Mengaji dengan Pak Ustadz Gofar memang selalu asik. Tidak hanya diajarkan membaca kitab suci, tapi juga dengan cerita-cerita tentang budi pekerti para pejuang agama yang terdahulu. Mulai mengaji adalah satu jam sebelum adzan maghrib. Setengah jam dipakai untuk membaca Al-Qur'an, sisanya dipakai untuk bercerita agar para muridnya mengaji juga tahu bagaimana peristiwa pada jaman dahulu dan harapan beliau murid-muridnya bisa mengambil pelajaran dari setiap cerita. Gaya berceritanya pun juga sangat menyenangkan. Itulah kenapa anak-anak kecil yang mengaji di masjid hampir tidak pernah absen. Salah satunya adalah Binur, yang bisa dibilang tidak pernah tidak hadir.
Melihat Binur termenung sambil menunggu yang lain datang, Pak Ustadz Gofar sedang merencanakan sesuatu untuknya. Beliau menghampiri muridnya yang duduk sendirian itu dan duduk di sebelahnya.
"Pak Ustadz?" Tanya Binur kaget.
"Kaget ya, Nur?" Jawab Pak Ustadz Gofar sambil tersenyum.
Binur hanya tersenyum lebar salah tingkah. Kemudian memandang kedepan lagi. Hanya ada beberapa pepohonan besar yang menjadi hiasan di depan masjid.
"Binur, kamu tahu tidak pohon-pohon besar di depan masjid ini siapa yang menanam?" Tanya Pak Ustadz tiba-tiba.
Ekspresi Binur menandakan dia kaget lagi, tapi tidak sekaget yang pertama. Dalam hati dia heran, tumben sekali Pak Ustadz menanyakan hal aneh macam ini.
"Hmm, tidak tahu Pak Ustadz. Yang jelas pasti manusia." Jawab Binur sekena pikirannya.
"Yakin yang menanam itu manusia?" Tanya Pak Ustadz lagi dan lebih membuat terkejut dengan pertanyaan yang tidak terduga oleh Binur.
"Lah, kalau bukan manusia siapa lagi Pak Ustadz? Jin? Setan?" Dengan perasaan penasaran Binur mulai bertanya.
"Bisa jadi jin, bisa jadi setan, bisa jadi raksasa, bisa jadi apapun." Jawab Pak Ustadz sambil tertawa kecil.
Jawaban Pak Ustadz membuat Binur heran ditunjukkan dengan ekspresinya yang mengernyitkan dahi. Tumben Pak Ustadz memberikan jawaban seperti ini, batin Binur. Tapi, akhirnya terlintas cerita yang pernah diobrolkan oleh Pak Karni dan Pak Sugeng, kalau pohon-pohon di hutan penyihir sebagian adalah orang-orang usil yang ingin menebang pohon di sana. Terbersit keinginan untuk bertanya tentang hutan penyihir pada Pak Ustadz Gofar. Tapi hatinya menolak, belum saatnya, atau tidak perlu, jangan-jangan ketika ditanyakan Pak Ustadz hanya tersenyum dan Binur tidak mendapatkan jawaban apa-apa. Tapi keinginannya untuk bertanya semakin besar. Akhirnya dia mengajukan pertanyaan yang sedikit menyinggung tentang hutan penyihir.
"Atau mungkin, pohon-pohon ini asalnya dari orang-orang jahat yang mau merusak desa ya, Pak Ustadz?"
Tawa Pak Ustadz Gofar sedikit meledak. Binur pun jadi tersenyum salah tingkah lagi.
"Binur.. Binur.. Kamu ini ada-ada saja. Kalau pohon ini dari orang-orang yang dikutuk jadi pohon, sudah lama orang-orang lihat penampakan di depan masjid ini." Jawab Pak Ustadz sambil berusaha meredakan tawa.
Masuk akal juga jawaban Pak Ustadz, pikir Binur. Dari kejauhan sudah terlihat gerombolan teman-temannya yang akan mengaji sedang berjalan ceria sambil bersenda gurau. Pak Ustadz pun beranjak dari tempatnya duduk dan Binur pun mengikuti. Ketika dia berdiri, Pak Ustadz dari kejauhan seperti menunggu dirinya menatap beliau. Memang didapatinya Pak Ustadz sedang tersenyum kepadanya. Binur heran, kenapa Pak Ustadz tersenyum kepadanya. Dan yang lebih membuatnya heran, apa yang diucapkan Pak Ustadz ketika dia menatap beliau. Memang lirih tapi Binur bisa mendengarnya.
"Tapi bisa saja itu benar, Nur."
Binur semakin bingung mencerna perkataan Pak Ustadz barusan. Apanya yang benar? Pertanyaan terakhirnya tadi? Kenapa Pak Ustadz tiba-tiba mengiyakan? Dalam hati Binur timbul pertanyaan-pertanyaan yang sedang bergejolak. Ingin rasanya menghampiri Pak Ustadz tapi teman-temannya sudah mulai naik ke teras masjid dan Pak Ustadz sudah berpaling dan duduk di tempatnya untuk mengajar. Tanda kegiatan mengaji sudah akan dimulai. Binur mengurungkan niatnya dan mulai duduk juga dengan pikiran yang masih melayang-layang dengan pertanyaan. Teman-temannya pun sudah mulai masuk dan duduk. Suasana masih ramai dengan yang berbincang-bincang menunggu semuanya duduk. Pak Ustadz dengan wajah tenangnya seperti biasanya. Apa Pak Ustadz tahu tentang hutan penyihir? Tiba-tiba terbersit pertanyaan itu. Tapi buru-buru dia menghapuskan itu dari pikirannya. Bisa dipikirkan nanti, sekarang mengaji, ucap Binur dalam hati.
Meskipun sudah meneguhkan hati untuk fokus mengaji, tetap saja pikirannya melayang membayangkan apakah Pak Ustadz tahu tentang hutan penyihir atau tidak. Seperti ada setan halus yang bilang ke Binur, "Pak Ustadz pasti tahu, ayo tanya Binur, sekarang saja, mumpung banyak teman-temanmu." Terus saja ajakan itu berulang-ulang sampai fokus mengajinya buyar. Pengucapan huruf-huruf dan panjang pendeknya banyak yang salah dan meleset. Binur mengeluh dalam hati, kenapa jadi susah sekali membaca Al-Qur'an ini. Padahal biasanya lancar-lancar saja.
"Ayo fokus fokus fokus, konsentrasi!" Ucapnya lirih memotivasi diri.
Tapi tetap saja, mengaji saat ini rasanya susah sekali. Akhirnya Binur tersadar, pertanyaan dan penasaran dalam kepalanya itu yang menghalangi konsentrasi.
Binur menghela nafas saat tiba gilirannya menghadap Pak Ustadz Gofar untuk membacakan bacaan yang tadi sudah dibaca duluan untuk dipelajari. Tradisi mengaji membaca Al-Qur'an pada umumnya seperti itu, disuruh untuk membaca sendiri-sendiri kemudian menghadap kepada guru ngaji agar guru bisa tahu yang mana yang belum lancar dan yang mana yang salah pengucapannya dan lain-lain. Saat berada di depan Pak Ustadz, hal tidak biasa terjadi. Tumben sekali Binur merasa deg-degan saat bertemu Pak Ustadz. Tiba-tiba grogi. Biasanya santai saja Binur ketika bertemu, saling tatap muka adu mata pun tidak masalah. Sekarang, seperti tiba-tiba leher tidak bisa digerakkan tegak, maunya menunduk, tidak berani menatap Pak Ustadz.
"Binur, kamu kenapa?" Tanya Pak Ustadz Gofar.
"Emm tidak apa-apa emmm anu emm tidak ada apa-apa, Pak Ustadz." Binur mendadak gagap bicara.
Pak Ustadz sudah mengerti yang terjadi. Binur sangat penasaran dengan pertanyaan tentang kebenaran hutan penyihir. Pertanyaan itu semakin menghantui sejak Pak Ustadz memberikan sedikit isyarat kepada Binur. Benar juga kalau bacaannya beberapa kali kesleo. Pak Ustadz tersenyum tanpa diketahui Binur. Beliau sudah merencanakan sesuatu untuk Binur. Dan yang pertama adalah memberikan isyarat yang lebih lengkap untuk muridnya yang sedang penasaran tentang hutan penyihir.
Setengah jam sudah berlalu sejak awal dimulai tadi. Semua murid sudah menghadap Pak Ustadz. Semuanya sedang ceria dan sumringah karena memang waktu setelah membaca Al-Qur'an adalah yang paling dinanti-nanti semua anak. Tapi tidak dengan Binur yang sedang sedikit melamun dan tidak ceria seperti yang lain. Pak Ustadz juga memperhatikan. Tapi beliau selalu tersenyum melihat Binur yang berpikir keras. Salah satu keinginannya mungkin akan terpenuhi lewat Binur, tapi perjalanannya masih panjang.
"Assalamualaikum warohmatullohi wabarokaatuh." Ucap Pak Ustadz di tengah keceriaan para muridnya yang sedang saling ngobrol. Sontak semua terkejut langsung menghentikan obrolan dan menjawab salam. Tapi semua memasang wajah cerah karena momen yang ditunggu sudah datang.
"Hari ini Pak Ustadz akan bercerita tentang sesuatu yang sedikit menyeramkan. Apakah kalian siap?"
Semuanya diam, tidak seperti biasanya. Kalau ditanya seperti itu semua akan menjawab "siaaaaap" dengan lantang. Tapi ini beda karena ada kata "menyeramkan". Jadinya semua masih berpikir untuk menjawab. Salah satu dari mereka mengangkat tangan, isyarat mau bertanya.
"Ya silahkan, Jono. Ada yang mau ditanyakan?" Tanya Pak Ustadz Gofar.
"Hmm, begini Pak Ustadz. Sekarang kan malam jumat kliwon, apa tidak apa-apa kalau ceritanya seram-seram gitu?" Tanya Jono dengan nada yang semakin ke belakang semakin lirih.
Pak Ustadz terseyum dan geleng-geleng kepala. Menjawab ini Pak Ustadz sedikit berpikir dan sempat hening beberapa detik. Jawaban harus tepat agar anak-anak tidak salah persepsi mengenai ini, pikir beliau.
"Begini anak-anakku. Sekarang Pak Ustadz tanya, makan pakai tangan kiri benar atau salah?"
Semua menjawab salah dengan serentak. Tidak dengan Binur yang sepertinya masih melamun.
"Kalau memanggil orang tua dengan nama, salah apa tidak?" Lanjut Pak Ustadz.
Semua masih bersemangat dengan menjawab salah dengan serentak. Binur masih melamun.
"Masuk ke rumah pakai sandal atau sepatu, boleh atau tidak?"
"Tidaaaaaaak." Semuanya masih serentak. Jawaban terakhir membuat Binur terbangun dari lamunan. Dia menoleh ke kiri ke kanan heran apa yang sudah terjadi. Tapi tetap diam sembari menerka-nerka situasi.
"Makan pakai tangan kiri memang salah di sini, tapi di tempat lain seperti Eropa dan Amerika, mau pakai tangan apapun semuanya benar. Begitu juga dengan memanggil orang yang lebih tua dengan nama saja, di sini dianggap tidak sopan. Kalau di luar sana? Meskipun anak baru lima tahun memanggil ke kakek usia tujuh puluh tahun dengan nama pun tidak masalah." Jelas Pak Ustadz dengan membuat pengandaian. Tapi murid-muridnya masih berusaha berpikir apa hubungannya menyeramkan dan penjelasan yang diberikan Pak Ustadz. Penjelasan beliau tidak ada unsur seramnya.
"Dan juga, kenapa masuk dalam rumah harus lepas alas kaki? Karena tradisi kita seperti itu. Bisa jadi kebiasaan itu dilakukan karena orang dulu berpikir, rumah kita harus bebas dari sesuatu yang kotor dan negatif. Tapi kalau di dunia barat sana, mau masuk pakai alas kakipun tidak masalah. Tradisinya bukan seperti itu, karena pikiran orang kita dan mereka tidak sama." Tambah Pak Ustadz yang membuat anak-anak semakin bingung.
"Tapi Pak Ustadz, hubungannya jum'at kliwon sama tidak pakai sendal apa ya?" Mamad tiba-tiba bertanya tanpa acungkan tangan. Semua langsung terbahak-bahak mendengar pertanyaannya. Obrolan yang daritadi terjadi cuma dia serap awalan dan akhirannya saja.
Pak Ustadz Gofar tersenyum dan geleng-geleng kepala. Tapi beliau paham, sebenarnya yang ditanyakan Mamad dan ditertawakan oleh yang lain itu adalah inti dari kebingungan para murid-muridnya.
"Pertanyaan bagus, Mad. Tapi memang yang lain, yang menertawakan pertanyaan Mamad, pasti dari awal bertanya apa hubungannya dari menyeramkan sampai ke penjelasan terakhir Pak Ustadz, kan?" Tiba-tiba semua diam mendengar jawaban sekaligus pertanyaan Pak Ustadz Gofar. Mungkin mereka pikir, si Mamad benar juga, tapi kenapa mereka malah tertawa. Mungkin beberapa berpikir Mamad ini ternyata si jenius yang kebetulan lugu.
"Nah begini anak-anakku. Dari penjelasan tadi, intinya di sini boleh, di sana tidak boleh. Di sana boleh, di sini tidak boleh. Kenapa begitu? Karena setiap tempat punya pendirian dan keyakinan masing-masing. Di sini, makan pakai tangan kiri kenapa tidak boleh? Karena keyakinan kita sebagai orang timur, tangan kiri adalah tangan yang dipakai untuk hal-hal yang jorok. Dan menurut agama malah tangan kiri itu tangan bantuannya setan. Kalau kita makan pakai tangan kiri, ya kita makan dibantu sama setan dan setannya masuk ke badan kita." Jelas Pak Ustadz. Beberapa mulai mengangguk dan beberapa masih diam tanda masih mencerna perkataan beliau. Ada satu yang diam dan mulai melamun lagi, si Binur.
"Intinya, kalau kita punya keyakinan yang kuat tentang sesuatu, kalau ada yang lain di luar kita yang sangat berbeda dengan kita, kita tidak akan terpengaruh meskipun pengaruh yang lain sangat kuat untuk berusaha mengikuti mereka. Sama halnya dengan malam jum'at kliwon. Siapa yang bilang malam jum'at kliwon itu seram?" Tanya balik Pak Ustadz ke para muridnya.
"Kata banyak orang-orang di desa begitu, Pak Ustadz." Jono yang tadi punya pertanyaan tentang jum'at kliwon tadi berargumen.
"Orang-orang desa kata siapa, Jon?" Pak Ustadz bertanya lagi.
"Kata mereka sih, di film-film hantu seperti itu. Mereka katanya dulu lihatnya pas di kota. Di sini kan tidak ada televisi Pak Ustadz. Jadi saya tidak tahu itu benar apa tidak. Karena yang cerita kebanyakan orang tua makanya saya percaya saja Pak Ustadz." Penjelasan Jono cukup mewakili apa yang dirasakan kebanyakan muridnya tentang persepsi jum'at kliwon yang menyeramkan.
"Nah, ini akibatnya kalau kita belum punya pendirian yang kuat. Yang cerita ke kalian mungkin orang tua, tapi kita harus teliti dulu benar tidak itu ceritanya? Dan mereka pun bilang dapat info itu dari film. Tahu kalian film itu apa?" Pertanyaan Pak Ustadz kali ini membuat mereka semua diam. Bahkan saling tengok kanan kiri melihat satu sama lain dengan tatapan bingung. Maklum, mereka belum pernah melihat yang namanya tayangan televisi. Jadi informasi yang mereka dapat ya hanya dari cerita orang lain saja, entah dari ibu bapaknya, saudaranya, tetangganya, dan banyak lagi orang lain di sekitar. Dan juga dapat informasi dari buku yang ada di masjid, tapi jumlahnya sangat terbatas, dan tidak semua bisa membaca. Membaca tulisan arab malah lebih jago kebanyakan dari mereka.
"Film itu adalah cerita karangan manusia. Cerita yang tidak nyata, hanya karangan. Bahasa kerennya, cerita fiktif. Jadi info yang orang-orang dapat adalah bukan kenyataan. Secara tidak langsung mereka membohongi orang lain dengan cerita seperti itu meskipun niatnya tidak. Apalagi kalau sampai yang dapat cerita sangat percaya sampai terbawa mimpi pula. Dan yang lebih gawat lagi adalah orang-orang yang langsung percaya saja dengan info yang didapat. Jangan-jangan nanti ada yang cerita katanya mbah ini di pohon ini ada penunggunya, dan penunggunya bilang malam minggu semua harus mandi di sungai saat hujan turun. Kalau yang percaya saja ya bisa dilakukan. Alhasil, setelah mandi sungai, hujan-hujanan juga, semua jadi masuk angin paginya. Mak Inem banyak deh pasiennya yang mau minta pijat." Penjelasan panjang lebar Pak Ustadz dan cerita lucunya membuat murid-murid tertawa sangat lepas. Membayangkan Mak Inem, ahli pijat di desa sudah berusia enam puluh tahunan, terlalu banyak pasien, bisa-bisa besoknya sakit juga dan tidak terima pasien lagi alias pensiun.
"Tapi, yang paling penting adalah, anak-anakku jangan sampai takut kepada apapun kecuali Tuhan yang kita sembah. Kalau kalian sampai takut sama yang setan-setan atau apapun selain Alloh, bisa-bisa kalian dikutuk jadi pohon." Pak Ustadz berulah lagi. Perut para murid yang tadinya lelah karena gurauannya, sekarang harus agak sakit karena tambahan kutukan jadi pohon. Beberapa tidak bisa menahan untuk jatuh merebahkan diri sambil memegangi perut.
Di tengah tawa para murid, ada yang tidak tertawa malah serius mendengar kalimat terakhir. Pak Ustadz bilang apa? Dikutuk jadi pohon? Tanya Binur dalam hati. Apa Pak Ustadz tahu apa yang dia pikirkan daritadi? Apakah Pak Ustadz barusan memberi isyarat kepada Binur kalau beliau tahu tentang hutan penyihir dan kebenaran mitosnya? Tapi Binur masih tidak yakin. Tapi kali ini dia harus menanyakan meskipun nantinya Pak Ustadz tidak memberikan jawaban apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar