah kabur. Kepalanya seperti mulai berasap. Amarah tidak bisa dibendungnya lagi. Ia menghentikan langkahnya sesaat kemudian berlari kencang menuju kekasihya dan sosok lelaki di depannya.

Derap langkah yang berlari menimbulkan suara yang lumayan menyita perhatian orang-orang yang berada di sekitar kantin. Tegar tidak acuh dengan hal tersebut. Yang melihat pun hanya heran kenapa dia berlarian seperti kesurupan. Sampai pada jarak satu meter dengan lokasi meja kekasihnya berada, barulah Nia dan sosok lelaki tersebut menoleh. Mereka terlambat menyadari kehadiran Tegar dan gerak-geriknya. Sepersekian detik akhirnya Nia "ngeh" apa yang akan dilakukan kekasihnya. Sepersekian detik Tegar sempat melihat Nia melepaskan pegangan tangannya dengan sosok lelaki tak dikenal. Sepersekian detik juga Nia melihat tangan kekasihnya yang terkepal lumayan keras melayang ke arah wajah lelaki yang tak dikenal Tegar.

Buuuk!

Suara benturan kepalan tangan Tegar dan pipi lelaki tidak dikenal terdengar sangat jelas. Spontan Nia berteriak dan menyita seluruh perhatian penghuni kantin. Si lelaki tak dikenal sudah tersungkur jatuh dari tempat duduknya. Terlihat sedikit darah keluar dari ujung bibirnya. Nia juga sudah bangkit dan berusaha menahan Tegar sambil meracau tidak terlalu jelas. Air mata tampak jatuh dari ujung matanya yang memerah. Si lekaki tak dikenal tidak berusaha bangkit. Mungkin "hook" yang dilayangkan Tegar menguras sedikit kesadarannya.

Tegar menatap mata Nia yang sudah merah dan basah. Mulut masih meracau tidak jelas, setidaknya itu yang didengar Tegar. "Apa maksudmu?" Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutnya. Nia menjawabnya sambil menangis tapi masih terdengar meracau tidak jelas di telinga Tegar. Tegar tidak perlu penjelasan apapun dari Nia. Yang dia lihat sudah menjelaskan apa yang terjadi. Dia memutuskan pergi begitu saja di tengah penjelasan Nia yang terdengar seperti kicauan berisik di telinga Tegar.

Tegar tersadar, kembali dari lamunan panjang. Ah Nia lagi Nia lagi. Pandangannya kembali ke jalanan dengan lalu lalang kendaraan. Kesadarannya yang mulai kembali ke dunia nyata juga membuatnya sadar rokok yang diapit kedua jarinya sudah tidak di tempatnya. Mungkin terlepas dan terhembus angin, pikirnya.

Saat melihat kaca spion, dia sangat kaget dengan apa yang dilihatnya. Refleks rem ditekan menghentikan laju si Jengki. Ada pengendara motor di belakangnya jatuh. Seorang perempuan tampak masih muda dengan helm putih berjaket tipis gelap tampak kesakitan terjepit motor matic-nya di atas jalan aspal. Ingin hati menolong tapi jaraknya sekitar sepuluh meter dari perempuan tersebut. Pengendara-pengendara lain di belakang juga mulai menghentikan lajunya dan membantu si perempuan berhelm putih. Sepertinya kecelakaan tunggal, hasil pengamatan Tegar yang masih duduk di sadel si Jengki. Melihat mulai banyak yang membantu si korban kecelakaan tunggal, Tegar memutuskan untuk tidak menghampiri dan melanjutkan perjalanan yang belum tahu kemana bersama si Jengki. Dia terus melaju bersama Jengki, diterpan angin jalanan yang menerpa wajahnya, sambil berharap ingatan dan kenangan tentang Nia dibawa olehnya. Angin, bawalah, jiwaku melayang. Terlintas di pikiran Tegar lagu milik band idolanya.

***

"Mbak, kenapa bisa jatuh?" Tanya seorang bapak-bapak paruh baya kepada seorang perempuan muda yang barusan jatuh dari motornya. Sambil mengangkat motor agar tubuh perempuan tersebut tidak terjepit, terlontar pertanyaan tersebut. Seorang lagi, seorang ibu-ibu muda, juga menghentikan laju motornya hendak membantu.

"Iya, Mbak, kenapa bisa jatuh sendiri?" Ibu-ibu muda tersebut bertanya sambil membantu si perempuan korban kecelakaan tunggal bangkit berdiri kemudian menuju tepi jalan.

Setelah duduk dengan nyaman, dan memeriksa tubuhnya yang terasa nyeri sambil menepis debu-debu yang menempel di pakaiannya, dia menjawab, "Tadi ada mas-mas naik motor tua di depan saya buang rokok masih menyala di jalan bu, Bu. Rokoknya kebawa angin menuju arah saya. Ya saya kaget, refleks langsung menghindar. Eh, malah kepleset dan jatuh."

Bapak-bapak paruh baya dan ibu-ibu muda yang menolong pun cuma bisa geleng-geleng kepala tanpa berkata apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lema...