Sungguh kita adalah orang yang sangat beruntung ketika diingatkan oleh Tuhan saat kita sedang lengah. Lengah tentang apa? Tentang kita yang sudah merasa bersih ketika kita merasa kita tidak pernah berbuat hal yang buruk. Karena hal itu, kita sudah merasa sangat bersih dan tidak punya dosa. Apalagi ditambah ritual ibadah wajib kita yang rutin, tidak pernah kurang. Tapi sesungguhnya, manusia biasa seperti kita, tidak akan pernah benar-benar bersih, selalu ada kotornya. Gawatnya, saat perasaan "merasa bersih" itu semakin menguat, seringkali kita "merasa benar" dan memandang remeh orang-orang di sekitar yang tabiatnya "terlihat" tidak sebaik kita. Saat itulah kita lengah. Dan sekali lagi, kita adalah orang-orang yang beruntung ketika diingatkan olehNya.
Cerita ini sangat ingin aku tulis. Entah kenapa kejadian tadi malam sangat membekas dan menempel di pikiran dan perasaan. Lengah. Itulah kata yang tepat tentang apa yang terjadi padaku akhir-akhir ini.
Semalam, seperti biasa, aku menikmati kesendirian di teras rumah sambil menyulut batang demi batang rokok yang aku punya. Momen itulah yang bisa aku nikmati seusai istri dan anak-anakku terlelap. Sangat sering aku lakukan sebagai renungan tentang apapun yang terjadi dalam kehidupanku. Kepulan asap yang aku hembus begitu menenangkan otak. Dibarengi dengan tontonan video Youtube yang sengaja aku cari untuk membuatku terhibur.
Aku seperti berbicara pada diri sendiri saat momen tersebut. Melihat tontonan Youtube yang menampilkan macam-macam karakter manusia, menimbulkan inspirasi yang sering menjawab pertanyaan-pertanyaan kehidupan yang selalu muncul di kepala. Tanpa disadari, tontonan-tontonan "penuh daging" yang selalu aku lihat memunculkan perasaan-perasaan bahwa aku ternyata berada pada jalan yang benar, ternyata aku orang baik, ternyata aku orang yang diberkati dan beruntung, dan masih banyak perasaan yang membuatku sekaan menjadi orang yang sangat beruntung mendapatkan pemikiran yang selalu positif untuk menjadi orang baik. Ternyata sangat halus sekali sesuatu itu muncul. Itu adalah perasaan tinggi hati. Sombong.
Ternyata aku tidak sadar aku adalah orang yang sombong. Bukan tentang harta, tapi tentang segala kemudahan yang aku dapatkan. Penghasilan stabil, selalu bisa beli ini itu, dan selalu merasa bahagia setelah itu adalah beberapa dari segala kemudahan yang diberikan olehNya. Mungkin karena selama ini aku selalu berbuat baik kepada semua orang sekalipun orang itu membenci. Mempunyai pandangan seperti itu sepertinya menjebakku. Aku selalu melihat kehidupan seperti sebuah pertunjukan, setiap elemen punya perannya masing-masing. Orang-orang yang tidak seberuntung aku, selalu aku pandang "ya memang jalannya sudah seperti itu." Ternyata sudut pandang seperti itu menjebakku.
Ketika bertemu dengan karakter orang yang tidak aku suka, aku akan berusaha diam, tidak berusaha membahasnya lewat lisan atau apapun. Hanya pikiran yang kadang dibujuk setan dalam diri yang berusaha untuk memikirkan bahwa orang itu lebih buruk dari aku. Aku selalu berusaha tidak membahasnya sekalipun kepada istriku. Memang manusia itu lemah, aku juga bisa lengah karena bujukan setan. Saat lengah itulah aku merasa aku benar. Saat bertemu dengan orang yang karakternya tidak aku sukai, dan ditimpa kesusahan, aku akan merasa "ya itu karena selama ini tabiatnya seperti itu, Tuhan memberikan balasannya."
Ada salah satu tetanggaku, yang sedikit tempramental ketika menghadapi anaknya yang sedang membuat ulah. Suara jeritan si anak sangat terdengar dari tempat tinggalku. Sampai suara barang-barang dibanting, dipukul, disertai teriakan si anak juga pernah aku dengar. Aku pikir, anak belum lima tahun tidak tahu mana salah dan benar. Tidak perlu diperlakukan sangat kasar apalagi sampai bermain fisik. Saat itu aku merasa benar apa yang aku lakukan kepada anakku. Aku tidak pernah memperlakukan anakku seperti mereka, apalagi saat anak berulah. Aku merasa aku sangat beruntung punya pengetahuan bagaimana memperlakukan anak dengan baik. Dan saat itulah ternyata rasa sombong yang sangat tipis menyelip di dalam hati. Saat keluarga mereka ditimpa kesusahan, si bapak akhirnya kehilangan pekerjaan dan harus bekerja sebagai ojol yang waktunya benar-benar panjang dari pagi sampai tengah malam, aku hanya bisa menggumun dalam hati, "ya makanya jangan seperti itu ke anakmu, jadi Tuhan ngasih yang susah."
Yang barusan hanyalah satu contoh bagaimana kesombongan itu muncul. Meskipun itu halus, akhirnya terasa sangat mengganjal. Tuhan masih sangat berbaik hati memberikan kesadaran kalau aku salah, seperti yang terjadi tadi malam.
***
Sudah lama aku "tidak suka" dengan salah satu tetanggaku ini. Awal tinggal di tempatku sekarang, aku berusaha menyapa dan mengakrabkan diri kepada tetangga baru, termasuk beliau. Beliau tuna netra dan sepuh, tapi sudah kebiasaanku tidak pernah membeda-bedakan orang dari apapun keadaannya. Bercerita ya bercerita saja. Ngobrol ya ngobrol saja selama itu tidak mengarah kepada hal-hal yang tidak nyaman aku dengar. Singkat cerita, aku sedikit akrab dengan beliau karena aku dan beliau suka ngobrol.
Terbilang sering kami ngobrol ketika waktu senggang. Aku ke tempat beliau atau beliau aku undang ke tempatku. Saling ngobrol dan makin merasa akrab adalah yang aku rasakan. Selang beberapa waktu, karena aku disibukkan dengan berbagai urusan pekerjaan dan keluarga, aku jadi jarang bertamu ke tempat beliau. Jadinya, beliaulah yang sering datang ketika mendengarku sedang telepon atau menonton video Youtube di depan teras. Aku tidak bermasalah dengan hal itu. Bahkan aku senang didatangi untuk diajak berbincang. Dari awalnya ngobrol tentang kehidupan keluarganya di kampung, sampai aktivitas pekerjaan sebagai tukang pijat urat, bahkan sampai keluhan yang beliau punya tentang kehidupannya, pernah aku dengar. Aku masih tidak bermasalah dengan hal tersebut. Sampai akhirnya aku tahu bagaimana karakter aslinya yang aku "tidak suka".
Beliau terbilang sering datang ke tempatku ketika mendengar aku berada di depan teras. Dan selalu aku ajak masuk untuk ngobrol. Dari tema obrolan yang aku sebutkan tadi, akhirnya mengarah ke tema obrolan "ngomongin orang". Jujur, aku selalu menghindar dari lingkaran obrolan seperti itu, tidak nyaman didengar. Tapi mau bagaimana lagi, beliau sudah di tempatku dan aku cuma bisa mendengarkan. Karena beliau seorang yang sepuh, aku jadi enggan untuk membantah. Membicarakan tetangga-tetangga lain tentang keburukannya, bahkan kejelekan anggota keluarganya, adalah hal yang beliau lakukan saat itu. Dalam hati aku segera ingin menyudahi pembicaraan macam itu tapi seakan sulit sekali mencari jeda untuk menghentikan. Jadinya aku dengarkan ceritanya sampai habis. Aku tidak mau berburuk sangka karena hal tersebut. Bodo amat mikirin karakter orang lain, yang penting aku tidak seperti itu.
Aku juga sering ngobrol dengan tetangga yang lain. Di salah satu obrolan, mereka menceritakan kejelekan si bapak tukang pijat. Ah, aku tidak peduli, aku tidak mau memikirkan kejelekan orang lain. Tapi obrolan beliau terakhir membuatku menyangkut pautkan dengan cerita tetangga yang lain. Apa ini karakter asli beliau? Menyebalkan? Kenapa mereka "tidak terlalu suka" dengan beliau? Ketika pertanyaan macam itu muncul, aku selalu berusaha untuk menghilangkannya. Aku tidak mau membebani otakku dengan hal yang tidak berguna.
Sampai akhirnya, kejadian yang membuatku kehilangan "respect" kepada beliau terjadi. Suatu hari, aku sedang senggang dan ingin di dalam saja. Sengaja pintu ditutup agar tidak ada yang mengganggu. Aku sedang bersama istri dan anak-anakku. Di tengah obrolan dengan istriku, tiba-tiba ada yang membuka pintu. Dan muncullah beliau dengan memanggil namaku. Serius aku kaget. Kok tiba-tiba membuka pintu tanpa permisi? Kemudian aku tanya ada apa. Jawab beliau, hanya ingin ngobrol. Seketika hormatku kepada beliau sebagai orang tua runtuh. Beliau memang berbeda, tuna netra, tapi apa bisa seenaknya masuk ke rumah orang tanpa permisi? Awalnya aku memaklumi beliau sering datang ke tempatku. Meskipun saat sangat lelah sekalipun, aku akan mempersilahkan beliau masuk ketika datang. Tapi yang barusan terjadi? Benar-benar tidak pernah aku bayangkan. Bahkan saudaraku sendiri tidak pernah melakukan itu. Mungkin beliau melakukan itu karena sudah merasa sangat akrab denganku.
Sejak kejadian itu, aku berusaha menghindar untuk bertemu dengan beliau. Ketika beliau datang, aku bilang mau keluar padahal kenyataannya tidak. Bahkan beliau melakukan hal yang sama lagi, membuka pintu dan kemudian masuk dan memanggilku. Aku sengaja tidak menjawab agar disangka sedang tidur. Kemudian beliau kembali pulang. Dan sejak kejadian itu, kami tidak pernah mengobrol lagi, hanya bertegur sapa sekedarnya, karena memang aku yang selalu menghindar. Dari situ aku seperti menjadi "jahat".
Awal aku kenal dengan beliau, aku sangat iba karena ketidakbisaannya melihat. Sering aku menawarkan bantuan ketika beliau terlihat kesusahan melakukan sesuatu sendiri. Beliau hidup sendiri sebagai tuna netra. Tapi sejak kejadian yang membuatku "ilfeel", aku jadi seperti membiarkan beliau melakukan segalanya sendiri. Bahkan pada saat tampak membutuhkan bantuan, aku hanya diam berusaha tidak bersuara dan menimbulkan suara. Kadang aku berpikir kenapa aku menjadi jahat? Tapi aku terus memperhatikan, para tetangga lain juga melakukan hal yang sama sejak awal aku datang. Apa ini yang mereka rasakan? Tidak "respect" kepada beliau. Saat itu, berkelitku hanya aku tidak mau berteman lebih jauh dengan orang yang bisa memberikan pengaruh buruk. Apa salahnya?
"Tidak respect" itu berlangsung lama. Sampai akhirnya aku enggan sekali untuk bertegur sapa. Aku memilih untuk diam ketika berpapasan karena beliau juga tidak akan tahu siapa yang lewat. Itu karena aku selalu menghindar. Ditambah dengan kebiasaan-kebiasaan beliau yang akhirnya aku tahu dan menurutku sangat mengganggu tetangga yang lain, termasuk aku. Bahkan saat ibu dan istri beliau meninggal, aku tidak merasa harus menemui beliau untuk membantunya memberikan semangat, sekedar mengurangi beban perasaannya. Merasa jahat sering kali muncul tapi di sisi lain aku tidak ingin hati dan pikiranku kotor karena ucapan dan perbuatan beliau. Aku selalu ingin menjaga hatiku bersih dengan menghindari hal-hal yang berpengaruh buruk.
Karena itu, aku merasa mempunyai posisi di atas dengan akhlak yang aku punya. Aku hampir tidak pernah berlaku menyebalkan kepada tetanggaku. Aku merasa lebih benar. Aku merasa lebih "suci". Aku merasa lebih-lebih yang lain daripada beliau, yang akhirnya berpikir akhlakku yang "benar" itulah yang membuatku mendapat segala kemudahan dariNya. Ternyata aku salah. Tuhan masih berbaik hati mengingatkanku agar tidak terlalu tinggi lagi dan tidak jatuh lebih sakit.
Semalam, seperti biasa aku duduk di teras sendiri sambil merokok dan menonton video youtube. Aku sekilas melihat beliau sudah masuk beristirahat. Di terasnya terdapat baju bekas yang difungsikan sebagai keset. Semua terlihat seperti biasa. Aku tidak terlalu menghiraukan lagi beliau dan apa yang ada di sekitarnya, termasuk tempat tinggalnya. Tiba-tiba kucing datang ke teras beliau dan berhenti di keset. Biasanya, kucing ketika berada di atas alas kain, langsung merebahkan diri. Tapi si kucing tetap dalam posisi duduk. Aku hanya memperhatikan, sedikit menduga apa yang akan terjadi. Ternyata dugaanku benar, si kucing mau buang air besar di situ. Aku hanya berbicara di dalam hati, "loh loh, kok mau poop disitu?". Saat si kucing mengambil ancang-ancang untuk buang air besar, terdengar suara dari dalam tempat tinggal si bapak tukang pijat. Si kucing kaget dan mengurungkan ancang-ancangnya.
Setelah keadaan sunyi kembali, si kucing siap-siap melakukan aksinya kembali. Si kucing ternyata masih ingin buang air besar di situ. Aku masih mempunyai rasa iba terhadap beliau meskipun tingkah lakunya sedikit menyebalkan, karena memang beliau punya keterbatasan. Terlintas ingin aku usir si kucing agar tidak buang air di keset agar beliau tidak kena "prank" ketika menginjak keset ternyata malah menginjak tai kucing. Tiba-tiba seperti ada yang membujuk dalam pikiranku, "halah ngapain diusir? Biar aja tai kucing disitu. Dia pantas kena tai itu. Toh selama ini dia menyebalkan." Aku bingung apakah aku mau membantu atau tidak. Dalam pikiranku seperti ada yang berdebat. Perdebatan itu semakin sengit sampai-sampai aku hanya bisa termenung melihat si kucing melakukan aksi tidak sopannya. Beberapa buah "poop" yang tidak aku hitung berhasil mendarat di keset. Dengan santainya dia menutupinya dengan bagian keset yang lain kemudian kabur.
Setelah itu terjadi, perdebatan yang tadi sangat hebat lenyap seketika dan menyisakan ampas di hati. Aku merasa sangat bersalah tidak mengusir si kucing. Rasa bersalahku semakin menjadi. Aku merasa bersalah kepada si bapak tukang pijat. Kalau aku mengusir si kucing, harusnya beliau tidak kena "prank" tai kucing. Padahal hanya sekedar bersuara "hush hush" si kucing pasti kabur. Ternyata aku selama ini merasa benar dan lebih dari beliau sehingga menghindarinya menjadi alasan agar aku tidak terpengaruh hal buruk. Tanpa sadar yang aku lakukan menimbulkan dendam halus dalam diri. Padahal selama ini aku berusaha berbuat baik kepada yang lain, ternyata berbuat baik yang pilih-pilih. Perbuatan baikku ternyata membuatku merasa paling baik dari orang yang menurutku tidak lebih baik. Inspirasi-inspirasi kehidupan yang aku baca dan tonton seperti tergambar kembali dan membandingkan apa yang baru saja aku perbuat. Percuma nonton yang "penuh daging" tapi ternyata sama saja kelakuannya.
Setelah itu, aku teringat ucapan yang aku dapat dari video instagram sore harinya pada hari itu. Kurang lebih seperti ini, "jika setan tidak bisa membuatmu jahat, setan akan membuat merasa paling baik dan benar dan lebih dari yang lain-lain." Sungguh ternyata Tuhan telah mengingatkanku di awal tapi tidak kusadari. Sungguh Tuhan telah mengingatkanku tidak cuma dengan ilmu di buku atau video, tapi dengan kehidupan nyata. Bahkan seekor kucing yang buang air sembarangan bisa mengingatkan kalau aku bukan manusia yang baik-baik amat.
Apapun yang kamu lihat dan temui, bisa jadi itu pengingat agar kamu waspada dan tidak lengah. Bersyukurlah orang-orang yang peka dengan hal-hal tersebut.