Jumat, 23 Desember 2022

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lemah. Lalu lalang kendaraan hanya menjadi layar abu-abu dan hening semata. Yang didengar hanya suara kepalanya yang sedang berbincang ramai tentang kejadian yang barusan terjadi. Motor yang sedang ia kendarai seperti jalan dengan sendirinya, seperti ada yang mengendalikan, bukan dia. Fokus pikirannya hanya kejadian barusan, ya, barusan. Bukan jalan dengan banyak kendaraan yang dia lihat di depan matanya. Hanya mantan kekasihnya yang baru saja ia putus tanpa kata putus dan segala kenangan setelah menjalin hubungan selama hampir empat tahun lamanya.


Tiba-tiba pusing terasa di belakang matanya. Mungkin karena menahan tangis. Hatinya terasa perih sangat dalam. Tegar, kamu tidak boleh menangis, kamu pria kuat seperti namamu, ucapnya dalam hati untuk memotivasi. Tapi pusingnya malah menjadi. Dia memutuskan untuk menghentikan laju motornya dan menepi. Helm yang dipakai juga terasa sangat berat, membuat pusingnya menyebar ke seluruh bagian kepala. Dia copot helm setelah memakirkan motor di pinggir jalan dan duduk di tepi trotoar yang posisinya lebih tinggi dari jalan aspal.

Sekali lagi dia menghembuskan nafas setelah berkali-kali dilakukannya saat mengendarai motornya tadi, sekedar untuk mengurangi beban dadanya yang terasa sesak. Menatap jalanan yang ramai malah membuat beban pikirannya bertambah. Untung sedang mendung. Panasnya matahari tidak membuat kepalanya jadi lebih panas.

Oh, Nia, kenapa kamu berkhianat? Kalimat itu saja yang terngiang di kepala Tegar. Kepalanya terasa berat sekali sampai-sampai harus menunduk, seperti tidak kuasa menegakkan kepala. Beberapa pengendara motor yang melewatinya pun menengok ke arahnya, bertanya-tanya apa yang dilakukan seorang pemuda yang duduk di pinggir jalan menatap ke tanah. Tapi Tegar benar-benar sedang tidak berada di dunia nyata. Dia sedang terpuruk di dunia pikirannya sendiri. Sekitarnya hanya layar abu-abu.

Tegar merogoh tasnya dan mendapati bungkus rokok bersandingan dengan korek api. Diraihnya sepasang sejoli itu kemudian diambilnya satu batang rokok dari bungkusnya. Sebatang putih dipasangkan ke mulutnya dan siap dibakar. Tapi semesta seperti membuatnya lebih kesal. Saat akan memantik korek api, angin berhembus kencang, karena memang lalu lalang kendaraan menimbulkan angin yang lumayan terasa. Berkali-kali dia mencoba tapi kekuatan angin tetap lebih perkasa dari nyala kecil korek api. Hatinya dongkol bukan main, menambah sesak dada. Menunggu angin tidak berhembus, akhirnya dia mencoba sekali lagi dan berhasil. Sebatang kenikmatan berwarna putih berhasil dia sulut.

Tegar menghisap dalam-dalam asap rokok yang dia bakar dan menghembuskannya dengan pelan dan syahdu. Nikotin lumayan membuat pikirannya rileks sedikit demi sedikit. Fokusnya sudah berganti dari bayangan mantan kekasihnya ke nikmatnya rokok yang dia hisap. Layar yang tampak di penglihatannya sudah tidak abu-abu lagi, sudah mulai berwarna dan menunjukkan lalu lalang kendaraan. Tapi bayangan Nia tetap tampak samar, hanya samar, dan terus berusaha untuk menerobos pikirannya lagi.

Oh, Nia, kenapa kamu berkhianat? Suara itu lagi yang muncul disertai gambaran samar Nia yang sedang tersenyum. Perih hatinya terasa lagi. Ah, kenapa dia lagi yang muncul? Grundelnya dalam hati. Cahaya matahari mulai muncul menerpa wajahnya. Ditengoknya ke atas, ternyata mendung mulai memudar. Sudah hatinya panas, ditambah kepalanya panas. Tegar memasang helmnya lagi dan menaiki motornya. Rokok masih terjepit di antara jari telunjuk dan tengah tangan kirinya. Setelah men-stater si Jengki, motor butut kesayangannya yang sudah berpenampilan klimis karena dicat ulang, Tegar menghisap lagi rokoknya yang tinggal separuh dalam-dalam dan menghembuskan asapnya perlahan dengan lembut. Barulah dia mulai melaju ke jalanan.

Pandangannya sudah tidak suram lagi, sudah mulai normal tapi masih dikelebati bayang-bayang samar mantan kekasinya. Senyumnya masih menari-menari di kepalanya. Ah betapa indah senyummu, Nia. Spontan Tegar pun tersenyum juga. Parasnya benar-benar melekat di hati dan pikirannya. Bagaimana tidak? Selama hampir empat tahun dan hampir setiap hari dia bersama Nia. Sebagai pasangan kekasih, Tegar dan Nia terbilang mesra. Yang tampak ketika mereka bersama hanya tersenyum dan tertawa dengan raut wajah riang. Perlakuan mesra antara keduanya yang tidak mengindahkan sekitar membuat yang menontonnya hanya tersenyum geli, bisa jadi iri. Nia yang berkuliah di Fakultas Ekonomi, sering dijemput oleh Tegar yang berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas yang sama. Hampir setiap hari seperti itu kecuali hari libur. Kenangan-kenangan indah selama hampir empat tahun terpatri terlalu dalam di hati Tegar.

Ah, kenapa Nia lagi Nia lagi? Ucapnya kesal dalam hati. Diisapnya lagi rokok di tangannya untuk mengalihkan bayang-bayang kenangan yang terus muncul. Asap rokok disertai remah-remah abu beterbangan ke arah belakang meninggalkan Tegar dan Jengki-nya. Angin yang menerpa dari depan tidak menyurutkan usahanya untuk terus menghisap rokok. Ternyata nikmat juga merokok sambil berkendara, pikirnya. Lumayan mengurangi stres pikiran dan ganjalan hati.

Tapi, lagi, bayangan Nia muncul. Bukan Nia yang sedang tersenyum, tapi kejadian yang Tegar saksikan tadi yang membuatnya benar-benar tidak bertenaga, kejadian yang sangat merobek hatinya, meluruhkan semangatnya, mengaburkan pandangannya.

Seperti biasa, tadi, Tegar akan menjemput Nia. Dia menunggu Nia di depan gerbang Fakultas Ekonomi. Tapi sesuatu di luar kebiasaan terjadi. Lima belas menit menunggu, Nia tidak kunjung keluar. Dicobalah menghubungi lewat telepon. Menunggu sampai nada dering telepon selesai, tidak juga diangkat. Dicobanya lagi berkali-kali, tidak juga ada respon. Mungkin masih menghadap dosen. Diputuskannya menunggu beberapa menit lagi.

Ah, Nia lagi Nia lagi. Tegar tersadar dan kembali ke kehidupan nyata. Diisapnya rokok yang tinggal seperempat sambil masih memacu si Jengki dengan tidak kencang. Kepulan asap dan abu sisa pembakaran tembakau masih berterbangan diterpa angin jalanan. Dengan tetap melihat ke depan, bayangan Nia muncul lagi. Adegan yang dibayangkan tadi berlanjut.

Setelah mencoba menghubungi Nia dan menunggu beberapa menit lagi, Tegar tetap tidak menemukan sosok kekasihnya keluar melewati gerbang Fakultas Ekonomi. Dia mulai gelisah. Lebih baik aku masuk aja nyari Nia, dia memutuskan. Dia masuk ke areal parkir Fakultas kekasihnya itu dan mulai berjalan mencari pujaan hatinya yang tak kunjung menampakkan diri.

Saat itu masih pukul sepuluh pagi, tapi awan terlihat mendung pekat. Muramnya langit menambah kegelisahan hatinya. Tempat yang dituju pertama adalah kantin Fakultas Ekonomi. Tidak mungkin dia menuju kelas, nanti malah dicurigai banyak orang karena memang Tegar bukan mahasiswa di kampus itu. Jaraknya tidak jauh dari tempat parkir, hanya berjalan lima menit. Tegar sudah sering ke sana sejak berpacaran dengan Nia jadi tidak susah mencari lokasi kantin. Dari jarak dua puluh meter menuju kantin, dia melihat sosok kekasihnya yang dia hafal betul.

Kekasihnya berkemeja pendek kuning kunyit, dipadu celana jeans skinny. Rambut hitam legamnya tergerai anggun dan serasi dengan postur tubuhnya. Senyum tersimpul di bibir Tegar. Tapi senyumnya sementara, langsung menghilang digantikan kernyit dahi. Kekasihnya tidak sendiri. Dia bersama dengan sesosok yang sepertinya laki-laki. Mereka sedang duduk bersama di satu meja kayu berbentuk bulat, melakukan percakapan, sesekali dengan senyuman. Tegar melambatkan langkahnya. Hatinya mulai panas. Warna mukanya mulai memerah menahan amarah. Tangannya terkepal kencang. Tapi Tegar adalah Tegar yang terkenal dengan kedewasaannya mengolah emosi. Mungkin itu teman kuliahnya yang kebetulan sedang duduk di sana juga, pikirnya positif. Panas hatinya menurun. Warna mukanya berangsur normal. Tegar melanjutkan langkahnya seperti sebelumnya.

Jarak tinggal sepuluh meter dari kantin. Tegar mencoba menyimpulkan senyum kembali sambil memikirkan kalimat yang pas agar kekasihnya bisa tersenyum mesra saat bertemu dengannya. Naas, sepertinya Zeus sang dewa petir di balik mendung sedang murka. Tegar merasa seperti disambar petir begitu melihat Nia kekasihnya memegang tangan sosok lelaki di depannya. Entah itu mesra atau tidak, pandangan Tegar sudah kabur. Kepalanya seperti mulai berasap. Amarah tidak bisa dibendungnya lagi. Ia menghentikan langkahnya sesaat kemudian berlari kencang menuju kekasihya dan sosok lelaki di depannya.

Derap langkah yang berlari menimbulkan suara yang lumayan menyita perhatian orang-orang yang berada di sekitar kantin. Tegar tidak acuh dengan hal tersebut. Yang melihat pun hanya heran kenapa dia berlarian seperti kesurupan. Sampai pada jarak satu meter dengan lokasi meja kekasihnya berada, barulah Nia dan sosok lelaki tersebut menoleh. Mereka terlambat menyadari kehadiran Tegar dan gerak-geriknya. Sepersekian detik akhirnya Nia "ngeh" apa yang akan dilakukan kekasihnya. Sepersekian detik Tegar sempat melihat Nia melepaskan pegangan tangannya dengan sosok lelaki tak dikenal. Sepersekian detik juga Nia melihat tangan kekasihnya yang terkepal lumayan keras melayang ke arah wajah lelaki yang tak dikenal Tegar.

Buuuk!

Suara benturan kepalan tangan Tegar dan pipi lelaki tidak dikenal terdengar sangat jelas. Spontan Nia berteriak dan menyita seluruh perhatian penghuni kantin. Si lelaki tak dikenal sudah tersungkur jatuh dari tempat duduknya. Terlihat sedikit darah keluar dari ujung bibirnya. Nia juga sudah bangkit dan berusaha menahan Tegar sambil meracau tidak terlalu jelas. Air mata tampak jatuh dari ujung matanya yang memerah. Si lekaki tak dikenal tidak berusaha bangkit. Mungkin "hook" yang dilayangkan Tegar menguras sedikit kesadarannya.

Tegar menatap mata Nia yang sudah merah dan basah. Mulut masih meracau tidak jelas, setidaknya itu yang didengar Tegar. "Apa maksudmu?" Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutnya. Nia menjawabnya sambil menangis tapi masih terdengar meracau tidak jelas di telinga Tegar. Tegar tidak perlu penjelasan apapun dari Nia. Yang dia lihat sudah menjelaskan apa yang terjadi. Dia memutuskan pergi begitu saja di tengah penjelasan Nia yang terdengar seperti kicauan berisik di telinga Tegar.

Tegar tersadar, kembali dari lamunan panjang. Ah Nia lagi Nia lagi. Pandangannya kembali ke jalanan dengan lalu lalang kendaraan. Kesadarannya yang mulai kembali ke dunia nyata juga membuatnya sadar rokok yang diapit kedua jarinya sudah tidak di tempatnya. Mungkin terlepas dan terhembus angin, pikirnya.

Saat melihat kaca spion, dia sangat kaget dengan apa yang dilihatnya. Refleks rem ditekan menghentikan laju si Jengki. Ada pengendara motor di belakangnya jatuh. Seorang perempuan tampak masih muda dengan helm putih berjaket tipis gelap tampak kesakitan terjepit motor matic-nya di atas jalan aspal. Ingin hati menolong tapi jaraknya sekitar sepuluh meter dari perempuan tersebut. Pengendara-pengendara lain di belakang juga mulai menghentikan lajunya dan membantu si perempuan berhelm putih. Sepertinya kecelakaan tunggal, hasil pengamatan Tegar yang masih duduk di sadel si Jengki. Melihat mulai banyak yang membantu si korban kecelakaan tunggal, Tegar memutuskan untuk tidak menghampiri dan melanjutkan perjalanan yang belum tahu kemana bersama si Jengki. Dia terus melaju bersama Jengki, diterpan angin jalanan yang menerpa wajahnya, sambil berharap ingatan dan kenangan tentang Nia dibawa olehnya. Angin, bawalah, jiwaku melayang. Terlintas di pikiran Tegar lagu milik band idolanya.

***

"Mbak, kenapa bisa jatuh?" Tanya seorang bapak-bapak paruh baya kepada seorang perempuan muda yang barusan jatuh dari motornya. Sambil mengangkat motor agar tubuh perempuan tersebut tidak terjepit, terlontar pertanyaan tersebut. Seorang lagi, seorang ibu-ibu muda, juga menghentikan laju motornya hendak membantu.

"Iya, Mbak, kenapa bisa jatuh sendiri?" Ibu-ibu muda tersebut bertanya sambil membantu si perempuan korban kecelakaan tunggal bangkit berdiri kemudian menuju tepi jalan.

Setelah duduk dengan nyaman, dan memeriksa tubuhnya yang terasa nyeri sambil menepis debu-debu yang menempel di pakaiannya, dia menjawab, "Tadi ada mas-mas naik motor tua di depan saya buang rokok masih menyala di jalan bu, Bu. Rokoknya kebawa angin menuju arah saya. Ya saya kaget, refleks langsung menghindar. Eh, malah kepleset dan jatuh."

Bapak-bapak paruh baya dan ibu-ibu muda yang menolong pun cuma bisa geleng-geleng kepala tanpa berkata apa-apa.

Kamis, 22 Desember 2022

Tak Tahu Diri

 "Bro, ayo nongkrong di taman kota." Ajak Gondrong kepada Cepak di telepon.


"Ayo, Bro. Sekalian nih aku mau curhat. Males banget di rumah. Istri ngomel terus." Cepak dengan antusias menyambut ajakan Gondrong.

"Hahaha. Baiklah. Aku siap menjadi pendengar setia."

Mulailah mereka berangkat dari rumah masing-masing. Gondrong yang masih bujangan meskipun usianya sudah beranjak tiga puluh langsung berangkat setelah berpamitan kepada ibunya yang sedang mencuci piring. Tak lupa tas kecil yang selalu dibawa yang selalu berisi dompet, sebungkus rokok, korek, dan handphone dibawanya. Motor sport 250 cc kesayangannya langsung ditunggangi menuju taman kota.

Sedangkan Cepak, harus menunggu istrinya yang sedang menyusui anak mereka. Biasanya, sang istri akan ikut tertidur ketika si bayi mulai terlelap. Saat sang istri terlelap itulah dia bisa "kabur" dari rumah. Pamitan nanti saja lah lewat chat Whatsapp, bilang aja gak enak bangunin waktu mau pamit keluar, ucap Cepak dalam hati.

Pelan-pelan sekali Cepak melangkah keluar menghindari mainan anaknya yang berserakan di ruang tamu agar tidak menimbulkan suara dan membangunkan istrinya. Sesampainya di garasi, ia memutuskan mengendarai sepeda motor matic istrinya, bukan motor sport besarnya, agar tidak gaduh saat di-stater di depan rumah. Sangat pelan juga ia menutup pagar sampai akhirnya "lolos" dan tancap gas.

Tak sampai 10 menit Gondrong dan Cepak tiba hampir bersamaan di taman kota. Saat itu sudah jam 4 sore. Banyak orang mulai yang dewasa, anak kecil, sampai pedagang asongan memadati area taman yang memang merupakan tempat favorit masyarakat menghabiskan waktu menjelang malam.

"Bro, sini!" Gondrong menyapa terlebih dahulu dan Cepak menghampiri dengan wajah kusut. "Kenapa kamu? Muka kok kayak jemuran belum kering." Kata Gondrong dengan sedikit mengejek sambil tertawa kecil.

"Suntuk di rumah. Istri ngomel terus. Begini lah, begitu lah. Adaaa aja bahan yang dibuat omelan." Cepak berkata dengan nada jengkel.

"Haha. Santai. Duduk dulu lah. Di sana aja deh, deket pohon besar." Gondrong menunjuk ke arah pohon jambu air yang sudah hampir 10 meter tingginya.

Mereka mulai berjalan bersisian ke arah tempat yang dituju. Sambil berjalan, Gondrong menoleh sekitar untuk mencari pedagang yang menjual minuman. Akhirnya tampaklah si pedagang asongan yang dicari.

"Bro, mau minum apa? Tuh ada yang jualan." Tanya Gondrong kepada Cepak sambil menghentikan langkahnya.

"Aduh, aku gak bawa duit, Bro. Cuma handphone yang aku bawa." Wajah Cepak memelas.

"Yaelah, santai aja. Kayak aku ini orang lain aja. Kopi apa teh? Dingin apa panas? Atau yang lain?" Lanjut Gondrong menawarkan.

"Boleh deh kopi item panas. Makasih ya, Bro."

"Santai. Kayak siapa aja. Kamu duluan ke sana ya, deket pohon jambu besar itu. Aku yang beli kopinya. Nanti aku nyusul ke sana." Perintah Gondrong dibalas Cepak dengan anggukan masih dengan wajah tidak bersemangat.

Sepuluh menit kemudian Gondrong datang berikut dua gelas plastik berisi kopi panas, kemudian duduk di samping Cepak. Gondrong merogoh tas, mengambil rokok dan korek.

"Rokok, Bro? Biar santuy." Gondrong memulai percakapan.

"Maaf ya, Bro. Ini malah gratisan terus dari kamu. Sejak anakku lahir, istri selalu ngomel kalau rumah bau asap rokok. Padahal aku merokok sudah di teras rumah. Makanya, sekarang aku jarang bawa rokok karena rokokku aku tinggal di kantor. Kalau disimpan di rumah dan istri tahu, pasti ngomel gak selesai-selesai." Penjelasan panjang lebar Cepak membuat Gondrong tertawa. Meskipun sedikit emosional, Cepak tetap mengambil satu batang dan dibakarnya.

"Hahaha. Iya, iya santai. Habisin dah kalau perlu ini sebungkus. Gak usah berapi-api gitu." Respon si Gondrong dengan sedikit bercanda menenangkan sahabatnya. "Emangnya kenapa kok sering ngomel istrimu?" Lanjut Gondrong bertanya sambil menyalakan satu batang rokok.

"Gak tahu pasti aku, Bro. Setiap ditanya, jawabnya gak tahu. Ditanya kenapa begini, jawabnya gak tahu. Ditanya begitu, jawabnya pikir aja sendiri. Ada lagi yang lebih nyebelin. Ditanya kenapa kok sering emosi, jawabnya kamu nanya? Kamu nanya? Kamu bertanya-bertanya? Sambil monyong-monyong gitu mulutnya. Aku kan bukan dukun yang bisa nebak pikirannya dia." Jelas Cepak dengan menggebu-menggebu diikuti dengan hisapan rokok yang dalam dan seruputan kopi miliknya.

Gondrong yang mendengarkan cerita kawan karibnya dengan seksama sambil menghisap rokok dan meminum kopi bertanya kembali dengan wajah sedikit prihatin, "Mungkin lagi dapet, kali?"

"Dapet apaan, Bro? Udah selesai seminggu yang lalu." Jawab Cepak singkat. Tak terasa rokok yang dihisapnya sudah menuju batas filter rokok. Dilemparnya sembarangan puntung rokok di rumput lapangan taman kota.

"Hmm, kenapa ya? Atau mungkin lagi capek aja, kali. Capek ngurus anak." Timpal Gondrong dengan pertanyaan lain sambil menyodorkan bungkus rokok sebagai isyarat "Nih, ambil lagi."

Cepak mengambil satu batang rokok lagi dan menyulutnya, kemudian meminum kopinya yang sudah tidak terlalu panas dan melanjutkan obrolan, "Mungkin ya, Bro. Biasanya emang pas ngomel, bilang dia capek ngurus anak, ngurus ini itu, tapi aku gak pernah ngerti. Katanya aku gak peka. Lah, aku kan pulang kerja pasti ngerasa capek. Sampai di rumah ya langsung tidur."

Gondrong mendengarkan curhatan sahabatnya dengan rasa iba sambil membayangkan apakah begitu nanti keadaannya kalau nanti dia menikah dan punya anak. Lamunannya terhenti karena menyadari rokok di tangannya akan habis. Dibuangnya puntung rokok sembarangan ke arah lapangan taman kota, sama seperti yang dilakukan Cepak. Sebelum menimpali curahan hati sahabatnya, dibakarnya satu batang rokok lagi.

"Ya, gimana ya ngomongnya? Perempuan kan emang biasanya gitu, Bro. Kadang-kadang susah ditebak maunya apa. Mungkin istrimu lagi butuh perhatianmu. Siapa tahu akhir-akhir ini dia merasa kurang diperhatikan. Ya, bisa jadi, perhatianmu dia anggap sebagai apresiasi karena sudah melakukan banyak hal seperti ngurus anak, bersih-bersih rumah, nyuci baju, nyuci piring, dan sebagainya." Gondrong merespon dengan perkataan sedikit panjang berisi pengertian yang tidak menyudutkan Cepak maupun istrinya. Gondrong merasa puas setelah memberikan wejangan bijak padahal dia asal bicara saja. Dihisapnya rokok sekali lagi dan kopi kembali diseruput nikmat.

"Bisa jadi sih, Bro." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Cepak, kemudian termenung sambil menghisap rokoknya sampai habis.

Gondrong enggan menyela sahabatnya yang sedang termenung dan mungkin meresapi yang tadi dia katakan. Dia sodorkan kembali rokok kepada Cepak dan langsung disulutnya.

Gondrong akhirnya memperhatikan sekitar daripada tidak melakukan apapun. Rokok yang sudah habis dia buang sembarangan ke arah depan. Diminumnya kopi bergelas plastik yang sudah dingin sambil melihat-lihat aktivitas di sekeliling. Ternyata banyak juga yang melakukan hal serupa seperti yang dilakukan Gondrong dan Cepak; duduk bersama bercengkrama. Ada yang di rumput lapangan, ada yang di pinggir trotoar, ada yang di bangku taman, dan masih banyak lagi di bagian lain area taman kota. Ada yang seperti pasangan kekasih sedang saling merayu dan tersenyum mesra, ada yang berkumpul 3 sampai 5 orang sedang tertawa-tawa, dan banyak lagi sekumpulan orang yang lain yang sedang duduk bersama. Keramaian taman kota benar-benar berkah untuk pedagang kecil di sekitarnya, pikir Gondrong saat itu.

Setelah itu, Gondrong dan Cepak melanjutkan obrolan masih seputar curhatan Cepak tentang istrinya dan Gondrong lebih banyak mendengarkan, sesekali menimpali dengan sedikit nasehat, saran, bahkan candaan. Tak lupa rokok terus-menerus "ngebul" ditemani dengan seruputan kopi yang sudah dingin. Setelah matahari tampak menepi ke arah barat dan mulai menyemburkan cahaya jingga pertamanya, Gondrong dan Cepak memutuskan pulang, kemudian saling berpamitan dan mengucapkan terima kasih. Gelas-gelas kopi kosong yang hanya tersisa ampasnya, serta berpuntung-puntung rokok yang tergeletak di antara rerumputan lapangan taman kota, menjadi saksi berakhirnya percakapan dua sahabat tersebut.

***

Masih jam 6 pagi waktu Bu Indah sampai di taman kota. Setelah mengayuh sepeda sekitar 25 menit dari rumahnya, nafasnya sedikit tersengal-sengal. Ditambah dengan tadi harus bangun jam 4 pagi untuk bersih-bersih rumah dan memasak untuk sarapan ketiga anaknya yang akan berangkat sekolah. Ditambah dengan usianya yang sudah beranjak 45 tahun dan fisiknya tidak sekuat saat berusia dua puluhan. Semua aktivitas paginya benar-benar menguras tenaga sebelum ia memulai pekerjaannya sebagai petugas kebersihan taman kota.

Seperti biasa, pemandangan yang dilihatnya setiap pagi adalah hijaunya taman kota dengan pepohonan yang begitu banyak dan rimbun, serta rumput yang basah karena embun. Bu Indah menghela nafas. Bukan karena lelahnya setelah mengayuh sepeda yang lumayan jauh jaraknya, tapi taman kota yang harusnya indah dengan pemandangan hijaunya, setiap pagi selalu dihiasi dengan bungkus plastik bekas cilok yang bumbunya masih tersisa di dalamnya, gelas plastik kosong sisa kopi yang begitu saja nangkring di lapangan taman kota, botol plastik yang dibuang begitu saja di sela-sela semak-semak yang sudah dibentuk sangat cantik, dan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus bahkan beribu-ribu bahkan berjuta-juta puntung rokok yang berserakan hampir di semua bagian taman kota mulai dari bagian tengah sampai bagian tepi.

Bu Indah menghela nafas sekali lagi dengan agak keras. Dengan mengucap "Bismillah", ia merasa sudah siap dan mulai membersihkan semua sampah yang berserakan di taman kota bersama dengan petugas kebersihan yang lainnya.

Rabu, 21 Desember 2022

The Lucky Husband

 Bingung minta ampun. Itulah frasa yang tepat untuk menggambarkan keadaanku sekarang. Bagaimana tidak bingung? Aku melihat kalender, ternyata masih tanggal lima belas dan di dompet hanya tersisa satu lembar berwarna hijau bertuliskan nominal dua puluh ribu dan empat lembar berwarna abu-abu yang sudah lecek bertuliskan angka dua ribu serta recehan koin seratus dua ratus yang membuatku malas menghitungnya.


Mau makan apa anak istriku? Itu saja yang terngiang di kepala. Terus memikirkannya malah membuat jalan otak semakin buntu. Bukannya solusi malah pening yang muncul. Awalnya di belakang mata, kemudian merambat ke dahi, lalu menjalar hampir ke semua bagian atas kepala. Ingin berteriak agar sakit kepala berkurang, tapi sayangnya aku tak punya nyali sebesar itu melakukannya di depan banyak orang.

Saat itu aku sedang duduk di depan mini market sambil menyeruput kopi dingin kemasan botol. Aku memutuskan singgah sebentar karena fokusku sudah kacau. Sangat berbahaya berkendara dalam keadaan seperti itu. Ya memang, penyebabnya adalah kepikiran uang yang sudah hampir punah di dompet padahal masih pertengahan bulan.

Pendapatanku bekerja di sebuah perusahaan yang sudah punya nama besar sebenarnya terbilang di atas nilai Upah Minimum Regional. Tapi ya begitu, tiap bulan selalu saja tidak mencukupi, selalu minus. Ada saja pengeluaran ini itu yang tidak terduga. Dan yang paling parah adalah bulan ini, bulan menjelang tahun baru. Baru tanggal lima belas sudah mau raib biaya penghidupan.

Aku duduk pas di anak tangga berbahan ubin keramik putih dekat dengan tumpukan kardus-kardus air mineral. Tidak peduli apa yang akan dikatakan orang yang mau masuk ke mini market. Dikira pria stres pun tak mengapa. Sepertinya aku memang terlihat seperti itu pada saat itu; wajah kusam, berminyak, rambut kusut, ditambah ekspresi tertekan. Melihat orang lalu-lalang keluar masuk mini market membawa belanjaan membuatku sangat iri. Kok enak ya hidup mereka? Gampang sekali beli ini itu. Sedangkan aku, mau beli kopi dalam botol yang harganya cuma tiga ribu saja pertimbangannya bukan main  memutar otak.

Sebenarnya, meskipun pendapatan tiap bulan lebih besar pasak daripada tiang, selalu ada solusi untuk hal itu, yaitu berhutang. H-U-T-A-N-G. Apa kalian familiar dengan susunan huruf tersebut? Tersenyumlah tak apa kalau sangat akrab dengan kata itu. Kita sama. Hehe. Tapi dari awal bulan, aku sudah membulatkan tekad untuk tidak melakukan hal itu. Tahun baru, harus ada perbaikan. Ya kata kerennya sih biasanya resolusi. Tapi apa daya takdir berkata lain.

Dari awal bulan, aku sudah melakukan perhitungan matang bagaimana uang yang aku dapat dari bekerja digunakan untuk ini itu, pokoknya harus ada sampai akhir bulan. Eh ternyata, keadaannya sama saja seperti bulan-bulan sebelumnya. Padahal, setelah aku renungkan, terlalu banyak jajan juga tidak. Apalagi belanja ala-ala hedonis, itu jauh. Aku pikir-pikir lagi, semuanya normal saja seperti pada umumnya orang yang melakukan pengiritan. Tapi kenapa masih saja kuraaaang? Tuhaaaan, hamba harus bagaimana?

"Mas, mas, maaf ya. Permisi saya mau ngambil kardus minuman." Salah satu pramuniaga mini market menyela lamunanku sambil sedikit menyentuh pundakku.

"Oh, iya, Mas, silahkan. Hehe." Aku bangkit berdiri sambil meringis salah tingkah. Jangan-jangan si pramuniaga berpikir aku ini memang lagi stres karena melihatku melamun dan menatap dengan tatapan kosong.

Aku putuskan sekalian saja melanjutkan perjalanan pulang. Aku sedang dalam perjalanan pulang. Terik matahari yang masih sangat menyengat membuat pikiranku panas. Makanya aku mampir membeli kopi dingin, minuman favoritku, sekedar untuk sedikit melepas beban pikiran. Kemudian aku pasang kembali helm, naik ke atas motor, ku-stater, melihat sekeliling apakah ada penjaga parkir dan ternyata tidak ada, ya sudah aku tancap gas.

Jarak ke rumahku masih sekitar sepuluh menit dalam kondisi arus lalu lintas yang padat. Masih saja pertanyaan "Anak istriku mau makan apa?" masih menggema di kepala. Untungnya pening sudah mereda. Kafein suhu rendah memang ampuh menjadi penawar. Maka kubiarkan saja pertanyaan itu menggema berulang, sampai dia capek dan berhenti sendiri.

Tidak sampai sepuluh menit aku sampai di rumah. Kedatanganku disambut oleh bunyi meter listrik "biiip biiip biiiip" dan kelap-kelip nyala merah di meter tersebut. Kalian tahu apa artinya? Ya pasti sudah tahu, token listrik mau habis! Aaah, memperburuk situasi saja. Kemudian aku lihat layar monokrom meter listrik. Ternyata baru saja bunyi. Listrik masih bisa bertahan lah sampai lima harian. Syukurlah.

Saat aku beraksi ala-ala petugas perusahaan listrik memeriksa meter listrik, pintu terbuka dan muncullah istri tercintaku dengan ciri khas daster gombornya kalau sedang di rumah.

"Ada apa, Beb?" Tanya istriku sedikit mengejutkan.

"Bab beb bab beb. Emang bebek goreng?" Jawabku dengan sok ngambek. "Ini loh, Bu, bunyi meter listrik kok kayak bomb. Mau meledak kayaknya."

"Aaah, Bebeb bisa ajaaaa." Sambil mencubitku manja, istriku bereaksi.

"Diiih. Sok muda pake Bab Beb Bab Beb. Udah ah."

"Iyaaa Bapaaak." Ucap istriku mesra sambil setengah memeluk. "Kok dateng-dateng mukanya kusut gitu sih?" Lanjut istriku.

"Masuk aja dulu deh, Bu. Nanti Bapak ceritain."

Kubuka sepatu, kemudian masuk dan berganti pakaian kaos dan celana pendek. Dengan wajahku yang sudah terlihat tidak enak dipandang, istriku sepertinya mengerti dan langsung berusaha untuk membuat nyaman keadaanku. Langsung saja makanan yang dia masak, nasi dengan sayur oseng kangkung plus tempe goreng disandingkan dengan sambal terasi, dihidangkan dan disodorkan padaku yang masih duduk di kursi ruang tamu. Aku sedikit terkejut karena hal itu di luar kebiasaan keluargaku yang membiasakan makan di meja makan.

"Loh, kok tidak di meja makan aja, Bu?" Tanyaku heran.

"Gak apa-apa, Pak. Sekali-kali. Bapak kan capek, takutnya pas jalan menuju meja makan malah pingsan di tengah perjalanan." Jawab istriku dengan bercanda. Istriku jago sekali membuat hatiku tentram.

Setelah berbasa-basi bentar dengan istriku, aku melahap makanan yang dihidangkan dengan penuh nikmat. Meskipun sederhana, menurut kebanyakan orang, nikmatnya bisa mengalahkan masakan hotel bintang lima, bahkan mengalahkan rasa masakan yang ada di kompetisi memasak televisi. Tak sampai lima menit isi piring ludes tak bersisa kemudian ditutup dengan air putih segelas besar. Sungguh nikmat tiada tara.

Tiba-tiba aku merasa suasana hening dan istriku memandangiku dengan tatapan menuntut cerita yang aku janjikan. Aku hembuskan nafas, dan mengambil dompet untuk memulai cerita. Kemudian aku membuka dompet dan memperlihatkannya ke isrtriku. "Ini, Bu." Hanya dua kata itu yang mampu keluar dari mulutku. Dengan bangganya si lembar hijau dan lembar abu-abu menampakkan diri. Tapi aku lebih terkejut karena istriku. Dia hanya tersenyum, sangat manis dan tulus, kemudian berkata, "Bapak tidur siang dulu sana, pasti capek." Kenapa istriku tidak kaget? Entahlah. Wanita memang lebih pandai menyembunyikan isi hatinya dibanding pria. Aku juga ikut tersenyum dan mencium keningnya, kemudian menuju tempat tidur, berharap setelah aku tidur, si hijau dan abu-abu di dompet berubah menjadi berlembar-lembar warna merah.

Selasa, 20 Desember 2022

Sebuah Puisi Untuk Yang Selalu di Hati

 Untuk yang tersayang dan tak akan pernah tergantikan di hati.


Bu, sejak seminggu terakhir ini kondisimu melemah, bahkan untuk sekedar berbicara lewat telepon atau video call tampak sangat berat buatmu, kuputuskan untuk membuat tulisan ini agar Ibu bisa mendengar banyak celotehanku seperti sebelum kondisi Ibu seperti sekarang. Berat sekali rasanya seminggu terakhir ini memikirkan Ibu di rumah terbaring lemah dan aku tidak bisa berada di sana untuk menemani. Bukan aku tak mau pulang ke rumah, Bu. Aku sangat ingin, tapi aku yakin Ibu tahu alasannya.

Bu, hari selasa, tanggal 20 Desember 2022 pukul 22.06 WITA, aku mulai menulis ini. Ibu pasti ingat dan akan selalu ingat kalau besok adalah tanggal saat aku dilahirkan 33 tahun yang lalu. Bincang-bincang kita di telepon tadi setelah waktu sholat Maghrib, Ibu sempat menyinggung ingin memberiku sesuatu dengan mengatakan minta maaf masih tidak bisa memberikan apa-apa karena kondisi sakit. Jujur dalam hati, Bu, aku sedih mendengarnya. Bukan karena aku tahu Ibu sedang tidak kuasa melakukan apapun akhirnya tidak bisa memberikan hadiah di hari spesialku, tapi karena betapa Ibu selalu berusaha membuatku bahagia meski dalam keadaan terlemah sekalipun. Hatiku menangis mengetahui betapa kasih sayang dan kepedulian Ibu memang tiada batas.

Maafkan aku, Bu, yang dulu pernah membantah pepatah terkenal yang pernah Ibu sampaikan kepadaku: Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Dulu aku menyangkalnya dan bilang hal itu belum tentu benar. Tapi sekarang aku menyadari, pepatah tersebut akurat sekali kebenarannya. Dalam kondisi terlemahmu, kau masih sempat bilang ingin memberikanku sesuatu di hari spesialku. Maafkan aku, Bu, yang dulu pernah menjadi sok lebih pintar kemudian membantah apa yang kau ucapkan.

Bu, 33 tahun yang lalu, ingatkah Ibu sangat merasa bahagia akan melahirkan anak pertama yang sangat ditunggu-tunggu? Setidaknya itulah yang aku bayangkan dari cerita-cerita Ibu yang selalu membanggakanku waktu kecil. Aku membayangkan senyum Ibu waktu itu sambil meringis menahan sakit kontraksi di perut. Ayah pasti juga dengan perasaan bahagia bercampur cemas sangat siaga mengurus segala keperluan bersalin Ibu. Ibu pun pasti juga sangat cemas karena memang kelahiranku adalah proses persalinan pertama yang Ibu alami. Dan setelah aku lahir, semua kecemasan seluruhnya luruh digantikan bahagia yang luar biasa. Ah, saat itu pasti Ibu juga menitikkan air mata tanda terharu dan cinta. Ayah pun pasti demikian berada di samping Ibu sambil memelukmu dan memandangiku yang baru saja menyapa dunia dengan tangisan.

Rasa bahagia Ibu dan Ayah waktu itu, selalu aku bayangkan, Bu, setiap tanggal kelahiranku datang. Rasa bahagia itu, kujadikan bahan bakar pembaharuan diriku agar menjadi anak yang Ibu dan Ayah impikan. Dan di ulang tahunku yang ke 33 ini, aku ingin sekali rasa bahagia 33 tahun silam bisa Ibu ingat kembali dan menjadi bahan bakar Ibu untuk selalu semangat sembuh dan pulih. Rasa bahagia Ibu waktu melihatku pertama kali, rasa bahagia Ibu waktu mendengar suaraku pertama kali, rasa bahagia saat bersamaku, anakmu, rasakan bahagia itu, Bu. Sekarang, anak yang engkau lahirkan 33 yang lalu sudah memberikanmu cucu. Aku yakin Ibu pasti bahagia dengan itu. Maka dari itu, Ibu harus selalu semangat, semangat sembuh. Aku masih ingin memberikan banyak kebahagiaan lain untuk Ibu. Kedua anakku, cucu-cucu Ibu yang selalu Ibu belikan sesuatu meski jauh, pasti menanti Uti-nya bisa bercanda lagi dengan mereka.

Bu, maafkan aku yang selama ini kadang membuat kesal bahkan kecewa. Padahal, 33 tahun yang lalu, aku yakin Ibu pasti tidak membayangkan hal itu terjadi karena do'a Ibu selalu baik dan harapan Ibu selalu yang terbaik untukku bukan hanya 33 tahun lalu, setiap tahun bahkan setiap hari bahkan setiap detik sejak aku lahir sampai sekarang. Aku yakin itu. Tidak sepertiku yang kadang sibuk dengan urusan sendiri sampai lupa memberi kabar kepada Ibu.

Tapi lewat tulisan ini, aku ingin memberitahumu sedikit rahasia. Sejak aku dikaruniai buah hati, do'aku untuk Ibu, hampir tidak pernah terputus. Keadaan tersebut membuatku merasakan bagaimana hebatnya lika-liku merawat dan membesarkan anak. Akhirnya aku paham bagaimana perasaan dan usaha Ibu dan Ayah waktu itu. Dan do'aku adalah wujud bersyukur kepada Alloh dan terima kasihku kepada Ibu dan Ayah yang sudah menjadi orang tua yang luar biasa. Dengarkan sekali lagi, Bu. Ibu dan Ayah adalah orang tua yang luar biasa!

Do'aku selalu, Ibu sehat dan bahagia. Do'a terbesarku saat ini adalah Ibu sembuh. Aku mohon Ibu selalu semangat untuk sembuh apapun yang terjadi. Kalau Ibu sedang patah semangat, bayangkan wajahku, wajah menantumu dan cucu-cucumu yang selalu menunggumu untuk kembali ceria.

Bu, di usiaku yang 33 tahun sekarang, aku tidak memerlukan hadiah apapun dari siapapun, karena aku sudah mendapatkan hadiah terbesar yang pernah aku terima, yaitu kesadaran, bahwa pelajaran-pelajaran yang telah kau berikan baik dari perkataan maupun yang engkau lakukan, adalah peganganku, petunjuk jalanku, untuk menjalani hidup yang ternyata sangat melelahkan. Sungguh, kupikir yang akan membantuku adalah buku-buku yang sering kubaca, video-video yang sering aku tonton, atau sumber pengetahuan lainnya. Ternyata aku salah, Bu. 32 tahun aku hidup di dunia ini, selama itu juga aku tidak menyadari bahwa nasihat-nasihat Ibu yang menuntunku pertama menuju arah-arah kebaikan, dan perkataanmu menjadi pegangan yang selalu menguatkan, serta kisah-kisah yang pernah Ibu ceritakan selalu menjadi motivasiku ketika aku benar-benar merasa tak berdaya.

Maka dari itu, aku mohon, Bu, Ibu harus selalu semangat sembuh. Karena aku akan selalu membutuhkan wejangan dari Ibu, membutuhkan do'a dari Ibu, membutuhkan kisah-kisah yang lain yang belum sempat Ibu ceritakan. Aku membutuhkan Ibu.

Ayo semangat, Bu. Ibu pasti bisa sembuh. Ibu tenang saja, aku juga bantu memintakan kesehatan dan kesembuhan Ibu kepada Alloh. "Ya Alloh, hamba mohon pulihkanlah kesehatan Ibu dan angkatlah segala macam penyakit yang ada di Ibu. Hamba mohon, Ya Alloh. Amiiin."

Bu, segini saja ya tulisanku, agar Ibu tidak capek membacanya. Semoga dengan tulisan ini, Ibu bisa mendengarku cerita panjang lebar seperti biasanya di telepon. Semoga suaraku yang dalam bentuk tulisan ini bisa menjadi penyemangat sekaligus do'a untuk Ibu. Sayangku selalu untuk engkau yang melahirkanku 33 tahun lalu dengan penuh rasa cinta dan kasih. Terima kasih Ya Alloh sudah menjadikan wanita bernama Lilik Muslimah sebagai salah satu pintu surga untukku.


Rabu, 14 Desember 2022

Musik Haram

 Istriku adalah penggemar berat sinetron di SCTV yang berjudul Takdir Cinta Yang Kupilih (Entah kenapa semua sinetron harus ada kata "cinta"nya, Cinta Setelah Cinta, Cinta Karena Cinta, Ikatan Cinta, cinta ini, cinta itu, cinta monyet, cinta kambing, deeeh, bikin mual). Dan yang menjadi original soundtrack sinetron tersebut adalah lagu milik Budi Doremi yang berjudul Mesin Waktu. Kira-kira begini lirik bagian reff-nya :


Jika aku bisa, ku akan kembali
Ku akan merubah takdir cinta yang kupilih
Meskipun tak mungkin, walaupun ku mau
Membawa kamu lewat mesin waktu

Saking ngefans-nya sama sinetron tersebut, lagu tersebut pun sangat menempel di kepala istriku. Sering kali dalam keadaan hatinya sedang baik, dia bernyanyi lagu kesukaannya. Yang biasanya menyanyi lagu-lagu Guns N Roses, Westlife, atau lagu-lagu barat lainnya, sekarang malah lagu itu yang dinyanyikan. Dengan "pede"nya, suara lepas, tak peduli suara in tune atau tidak, mulailah bagian reff lagu milik Budi Doremi dilantunkan.

"Andai aku bisaaa, ku akaaaan kembaliiii,"

Aku kaget. Lirikanku sinis. Apaan sih, komentarku dalam hati.

"Kuakaaan merubaaaah, takdir cintaaa yang kupiliiiih."

Nadanya mulai lepas dari pakem Budi Doremi. Lirikanku jadi lebih sinis, mengarah ke menghina.

"Meskipun taaak mungkiiiiin, walaupun kumauuuu auu auuu auuu."

Bukan hanya nadanya lepas, gerakannya pun juga lepas menirukan penyanyi sedang konser dan berpura-pura memegang microphone.

"Membawa kamuuu, lewaaat mesiiiin waktuuuuuuu."

Menyelesaikan reff tersebut membuat wajah istriku puas. Dengan nyengir menyadari kalau suaranya lantang dan nadanya loncat sana-sini, dia bilang kepadaku:

"Say, kalau Budi Doremi denger aku nyanyi, kayanya dia kecewa ya lagunya dinyanyikan sama aku. Hahahaha." Sambil ketawa-ketawa sendiri.

Eh, nyadar ternyata, cemoohku tanpa terucap. Aku menanggapi pernyataannya dengan tersenyum tanggung dan balik berkomentar.

"Itulah kenapa musik itu haram." Satu kalimat yang terlontar dariku membuatnya diam sejenak.

"Kok bisa? Maksudnya?" Tanya istriku belum menangkap apa yang kumaksud.

"Ya karena yang nyanyiin fals, kayak Sayang itu dah."

Awalnya masih bingung dengan apa yang ku katakan. Tapi akhirnya mengerti kalau sedang disindir dan cubitan manja mendarat beruntun di bagian sana-sini tubuhku. Aku juga berusaha menghindar meskipun tidak berhasil sambil tertawa puas sudah menggodanya. Hahahaha.

"Dasar suami tidak mendukung istri." Ucapnya masih dengan mencubitiku dan ekspresi ngambek-ngambek manja. Daripada badanku sakit semua, akhirnya aku kabur dan menuju teras rumah.

Aku mulai menyulut satu batang rokok. Sambil duduk dan menghisap asap rokok penuh nikmat, aku merasakan ringannya hati setelah kami tertawa bersama saling menggoda. Adegan tadi adalah salah satu dari sekian cara kami untuk memesrakan hubungan. Sering sekali kami saling mengolok-ngolok kelemahan masing-masing, tapi sambil tertawa dan bercanda.

Di tengah lamunan, dari teras, aku mendengar lagu itu diputar lagi lewat mulut istriku.

"Andai aku bisaaaa," lanjutnya bernyanyi lagi dengan makin lantang. Astaga, kukira sudah sadar, ternyata masih khilaf. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala dan tersenyum lebar mengingat kelucuan yang dia hadirkan selalu membuatku semakin cinta kepadanya. Dialah takdir cinta yang kupilih. Asek asek jos!

Minggu, 04 Desember 2022

Catatan Harian Si Anjing

 Aku bingung kenapa majikanku tiba-tiba mengajakku pindah ke tempat baru. Karena aku penurut, maka aku menuruti saja apa yang mereka kehendaki. Kalau pindah ya ikut pindah. Kalau tinggal ya ikut tinggal.


Majikanku hanya tinggal bersama anak perempuannya. Entah kenapa Nyonya tidak terlihat sama sekali sudah lumayan lama. Mungkin sedang bekerja entah dimana. Yang aku tahu, mereka, Tuan dan anak perempuannya sangat bahagia meskipun sepertinya keadaannya susah.


Aku bisa menyimpulkan susah karena sejak Nyonya tidak terlihat, kualitas makananku menurun, bisa dibilang seadanya. Dulu, makananku adalah makanan bermerk yang mungkin harganya sangat mahal. Setiap hari makan itu rasanya sangat nikmat. Giziku juga terpenuhi dan gerakku menjadi sangat ringan dan lincah. Saat Tuan mulai menuangkan makanan di tempat makanku, jangankan rasanya, bunyi makanan saat dituangkan pun juga terdengar menggugah selera. Momen itulah yang selalu membuatku semangat. Tapi itu hanya masa lalu yang indah. Sekarang? Aku hanya makan seadaanya. Mungkin itu adalah makanan sisa Tuan dan anak perempuannya. Kadang aku hanya mendapat tulang ayam dengan nasi. Kadang juga kepala ikan tanpa nasi. Kadang roti. Pokoknya, menu makananku selalu berubah dan kurang menggugah seleraku. Mau bagaimana lagi? Aku hanya piaraan yang menunggu uluran tangan Tuanku.

Tapi aku tetap merasakan kasih sayang tulus dari Tuanku. Meskipun makan seadanya, dia melarangku mencari makan di tempat sampah. Mungkin biar aku tidak sakit. Dia juga mengajakku ke tempat tinggalnya yang baru. Meskipun cuma kamar kos yang kecil, aku turut diajaknya.

Tak lama kemudian aku mengerti mengapa Tuanku harus pindah. Sejak Nyonya tidak terlihat, Tuan mengalami masalah dengan keadaan ekonomi. Yang Tuan makan setiap hari tidak pernah berbau daging, atau telur, atau yang berbau amis. Seingatku, baunya seperti tempe, tahu dan kuah yang tidak berbau amis. Sesekali memang berbau amis telur, tapi itu dimakan oleh anak perempuannya. Sampai akhirnya, Tuan mendapat pekerjaan baru sebagai penjual makanan berbahan telur. Untuk menghemat biaya, mungkin akhirnya Tuan memutuskan untuk pindah ke tempat yang lebih dekat dengan lokasi pekerjaannya, dan tentunya lebih murah.

Aku senang sekali dengan pekerjaan Tuan yang baru karena selalu berbau amis telur. Tapi aku tidak berani meminta karena tidak ingin merepotkan Tuan yang sedang sibuk melayani pembeli. Aku hanya bisa menunggu sambil tiduran di dekat gerobak untuk menjual jajanan telur tersebut. Aku juga tidak mau dekat-dekat dengan gerobak Tuan, takut pembeli malah tidak berani mendekat ke tempat berjualan Tuan. Tuan memang tidak bilang itu, tapi sorot matanya sudah cukup untuk memberitahuku. Karena yang aku lakukan itu juga lah, kadang Tuan berbaik hati memberi sedikit jajanan telurnya. Ah, senangnya. Rasanya lama sekali aku tidak makan telur sebanyak itu.

Tapi di tempat baru, selalu ada tantangan baru. Di tempat baruku, mulai awal menjejakkan kaki di sana, aku sudah mencium bau kencing anjing lain. Itu pertanda daerah tersebut sudah dikuasai. Benar saja dugaanku, baru awal masuk daerah tersebut, setelah mencium baunya, aku disambut dengan gonggongan anjing yang jumlahnya lebih dari satu. Ternyata mereka dikurung oleh majikannya. Meskipun tubuh mereka lebih kecil, suara mereka sangat berisik dan nyaring. "Hey siapa kau? Pergi dari sini!" Teriak salah satu dari mereka. "Hey jelek. Berani banget kamu masuk sini." Gonggong yang lain yang memang bulunya terawat, tidak sepertiku yang sudah penuh luka sana sini. Ingin hati melawan cercaan mereka, tapi lagi-lagi sorot mata Tuan berbicara. Dia seperti bilang, "Tidak usah dilawan. Kamu ada di daerah anjing lain. Jaga sikap. Ada Tuan di sini. Kamu aman." Aku ciut dengan sorot matanya, tapi aku percaya pada Tuanku.

Pernah suatu hari, aku mau berjalan-jalan karena tiba-tiba bosan menunggu Tuan berjualan. Tuan juga sedang menunggu pembeli yang cukup lama tidak datang. Karena tidak ada yang membeli, jadinya tidak bau telur. Makanya aku bosan. Aku memutuskan untuk mengitari daerah sekitar tempat tinggal baruku. Baru saja berjalan beberapa langkah, semua anjing pemilik rumah kos menghadang. Mereka berjumlah sekitar enam. Meskipun kaget, aku tetap tenang. Mereka mulai bersuara lagi. Hanya berisik yang aku dengar, karena semuanya mengonggong bersamaan. Apalagi pemimpin mereka, aku panggil si Jabrik karena bulunya runcing naik ke atas, suaranya sangat lantang dan melengking. Menghadapi situasi seperti itu, aku bingung harus melawan mengonggong, atau lewat saja tidak mempedulikan.

Akhirnya aku memutuskan untuk melewati saja mereka tak acuh. Aku berjalan beberapa langkah, tapi mereka malah merangsek maju dengan gonggongan lebih berisik. Tanpa sadar aku juga mengerang menantang. Aku tahu gonggonganku lebih keras dan tubuhku lebih besar, jadi aku tidak takut.

Namun eranganku lenyap seketika saat mencium bau badan Tuanku. Aku langsung menoleh dan betul dia sudah di belakangku. Ternyata Tuan langsung mengelus kepalaku dan menatap para anjing yang menghadang. Entah kenapa mereka seperti tidak takut, tetap menggonggong meski tidak melanjutkan langkahnya untuk menghampiri. Sepertinya gonggongan mereka memancing majikannya untuk keluar melihat situasi. Melihat mereka terus membuat bising, majikannya kesal dan menyuruh masuk. Nyali mereka langsung ciut dan menuruti perintah majikannya meski masih mengonggong sekali dua kali. Pintu langsung dikunci dan mereka terkurung kembali.

Jalanku sudah aman. Sebelum kembali ke tempat berjualan, Tuanku mengelus dan menatapku sebentar. Matanya seperti bilang, "Aman. Kamu lanjut ya." Aku jawab dengan gonggongan pelan. Aku mulai menjelajahi daerah tempat tinggal Tuan yang baru. Bentuknya adalah komplek kos dengan kamar-kamar berjumlah lebih dari sepuluh. Ternyata tidak semua wilayah komplek kos dikuasai oleh anjing-anjing pemilik kos. Aku tidak mencium bau mereka di sekitar pojokan komplek. Sepertinya aku aman di sana. Beruntungnya, di salah satu pojokan ada keran air yang airnya selalu menetes, entah bocor atau bagaimana. Aku bisa minum di sana tanpa menunggu diberi oleh Tuan. Tapi aku juga mencium banyak bau manusia. Aku harus menunggu sampai sepi untuk bisa ke sana, takut kalau mereka mengusirku. Siapa tahu mereka lebih galak dari anjing-anjing penjaga yang resek dan berisik.

Dugaanku sedikit tepat. Pernah suatu malam setelah Tuan selesai berjualan, aku rebahan di depan kamarnya. Aku terkejut para anjing penjaga datang ke komplek kos. Pemilik kos melepas mereka saat tengah malam. Tahukah apa yang mereka lakukan? Mereka buang air besar sembarangan. Astaga, dasar para anjing tak beretika. Aku juga anjing, tapi kelakuanku tidak seperti itu. Aku masih tahu tempat untuk melakukan ritual tersebut. Dan ada salah satu penghuni kos yang "ngeh" dengan kehadiran mereka. Langsung saja dia keluar dan berteriak mengusir. "Heh, heh, pergi, pergi, hush, hush." Suaranya yang lantang memecah keheningan malam. Padahal, sepertinya penghuni kos yang lain sudah terlelap. Aku heran si pengusir tersebut bisa berteriak lantang saat semua sudah mulai beristirahat. Para anjing penjaga akhirnya kaget dan kabur tunggang-langgang. Pantas saja bau mereka tidak tercium di sekitar situ, ternyata ada yang lebih galak. Kalau aku mau kesana untuk minum, sepertinya gerak-gerikku harus sesenyap mungkin dalam keadaan sesepi mungkin. Aku takut nasibku seperti para anjing penjaga, apalagi dengan tampilanku yang penuh luka.

Tapi tidak semua penghuni kos seperti si pengusir. Pernah suatu ketika aku ingin menuju keran air tempat biasa aku minum. Mendekati lokasi, aku terkejut ada salah satu penghuni kos sedang duduk di teras sambil merokok. Mata kami sempat saling beradu pandang. Aku takut diteriaki dan diusir tapi aku lanjutkan saja langkahku pelan. Ternyata, dia diam saja membiarkanku. Nasibku beruntung sekali bertemu dengannya, bukan si pengusir yang pernah aku lihat. Aku jadi membuat kesimpulan, para anjing penjaga yang berisik tidak disukai karena mereka tidak berkelakuan baik. Buang air sembarangan membuat mereka diusir.

Aku semakin membulatkan tekad untuk melindungi daerah komplek kos, tidak hanya kamar milik tuanku. Saat tengah malam, aku tidak pernah tidur untuk berjaga siapa tahu ada orang jahat menyelinap. Untuk sementara selama aku tinggal di sana, belum ada kejadian kejahatan yang terjadi. Tapi aku selalu berjaga saat malam hari, menjaga keamanan daerah tempat tinggalku, berharap para penghuni kos yang lain menyukaiku.

Harapanku ternyata belum terwujud. Pernah di suatu siang, aku sedang merebahkan badan menemani Tuan berjualan dari kejauhan. Tiba-tiba datang salah satu penghuni kos yang pernah aku temui dan membiarkanku lewat menuju keran air. Kali ini dia berjalan bersama anak laki-lakinya yang masih kecil. Tampak si anak membawa bungkusan makanan berwarna-warni yang sangat menarik perhatianku. Karena kupikir mereka baik dan tidak keberatan dengan kehadiranku, aku mengikuti mereka. Tidak berharap menerima makanan dari mereka, aku hanya tertarik pada bungkus warna-warni yang si anak pegang. Aku ingin mengajak bermain, jadinya aku mengikuti. Tak kusangka si penghuni kos mengusirku. "Hush hush!" Ucapnya pelan. Tapi si anak tertawa dan aku sangka mereka mengajak bercanda. Jadinya aku ikuti mereka lagi dengan lebih sumringah karena selama ini aku tidak punya teman untuk bermain.

Di luar dugaanku, si penghuni kos yang kupikir mau bermain denganku mengusir dengan suara lebih lantang. Mataku terbelalak sedih. Ternyata mereka tidak ingin bermain denganku. Mereka masih belum menerimaku. Meskipun si anak tetap tertawa melihatku, raut muka si bapak seperti marah. Kemudian aku mundur dan kembali ke Tuanku.

Susah sekali menjadi anjing. Apalagi anjing berpenampilan buruk penuh bekas luka sepertiku.

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lema...