Kamis, 22 Desember 2022

Tak Tahu Diri

 "Bro, ayo nongkrong di taman kota." Ajak Gondrong kepada Cepak di telepon.


"Ayo, Bro. Sekalian nih aku mau curhat. Males banget di rumah. Istri ngomel terus." Cepak dengan antusias menyambut ajakan Gondrong.

"Hahaha. Baiklah. Aku siap menjadi pendengar setia."

Mulailah mereka berangkat dari rumah masing-masing. Gondrong yang masih bujangan meskipun usianya sudah beranjak tiga puluh langsung berangkat setelah berpamitan kepada ibunya yang sedang mencuci piring. Tak lupa tas kecil yang selalu dibawa yang selalu berisi dompet, sebungkus rokok, korek, dan handphone dibawanya. Motor sport 250 cc kesayangannya langsung ditunggangi menuju taman kota.

Sedangkan Cepak, harus menunggu istrinya yang sedang menyusui anak mereka. Biasanya, sang istri akan ikut tertidur ketika si bayi mulai terlelap. Saat sang istri terlelap itulah dia bisa "kabur" dari rumah. Pamitan nanti saja lah lewat chat Whatsapp, bilang aja gak enak bangunin waktu mau pamit keluar, ucap Cepak dalam hati.

Pelan-pelan sekali Cepak melangkah keluar menghindari mainan anaknya yang berserakan di ruang tamu agar tidak menimbulkan suara dan membangunkan istrinya. Sesampainya di garasi, ia memutuskan mengendarai sepeda motor matic istrinya, bukan motor sport besarnya, agar tidak gaduh saat di-stater di depan rumah. Sangat pelan juga ia menutup pagar sampai akhirnya "lolos" dan tancap gas.

Tak sampai 10 menit Gondrong dan Cepak tiba hampir bersamaan di taman kota. Saat itu sudah jam 4 sore. Banyak orang mulai yang dewasa, anak kecil, sampai pedagang asongan memadati area taman yang memang merupakan tempat favorit masyarakat menghabiskan waktu menjelang malam.

"Bro, sini!" Gondrong menyapa terlebih dahulu dan Cepak menghampiri dengan wajah kusut. "Kenapa kamu? Muka kok kayak jemuran belum kering." Kata Gondrong dengan sedikit mengejek sambil tertawa kecil.

"Suntuk di rumah. Istri ngomel terus. Begini lah, begitu lah. Adaaa aja bahan yang dibuat omelan." Cepak berkata dengan nada jengkel.

"Haha. Santai. Duduk dulu lah. Di sana aja deh, deket pohon besar." Gondrong menunjuk ke arah pohon jambu air yang sudah hampir 10 meter tingginya.

Mereka mulai berjalan bersisian ke arah tempat yang dituju. Sambil berjalan, Gondrong menoleh sekitar untuk mencari pedagang yang menjual minuman. Akhirnya tampaklah si pedagang asongan yang dicari.

"Bro, mau minum apa? Tuh ada yang jualan." Tanya Gondrong kepada Cepak sambil menghentikan langkahnya.

"Aduh, aku gak bawa duit, Bro. Cuma handphone yang aku bawa." Wajah Cepak memelas.

"Yaelah, santai aja. Kayak aku ini orang lain aja. Kopi apa teh? Dingin apa panas? Atau yang lain?" Lanjut Gondrong menawarkan.

"Boleh deh kopi item panas. Makasih ya, Bro."

"Santai. Kayak siapa aja. Kamu duluan ke sana ya, deket pohon jambu besar itu. Aku yang beli kopinya. Nanti aku nyusul ke sana." Perintah Gondrong dibalas Cepak dengan anggukan masih dengan wajah tidak bersemangat.

Sepuluh menit kemudian Gondrong datang berikut dua gelas plastik berisi kopi panas, kemudian duduk di samping Cepak. Gondrong merogoh tas, mengambil rokok dan korek.

"Rokok, Bro? Biar santuy." Gondrong memulai percakapan.

"Maaf ya, Bro. Ini malah gratisan terus dari kamu. Sejak anakku lahir, istri selalu ngomel kalau rumah bau asap rokok. Padahal aku merokok sudah di teras rumah. Makanya, sekarang aku jarang bawa rokok karena rokokku aku tinggal di kantor. Kalau disimpan di rumah dan istri tahu, pasti ngomel gak selesai-selesai." Penjelasan panjang lebar Cepak membuat Gondrong tertawa. Meskipun sedikit emosional, Cepak tetap mengambil satu batang dan dibakarnya.

"Hahaha. Iya, iya santai. Habisin dah kalau perlu ini sebungkus. Gak usah berapi-api gitu." Respon si Gondrong dengan sedikit bercanda menenangkan sahabatnya. "Emangnya kenapa kok sering ngomel istrimu?" Lanjut Gondrong bertanya sambil menyalakan satu batang rokok.

"Gak tahu pasti aku, Bro. Setiap ditanya, jawabnya gak tahu. Ditanya kenapa begini, jawabnya gak tahu. Ditanya begitu, jawabnya pikir aja sendiri. Ada lagi yang lebih nyebelin. Ditanya kenapa kok sering emosi, jawabnya kamu nanya? Kamu nanya? Kamu bertanya-bertanya? Sambil monyong-monyong gitu mulutnya. Aku kan bukan dukun yang bisa nebak pikirannya dia." Jelas Cepak dengan menggebu-menggebu diikuti dengan hisapan rokok yang dalam dan seruputan kopi miliknya.

Gondrong yang mendengarkan cerita kawan karibnya dengan seksama sambil menghisap rokok dan meminum kopi bertanya kembali dengan wajah sedikit prihatin, "Mungkin lagi dapet, kali?"

"Dapet apaan, Bro? Udah selesai seminggu yang lalu." Jawab Cepak singkat. Tak terasa rokok yang dihisapnya sudah menuju batas filter rokok. Dilemparnya sembarangan puntung rokok di rumput lapangan taman kota.

"Hmm, kenapa ya? Atau mungkin lagi capek aja, kali. Capek ngurus anak." Timpal Gondrong dengan pertanyaan lain sambil menyodorkan bungkus rokok sebagai isyarat "Nih, ambil lagi."

Cepak mengambil satu batang rokok lagi dan menyulutnya, kemudian meminum kopinya yang sudah tidak terlalu panas dan melanjutkan obrolan, "Mungkin ya, Bro. Biasanya emang pas ngomel, bilang dia capek ngurus anak, ngurus ini itu, tapi aku gak pernah ngerti. Katanya aku gak peka. Lah, aku kan pulang kerja pasti ngerasa capek. Sampai di rumah ya langsung tidur."

Gondrong mendengarkan curhatan sahabatnya dengan rasa iba sambil membayangkan apakah begitu nanti keadaannya kalau nanti dia menikah dan punya anak. Lamunannya terhenti karena menyadari rokok di tangannya akan habis. Dibuangnya puntung rokok sembarangan ke arah lapangan taman kota, sama seperti yang dilakukan Cepak. Sebelum menimpali curahan hati sahabatnya, dibakarnya satu batang rokok lagi.

"Ya, gimana ya ngomongnya? Perempuan kan emang biasanya gitu, Bro. Kadang-kadang susah ditebak maunya apa. Mungkin istrimu lagi butuh perhatianmu. Siapa tahu akhir-akhir ini dia merasa kurang diperhatikan. Ya, bisa jadi, perhatianmu dia anggap sebagai apresiasi karena sudah melakukan banyak hal seperti ngurus anak, bersih-bersih rumah, nyuci baju, nyuci piring, dan sebagainya." Gondrong merespon dengan perkataan sedikit panjang berisi pengertian yang tidak menyudutkan Cepak maupun istrinya. Gondrong merasa puas setelah memberikan wejangan bijak padahal dia asal bicara saja. Dihisapnya rokok sekali lagi dan kopi kembali diseruput nikmat.

"Bisa jadi sih, Bro." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Cepak, kemudian termenung sambil menghisap rokoknya sampai habis.

Gondrong enggan menyela sahabatnya yang sedang termenung dan mungkin meresapi yang tadi dia katakan. Dia sodorkan kembali rokok kepada Cepak dan langsung disulutnya.

Gondrong akhirnya memperhatikan sekitar daripada tidak melakukan apapun. Rokok yang sudah habis dia buang sembarangan ke arah depan. Diminumnya kopi bergelas plastik yang sudah dingin sambil melihat-lihat aktivitas di sekeliling. Ternyata banyak juga yang melakukan hal serupa seperti yang dilakukan Gondrong dan Cepak; duduk bersama bercengkrama. Ada yang di rumput lapangan, ada yang di pinggir trotoar, ada yang di bangku taman, dan masih banyak lagi di bagian lain area taman kota. Ada yang seperti pasangan kekasih sedang saling merayu dan tersenyum mesra, ada yang berkumpul 3 sampai 5 orang sedang tertawa-tawa, dan banyak lagi sekumpulan orang yang lain yang sedang duduk bersama. Keramaian taman kota benar-benar berkah untuk pedagang kecil di sekitarnya, pikir Gondrong saat itu.

Setelah itu, Gondrong dan Cepak melanjutkan obrolan masih seputar curhatan Cepak tentang istrinya dan Gondrong lebih banyak mendengarkan, sesekali menimpali dengan sedikit nasehat, saran, bahkan candaan. Tak lupa rokok terus-menerus "ngebul" ditemani dengan seruputan kopi yang sudah dingin. Setelah matahari tampak menepi ke arah barat dan mulai menyemburkan cahaya jingga pertamanya, Gondrong dan Cepak memutuskan pulang, kemudian saling berpamitan dan mengucapkan terima kasih. Gelas-gelas kopi kosong yang hanya tersisa ampasnya, serta berpuntung-puntung rokok yang tergeletak di antara rerumputan lapangan taman kota, menjadi saksi berakhirnya percakapan dua sahabat tersebut.

***

Masih jam 6 pagi waktu Bu Indah sampai di taman kota. Setelah mengayuh sepeda sekitar 25 menit dari rumahnya, nafasnya sedikit tersengal-sengal. Ditambah dengan tadi harus bangun jam 4 pagi untuk bersih-bersih rumah dan memasak untuk sarapan ketiga anaknya yang akan berangkat sekolah. Ditambah dengan usianya yang sudah beranjak 45 tahun dan fisiknya tidak sekuat saat berusia dua puluhan. Semua aktivitas paginya benar-benar menguras tenaga sebelum ia memulai pekerjaannya sebagai petugas kebersihan taman kota.

Seperti biasa, pemandangan yang dilihatnya setiap pagi adalah hijaunya taman kota dengan pepohonan yang begitu banyak dan rimbun, serta rumput yang basah karena embun. Bu Indah menghela nafas. Bukan karena lelahnya setelah mengayuh sepeda yang lumayan jauh jaraknya, tapi taman kota yang harusnya indah dengan pemandangan hijaunya, setiap pagi selalu dihiasi dengan bungkus plastik bekas cilok yang bumbunya masih tersisa di dalamnya, gelas plastik kosong sisa kopi yang begitu saja nangkring di lapangan taman kota, botol plastik yang dibuang begitu saja di sela-sela semak-semak yang sudah dibentuk sangat cantik, dan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus bahkan beribu-ribu bahkan berjuta-juta puntung rokok yang berserakan hampir di semua bagian taman kota mulai dari bagian tengah sampai bagian tepi.

Bu Indah menghela nafas sekali lagi dengan agak keras. Dengan mengucap "Bismillah", ia merasa sudah siap dan mulai membersihkan semua sampah yang berserakan di taman kota bersama dengan petugas kebersihan yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lema...