Rabu, 21 Desember 2022

The Lucky Husband

 Bingung minta ampun. Itulah frasa yang tepat untuk menggambarkan keadaanku sekarang. Bagaimana tidak bingung? Aku melihat kalender, ternyata masih tanggal lima belas dan di dompet hanya tersisa satu lembar berwarna hijau bertuliskan nominal dua puluh ribu dan empat lembar berwarna abu-abu yang sudah lecek bertuliskan angka dua ribu serta recehan koin seratus dua ratus yang membuatku malas menghitungnya.


Mau makan apa anak istriku? Itu saja yang terngiang di kepala. Terus memikirkannya malah membuat jalan otak semakin buntu. Bukannya solusi malah pening yang muncul. Awalnya di belakang mata, kemudian merambat ke dahi, lalu menjalar hampir ke semua bagian atas kepala. Ingin berteriak agar sakit kepala berkurang, tapi sayangnya aku tak punya nyali sebesar itu melakukannya di depan banyak orang.

Saat itu aku sedang duduk di depan mini market sambil menyeruput kopi dingin kemasan botol. Aku memutuskan singgah sebentar karena fokusku sudah kacau. Sangat berbahaya berkendara dalam keadaan seperti itu. Ya memang, penyebabnya adalah kepikiran uang yang sudah hampir punah di dompet padahal masih pertengahan bulan.

Pendapatanku bekerja di sebuah perusahaan yang sudah punya nama besar sebenarnya terbilang di atas nilai Upah Minimum Regional. Tapi ya begitu, tiap bulan selalu saja tidak mencukupi, selalu minus. Ada saja pengeluaran ini itu yang tidak terduga. Dan yang paling parah adalah bulan ini, bulan menjelang tahun baru. Baru tanggal lima belas sudah mau raib biaya penghidupan.

Aku duduk pas di anak tangga berbahan ubin keramik putih dekat dengan tumpukan kardus-kardus air mineral. Tidak peduli apa yang akan dikatakan orang yang mau masuk ke mini market. Dikira pria stres pun tak mengapa. Sepertinya aku memang terlihat seperti itu pada saat itu; wajah kusam, berminyak, rambut kusut, ditambah ekspresi tertekan. Melihat orang lalu-lalang keluar masuk mini market membawa belanjaan membuatku sangat iri. Kok enak ya hidup mereka? Gampang sekali beli ini itu. Sedangkan aku, mau beli kopi dalam botol yang harganya cuma tiga ribu saja pertimbangannya bukan main  memutar otak.

Sebenarnya, meskipun pendapatan tiap bulan lebih besar pasak daripada tiang, selalu ada solusi untuk hal itu, yaitu berhutang. H-U-T-A-N-G. Apa kalian familiar dengan susunan huruf tersebut? Tersenyumlah tak apa kalau sangat akrab dengan kata itu. Kita sama. Hehe. Tapi dari awal bulan, aku sudah membulatkan tekad untuk tidak melakukan hal itu. Tahun baru, harus ada perbaikan. Ya kata kerennya sih biasanya resolusi. Tapi apa daya takdir berkata lain.

Dari awal bulan, aku sudah melakukan perhitungan matang bagaimana uang yang aku dapat dari bekerja digunakan untuk ini itu, pokoknya harus ada sampai akhir bulan. Eh ternyata, keadaannya sama saja seperti bulan-bulan sebelumnya. Padahal, setelah aku renungkan, terlalu banyak jajan juga tidak. Apalagi belanja ala-ala hedonis, itu jauh. Aku pikir-pikir lagi, semuanya normal saja seperti pada umumnya orang yang melakukan pengiritan. Tapi kenapa masih saja kuraaaang? Tuhaaaan, hamba harus bagaimana?

"Mas, mas, maaf ya. Permisi saya mau ngambil kardus minuman." Salah satu pramuniaga mini market menyela lamunanku sambil sedikit menyentuh pundakku.

"Oh, iya, Mas, silahkan. Hehe." Aku bangkit berdiri sambil meringis salah tingkah. Jangan-jangan si pramuniaga berpikir aku ini memang lagi stres karena melihatku melamun dan menatap dengan tatapan kosong.

Aku putuskan sekalian saja melanjutkan perjalanan pulang. Aku sedang dalam perjalanan pulang. Terik matahari yang masih sangat menyengat membuat pikiranku panas. Makanya aku mampir membeli kopi dingin, minuman favoritku, sekedar untuk sedikit melepas beban pikiran. Kemudian aku pasang kembali helm, naik ke atas motor, ku-stater, melihat sekeliling apakah ada penjaga parkir dan ternyata tidak ada, ya sudah aku tancap gas.

Jarak ke rumahku masih sekitar sepuluh menit dalam kondisi arus lalu lintas yang padat. Masih saja pertanyaan "Anak istriku mau makan apa?" masih menggema di kepala. Untungnya pening sudah mereda. Kafein suhu rendah memang ampuh menjadi penawar. Maka kubiarkan saja pertanyaan itu menggema berulang, sampai dia capek dan berhenti sendiri.

Tidak sampai sepuluh menit aku sampai di rumah. Kedatanganku disambut oleh bunyi meter listrik "biiip biiip biiiip" dan kelap-kelip nyala merah di meter tersebut. Kalian tahu apa artinya? Ya pasti sudah tahu, token listrik mau habis! Aaah, memperburuk situasi saja. Kemudian aku lihat layar monokrom meter listrik. Ternyata baru saja bunyi. Listrik masih bisa bertahan lah sampai lima harian. Syukurlah.

Saat aku beraksi ala-ala petugas perusahaan listrik memeriksa meter listrik, pintu terbuka dan muncullah istri tercintaku dengan ciri khas daster gombornya kalau sedang di rumah.

"Ada apa, Beb?" Tanya istriku sedikit mengejutkan.

"Bab beb bab beb. Emang bebek goreng?" Jawabku dengan sok ngambek. "Ini loh, Bu, bunyi meter listrik kok kayak bomb. Mau meledak kayaknya."

"Aaah, Bebeb bisa ajaaaa." Sambil mencubitku manja, istriku bereaksi.

"Diiih. Sok muda pake Bab Beb Bab Beb. Udah ah."

"Iyaaa Bapaaak." Ucap istriku mesra sambil setengah memeluk. "Kok dateng-dateng mukanya kusut gitu sih?" Lanjut istriku.

"Masuk aja dulu deh, Bu. Nanti Bapak ceritain."

Kubuka sepatu, kemudian masuk dan berganti pakaian kaos dan celana pendek. Dengan wajahku yang sudah terlihat tidak enak dipandang, istriku sepertinya mengerti dan langsung berusaha untuk membuat nyaman keadaanku. Langsung saja makanan yang dia masak, nasi dengan sayur oseng kangkung plus tempe goreng disandingkan dengan sambal terasi, dihidangkan dan disodorkan padaku yang masih duduk di kursi ruang tamu. Aku sedikit terkejut karena hal itu di luar kebiasaan keluargaku yang membiasakan makan di meja makan.

"Loh, kok tidak di meja makan aja, Bu?" Tanyaku heran.

"Gak apa-apa, Pak. Sekali-kali. Bapak kan capek, takutnya pas jalan menuju meja makan malah pingsan di tengah perjalanan." Jawab istriku dengan bercanda. Istriku jago sekali membuat hatiku tentram.

Setelah berbasa-basi bentar dengan istriku, aku melahap makanan yang dihidangkan dengan penuh nikmat. Meskipun sederhana, menurut kebanyakan orang, nikmatnya bisa mengalahkan masakan hotel bintang lima, bahkan mengalahkan rasa masakan yang ada di kompetisi memasak televisi. Tak sampai lima menit isi piring ludes tak bersisa kemudian ditutup dengan air putih segelas besar. Sungguh nikmat tiada tara.

Tiba-tiba aku merasa suasana hening dan istriku memandangiku dengan tatapan menuntut cerita yang aku janjikan. Aku hembuskan nafas, dan mengambil dompet untuk memulai cerita. Kemudian aku membuka dompet dan memperlihatkannya ke isrtriku. "Ini, Bu." Hanya dua kata itu yang mampu keluar dari mulutku. Dengan bangganya si lembar hijau dan lembar abu-abu menampakkan diri. Tapi aku lebih terkejut karena istriku. Dia hanya tersenyum, sangat manis dan tulus, kemudian berkata, "Bapak tidur siang dulu sana, pasti capek." Kenapa istriku tidak kaget? Entahlah. Wanita memang lebih pandai menyembunyikan isi hatinya dibanding pria. Aku juga ikut tersenyum dan mencium keningnya, kemudian menuju tempat tidur, berharap setelah aku tidur, si hijau dan abu-abu di dompet berubah menjadi berlembar-lembar warna merah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lema...