Senin, 19 April 2021

BINUR DAN HUTAN PENYIHIR Bagian 3

Mengaji dengan Pak Ustadz Gofar memang selalu asik. Tidak hanya diajarkan membaca kitab suci, tapi juga dengan cerita-cerita tentang budi pekerti para pejuang agama yang terdahulu. Mulai mengaji adalah satu jam sebelum adzan maghrib. Setengah jam dipakai untuk membaca Al-Qur'an, sisanya dipakai untuk bercerita agar para muridnya mengaji juga tahu bagaimana peristiwa pada jaman dahulu dan harapan beliau murid-muridnya bisa mengambil pelajaran dari setiap cerita. Gaya berceritanya pun juga sangat menyenangkan. Itulah kenapa anak-anak kecil yang mengaji di masjid hampir tidak pernah absen. Salah satunya adalah Binur, yang bisa dibilang tidak pernah tidak hadir.

Melihat Binur termenung sambil menunggu yang lain datang, Pak Ustadz Gofar sedang merencanakan sesuatu untuknya. Beliau menghampiri muridnya yang duduk sendirian itu dan duduk di sebelahnya.

"Pak Ustadz?" Tanya Binur kaget.

"Kaget ya, Nur?" Jawab Pak Ustadz Gofar sambil tersenyum.

Binur hanya tersenyum lebar salah tingkah. Kemudian memandang kedepan lagi. Hanya ada beberapa pepohonan besar yang menjadi hiasan di depan masjid.

"Binur, kamu tahu tidak pohon-pohon besar di depan masjid ini siapa yang menanam?" Tanya Pak Ustadz tiba-tiba.

Ekspresi Binur menandakan dia kaget lagi, tapi tidak sekaget yang pertama. Dalam hati dia heran, tumben sekali Pak Ustadz menanyakan hal aneh macam ini.

"Hmm, tidak tahu Pak Ustadz. Yang jelas pasti manusia." Jawab Binur sekena pikirannya.

"Yakin yang menanam itu manusia?" Tanya Pak Ustadz lagi dan lebih membuat terkejut dengan pertanyaan yang tidak terduga oleh Binur.

"Lah, kalau bukan manusia siapa lagi Pak Ustadz? Jin? Setan?" Dengan perasaan penasaran Binur mulai bertanya.

"Bisa jadi jin, bisa jadi setan, bisa jadi raksasa, bisa jadi apapun." Jawab Pak Ustadz sambil tertawa kecil.

Jawaban Pak Ustadz membuat Binur heran ditunjukkan dengan ekspresinya yang mengernyitkan dahi. Tumben Pak Ustadz memberikan jawaban seperti ini, batin Binur. Tapi, akhirnya terlintas cerita yang pernah diobrolkan oleh Pak Karni dan Pak Sugeng, kalau pohon-pohon di hutan penyihir sebagian adalah orang-orang usil yang ingin menebang pohon di sana. Terbersit keinginan untuk bertanya tentang hutan penyihir pada Pak Ustadz Gofar. Tapi hatinya menolak, belum saatnya, atau tidak perlu, jangan-jangan ketika ditanyakan Pak Ustadz hanya tersenyum dan Binur tidak mendapatkan jawaban apa-apa. Tapi keinginannya untuk bertanya semakin besar. Akhirnya dia mengajukan pertanyaan yang sedikit menyinggung tentang hutan penyihir.

"Atau mungkin, pohon-pohon ini asalnya dari orang-orang jahat yang mau merusak desa ya, Pak Ustadz?"

Tawa Pak Ustadz Gofar sedikit meledak. Binur pun jadi tersenyum salah tingkah lagi.

"Binur.. Binur.. Kamu ini ada-ada saja. Kalau pohon ini dari orang-orang yang dikutuk jadi pohon, sudah lama orang-orang lihat penampakan di depan masjid ini." Jawab Pak Ustadz sambil berusaha meredakan tawa.

Masuk akal juga jawaban Pak Ustadz, pikir Binur. Dari kejauhan sudah terlihat gerombolan teman-temannya yang akan mengaji sedang berjalan ceria sambil bersenda gurau. Pak Ustadz pun beranjak dari tempatnya duduk dan Binur pun mengikuti. Ketika dia berdiri, Pak Ustadz dari kejauhan seperti menunggu dirinya menatap beliau. Memang didapatinya Pak Ustadz sedang tersenyum kepadanya. Binur heran, kenapa Pak Ustadz tersenyum kepadanya. Dan yang lebih membuatnya heran, apa yang diucapkan Pak Ustadz ketika dia menatap beliau. Memang lirih tapi Binur bisa mendengarnya.

"Tapi bisa saja itu benar, Nur."

Binur semakin bingung mencerna perkataan Pak Ustadz barusan. Apanya yang benar? Pertanyaan terakhirnya tadi? Kenapa Pak Ustadz tiba-tiba mengiyakan? Dalam hati Binur timbul pertanyaan-pertanyaan yang sedang bergejolak. Ingin rasanya menghampiri Pak Ustadz tapi teman-temannya sudah mulai naik ke teras masjid dan Pak Ustadz sudah berpaling dan duduk di tempatnya untuk mengajar. Tanda kegiatan mengaji sudah akan dimulai. Binur mengurungkan niatnya dan mulai duduk juga dengan pikiran yang masih melayang-layang dengan pertanyaan. Teman-temannya pun sudah mulai masuk dan duduk. Suasana masih ramai dengan yang berbincang-bincang menunggu semuanya duduk. Pak Ustadz dengan wajah tenangnya seperti biasanya. Apa Pak Ustadz tahu tentang hutan penyihir? Tiba-tiba terbersit pertanyaan itu. Tapi buru-buru dia menghapuskan itu dari pikirannya. Bisa dipikirkan nanti, sekarang mengaji, ucap Binur dalam hati.

Meskipun sudah meneguhkan hati untuk fokus mengaji, tetap saja pikirannya melayang membayangkan apakah Pak Ustadz tahu tentang hutan penyihir atau tidak. Seperti ada setan halus yang bilang ke Binur, "Pak Ustadz pasti tahu, ayo tanya Binur, sekarang saja, mumpung banyak teman-temanmu." Terus saja ajakan itu berulang-ulang sampai fokus mengajinya buyar. Pengucapan huruf-huruf dan panjang pendeknya banyak yang salah dan meleset. Binur mengeluh dalam hati, kenapa jadi susah sekali membaca Al-Qur'an ini. Padahal biasanya lancar-lancar saja.

"Ayo fokus fokus fokus, konsentrasi!" Ucapnya lirih memotivasi diri.

Tapi tetap saja, mengaji saat ini rasanya susah sekali. Akhirnya Binur tersadar, pertanyaan dan penasaran dalam kepalanya itu yang menghalangi konsentrasi.

Binur menghela nafas saat tiba gilirannya menghadap Pak Ustadz Gofar untuk membacakan bacaan yang tadi sudah dibaca duluan untuk dipelajari. Tradisi mengaji membaca Al-Qur'an pada umumnya seperti itu, disuruh untuk membaca sendiri-sendiri kemudian menghadap kepada guru ngaji agar guru bisa tahu yang mana yang belum lancar dan yang mana yang salah pengucapannya dan lain-lain. Saat berada di depan Pak Ustadz, hal tidak biasa terjadi. Tumben sekali Binur merasa deg-degan saat bertemu Pak Ustadz. Tiba-tiba grogi. Biasanya santai saja Binur ketika bertemu, saling tatap muka adu mata pun tidak masalah. Sekarang, seperti tiba-tiba leher tidak bisa digerakkan tegak, maunya menunduk, tidak berani menatap Pak Ustadz.

"Binur, kamu kenapa?" Tanya Pak Ustadz Gofar.

"Emm tidak apa-apa emmm anu emm tidak ada apa-apa, Pak Ustadz." Binur mendadak gagap bicara.

Pak Ustadz sudah mengerti yang terjadi. Binur sangat penasaran dengan pertanyaan tentang kebenaran hutan penyihir. Pertanyaan itu semakin menghantui sejak Pak Ustadz memberikan sedikit isyarat kepada Binur. Benar juga kalau bacaannya beberapa kali kesleo. Pak Ustadz tersenyum tanpa diketahui Binur. Beliau sudah merencanakan sesuatu untuk Binur. Dan yang pertama adalah memberikan isyarat yang lebih lengkap untuk muridnya yang sedang penasaran tentang hutan penyihir.

Setengah jam sudah berlalu sejak awal dimulai tadi. Semua murid sudah menghadap Pak Ustadz. Semuanya sedang ceria dan sumringah karena memang waktu setelah membaca Al-Qur'an adalah yang paling dinanti-nanti semua anak. Tapi tidak dengan Binur yang sedang sedikit melamun dan tidak ceria seperti yang lain. Pak Ustadz juga memperhatikan. Tapi beliau selalu tersenyum melihat Binur yang berpikir keras. Salah satu keinginannya mungkin akan terpenuhi lewat Binur, tapi perjalanannya masih panjang.

"Assalamualaikum warohmatullohi wabarokaatuh." Ucap Pak Ustadz di tengah keceriaan para muridnya yang sedang saling ngobrol. Sontak semua terkejut langsung menghentikan obrolan dan menjawab salam. Tapi semua memasang wajah cerah karena momen yang ditunggu sudah datang.

"Hari ini Pak Ustadz akan bercerita tentang sesuatu yang sedikit menyeramkan. Apakah kalian siap?"

Semuanya diam, tidak seperti biasanya. Kalau ditanya seperti itu semua akan menjawab "siaaaaap" dengan lantang. Tapi ini beda karena ada kata "menyeramkan". Jadinya semua masih berpikir untuk menjawab. Salah satu dari mereka mengangkat tangan, isyarat mau bertanya.

"Ya silahkan, Jono. Ada yang mau ditanyakan?" Tanya Pak Ustadz Gofar.

"Hmm, begini Pak Ustadz. Sekarang kan malam jumat kliwon, apa tidak apa-apa kalau ceritanya seram-seram gitu?" Tanya Jono dengan nada yang semakin ke belakang semakin lirih.

Pak Ustadz terseyum dan geleng-geleng kepala. Menjawab ini Pak Ustadz sedikit berpikir dan sempat hening beberapa detik. Jawaban harus tepat agar anak-anak tidak salah persepsi mengenai ini, pikir beliau.

"Begini anak-anakku. Sekarang Pak Ustadz tanya, makan pakai tangan kiri benar atau salah?"

Semua menjawab salah dengan serentak. Tidak dengan Binur yang sepertinya masih melamun.

"Kalau memanggil orang tua dengan nama, salah apa tidak?" Lanjut Pak Ustadz.

Semua masih bersemangat dengan menjawab salah dengan serentak. Binur masih melamun.

"Masuk ke rumah pakai sandal atau sepatu, boleh atau tidak?"

"Tidaaaaaaak." Semuanya masih serentak. Jawaban terakhir membuat Binur terbangun dari lamunan. Dia menoleh ke kiri ke kanan heran apa yang sudah terjadi. Tapi tetap diam sembari menerka-nerka situasi.

"Makan pakai tangan kiri memang salah di sini, tapi di tempat lain seperti Eropa dan Amerika, mau pakai tangan apapun semuanya benar. Begitu juga dengan memanggil orang yang lebih tua dengan nama saja, di sini dianggap tidak sopan. Kalau di luar sana? Meskipun anak baru lima tahun memanggil ke kakek usia tujuh puluh tahun dengan nama pun tidak masalah." Jelas Pak Ustadz dengan membuat pengandaian. Tapi murid-muridnya masih berusaha berpikir apa hubungannya menyeramkan dan penjelasan yang diberikan Pak Ustadz. Penjelasan beliau tidak ada unsur seramnya.

"Dan juga, kenapa masuk dalam rumah harus lepas alas kaki? Karena tradisi kita seperti itu. Bisa jadi kebiasaan itu dilakukan karena orang dulu berpikir, rumah kita harus bebas dari sesuatu yang kotor dan negatif. Tapi kalau di dunia barat sana, mau masuk pakai alas kakipun tidak masalah. Tradisinya bukan seperti itu, karena pikiran orang kita dan mereka tidak sama." Tambah Pak Ustadz yang membuat anak-anak semakin bingung.

"Tapi Pak Ustadz, hubungannya jum'at kliwon sama tidak pakai sendal apa ya?" Mamad tiba-tiba bertanya tanpa acungkan tangan. Semua langsung terbahak-bahak mendengar pertanyaannya. Obrolan yang daritadi terjadi cuma dia serap awalan dan akhirannya saja.

Pak Ustadz Gofar tersenyum dan geleng-geleng kepala. Tapi beliau paham, sebenarnya yang ditanyakan Mamad dan ditertawakan oleh yang lain itu adalah inti dari kebingungan para murid-muridnya.

"Pertanyaan bagus, Mad. Tapi memang yang lain, yang menertawakan pertanyaan Mamad, pasti dari awal bertanya apa hubungannya dari menyeramkan sampai ke penjelasan terakhir Pak Ustadz, kan?" Tiba-tiba semua diam mendengar jawaban sekaligus pertanyaan Pak Ustadz Gofar. Mungkin mereka pikir, si Mamad benar juga, tapi kenapa mereka malah tertawa. Mungkin beberapa berpikir Mamad ini ternyata si jenius yang kebetulan lugu.

"Nah begini anak-anakku. Dari penjelasan tadi, intinya di sini boleh, di sana tidak boleh. Di sana boleh, di sini tidak boleh. Kenapa begitu? Karena setiap tempat punya pendirian dan keyakinan masing-masing. Di sini, makan pakai tangan kiri kenapa tidak boleh? Karena keyakinan kita sebagai orang timur, tangan kiri adalah tangan yang dipakai untuk hal-hal yang jorok. Dan menurut agama malah tangan kiri itu tangan bantuannya setan. Kalau kita makan pakai tangan kiri, ya kita makan dibantu sama setan dan setannya masuk ke badan kita." Jelas Pak Ustadz. Beberapa mulai mengangguk dan beberapa masih diam tanda masih mencerna perkataan beliau. Ada satu yang diam dan mulai melamun lagi, si Binur.

"Intinya, kalau kita punya keyakinan yang kuat tentang sesuatu, kalau ada yang lain di luar kita yang sangat berbeda dengan kita, kita tidak akan terpengaruh meskipun pengaruh yang lain sangat kuat untuk berusaha mengikuti mereka. Sama halnya dengan malam jum'at kliwon. Siapa yang bilang malam jum'at kliwon itu seram?" Tanya balik Pak Ustadz ke para muridnya.

"Kata banyak orang-orang di desa begitu, Pak Ustadz." Jono yang tadi punya pertanyaan tentang jum'at kliwon tadi berargumen.

"Orang-orang desa kata siapa, Jon?" Pak Ustadz bertanya lagi.

"Kata mereka sih, di film-film hantu seperti itu. Mereka katanya dulu lihatnya pas di kota. Di sini kan tidak ada televisi Pak Ustadz. Jadi saya tidak tahu itu benar apa tidak. Karena yang cerita kebanyakan orang tua makanya saya percaya saja Pak Ustadz." Penjelasan Jono cukup mewakili apa yang dirasakan kebanyakan muridnya tentang persepsi jum'at kliwon yang menyeramkan.

"Nah, ini akibatnya kalau kita belum punya pendirian yang kuat. Yang cerita ke kalian mungkin orang tua, tapi kita harus teliti dulu benar tidak itu ceritanya? Dan mereka pun bilang dapat info itu dari film. Tahu kalian film itu apa?" Pertanyaan Pak Ustadz kali ini membuat mereka semua diam. Bahkan saling tengok kanan kiri melihat satu sama lain dengan tatapan bingung. Maklum, mereka belum pernah melihat yang namanya tayangan televisi. Jadi informasi yang mereka dapat ya hanya dari cerita orang lain saja, entah dari ibu bapaknya, saudaranya, tetangganya, dan banyak lagi orang lain di sekitar. Dan juga dapat informasi dari buku yang ada di masjid, tapi jumlahnya sangat terbatas, dan tidak semua bisa membaca. Membaca tulisan arab malah lebih jago kebanyakan dari mereka.

"Film itu adalah cerita karangan manusia. Cerita yang tidak nyata, hanya karangan. Bahasa kerennya, cerita fiktif. Jadi info yang orang-orang dapat adalah bukan kenyataan. Secara tidak langsung mereka membohongi orang lain dengan cerita seperti itu meskipun niatnya tidak. Apalagi kalau sampai yang dapat cerita sangat percaya sampai terbawa mimpi pula. Dan yang lebih gawat lagi adalah orang-orang yang langsung percaya saja dengan info yang didapat. Jangan-jangan nanti ada yang cerita katanya mbah ini di pohon ini ada penunggunya, dan penunggunya bilang malam minggu semua harus mandi di sungai saat hujan turun. Kalau yang percaya saja ya bisa dilakukan. Alhasil, setelah mandi sungai, hujan-hujanan juga, semua jadi masuk angin paginya. Mak Inem banyak deh pasiennya yang mau minta pijat." Penjelasan panjang lebar Pak Ustadz dan cerita lucunya membuat murid-murid tertawa sangat lepas. Membayangkan Mak Inem, ahli pijat di desa sudah berusia enam puluh tahunan, terlalu banyak pasien, bisa-bisa besoknya sakit juga dan tidak terima pasien lagi alias pensiun.

"Tapi, yang paling penting adalah, anak-anakku jangan sampai takut kepada apapun kecuali Tuhan yang kita sembah. Kalau kalian sampai takut sama yang setan-setan atau apapun selain Alloh, bisa-bisa kalian dikutuk jadi pohon." Pak Ustadz berulah lagi. Perut para murid yang tadinya lelah karena gurauannya, sekarang harus agak sakit karena tambahan kutukan jadi pohon. Beberapa tidak bisa menahan untuk jatuh merebahkan diri sambil memegangi perut.

Di tengah tawa para murid, ada yang tidak tertawa malah serius mendengar kalimat terakhir. Pak Ustadz bilang apa? Dikutuk jadi pohon? Tanya Binur dalam hati. Apa Pak Ustadz tahu apa yang dia pikirkan daritadi? Apakah Pak Ustadz barusan memberi isyarat kepada Binur kalau beliau tahu tentang hutan penyihir dan kebenaran mitosnya? Tapi Binur masih tidak yakin. Tapi kali ini dia harus menanyakan meskipun nantinya Pak Ustadz tidak memberikan jawaban apapun.

Jumat, 16 April 2021

BINUR DAN HUTAN PENYIHIR Bagian 2

Binur bukanlah orang yang mudah sekali percaya begitu saja dengan apa yang baru saja dia dengar. Dia membutuhkan bukti-bukti yang bisa menjelaskan apa yang baru saja dia dengar atau ketahui. Yang jelas, dia tidak akan merasa puas sampai semua terjelaskan oleh fakta-fakta yang berkaitan dengan apa yang dia ingin cari tahu. Sampai semuanya didapat, dia tidak akan bisa tidur nyenyak. Begitulah dia.

Saat mendengar cerita tentang "hutan penyihir" di pasar pun, dia tidak langsung percaya begitu saja. Tapi, dia akan menyimak cerita tersebut dari awal sampai akhir. Selama ini yang menarik perhatian Binur adalah hal-hal yang sekiranya membuat resah warga dan dirinya. Dan dia ingin membuktikan bahwa keresahan tersebut tidak penting. Maka dari itu, dia selalu mempunyai cara untuk "menyadarkan" orang-orang yang terserang keresahan ataupun dirinya sendiri yang sedang resah. Tidak peduli apapun nanti reaksi sekitarnya, yang penting dia berbuat sesuatu. Itu yang selalu dipikirkan oleh Binur.

Pak Karni dan Pak Sugeng yang membicarakan tentang hutan penyihir itu memang terkenal suka menggembar-gemborkan sesuatu yang sekiranya masih jadi misteri di sekitarnya. Dengan suara yang agak lantang biasanya mereka bercerita tentang banyak hal. Mereka juga pedagang pasar seperti Binur. Pak Karni jualan tempe tahu dan Pak Sugeng jualan bumbu-bumbu dapur. Lapak mereka pun bersebelahan. Kalau mereka berbincang dengan suara keras, ya pasti artinya mereka hanya ingin perhatian sekitar saja. Dan ulah dua pedagang tersebut sudah sangat terkenal di area pasar. Sekeras apapun mereka berbicara, tidak akan mungkin ada yang menghiraukan karena ceritanya setiap hari sama, itu-itu saja. Kalau ada pembeli yang baru masuk pasar dan baru bertemu duo itu, pasti dikiranya mereka agak terganggu pendengarannya, kemudian pindah ke pedagang lain karena suasana sangat bising kalau mereka sedang beraksi.

Beda halnya dengan Binur. Binur baru berjualan sekitar empat hari di pasar. Atas saran Pak Ustadz Gofar agar Binur tidak kekurangan akan kebutuhan hidup, akhirnya dia berjualan ikan yang dia tangkap di sungai. Hasilnya lumayan untuk membeli kebutuhan pokok. Binur selama ini memang banyak mendapat bantuan dari tetangga-tetangganya masalah kebutuhan pokok, termasuk dari Ustadz Gofar. Tapi suatu hari Ustadz memberikan sebuah cerita budi pekerti kalau tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Meskipun belum di atas, setidaknya berusaha untuk tidak di bawah. Binur mulai meresapi hal tersebut dan melaksanakan saran dari Ustadz Gofar. Setidaknya berusaha dulu.

Selama empat hari berjualan di pasar, Binur memang memperhatikan Pak Karni dan Pak Sugeng. Selain suaranya yang keras, cerita mereka sangat menarik bagi Binur karena memang baru ini dia bertemu duo maut tersebut. Saat melayani pembeli pun Binur masih memperhatikan cerita mereka. Sampai pada akhirnya mereka bercerita tentang hutan penyihir yang Binur belum tahu. Menurut hampir semua orang di pasar, cerita hutan penyihir sudah dianggap basi. Banyak yang menganggap itu hanya akal-akalan orang dulu agar tidak ada orang yang berani masuk ke hutan. Ada yang beranggapan mungkin alasannya agar hutan itu tetap terjaga, agar tetap ada tempat yang asri untuk desa, bahkan ada yang beranggapan di sana terdapat binatang-binatang buas. Cerita hutan penyihir itu dibuat agar mereka terlindungi dari binatang buas dan para binatang tidak terganggu. Kalau sampai mereka terganggu, bisa jadi para binatang itu masuk area desa. Bisa gawat kalau begitu.

Obrolan Pak Karni dan Pak Sugeng sangat menarik untuk Binur, karena ternyata tidak semua orang di desa percaya itu nyata, tapi memang kebanyakan dari mereka percaya hal mistis tersebut. Berbagai macam argumen dari masyarakat tentang hutan penyihir menjadi objek riset pribadi yang menyenangkan buat Binur. Seperti pendapat kalau hutan penyihir hanya akal-akalan orang dulu. Kalau mereka percaya itu, kenapa mereka tidak berusaha membuktikan kalau disana memang tidak ada hal mistis seperti yang sudah diceritakan banyak orang? Pasti kalau ditanya seperti itu akan banyak beralasan. Sebenarnya takut dan hanya mau memotivasi dirinya sendiri agar tidak terlihat takut. Juga lagi, seperti pendapat kalau cerita hutan penyihir itu untuk melindungi harta karun terpendam yang ada di dalam hutan. Itu sangat menarik, tapi tidak cukup menggoda untuk membuat orang menjelajah hutan tersebut. Hanya cerita dari orang yang kurang perhatian saja. Semua argumen-argumen tersebut menarik untuk Binur dan hampir semuanya didapat dari obrolan si duo maut jika sedang beraksi.

Sejak mendapat cerita itu, dengan berbagai versinya yang mengikuti, Binur susah sekali untuk tidur nyenyak. Bahkan saat mencari ikan pun seringkali gagal tangkap karena imajinasi sering dilewati cerita hutan penyihir. Semakin lama rasa penasaran semakin besar dan semakin membuat Binur tidak betah dengan keadaan seperti itu. Sebenarnya cerita yang tidak terlalu penting tetapi entah kenapa terus melekat di benaknya.

Demi menghilangkan kegundahannya, Binur berusaha keras mencari cara bagaimana dia bisa mendapatkan informasi yang benar tentang cerita tersebut. Hanya satu hal terbersit di benak Binur, Pak Ustadz Gofar. Tapi ketika membayangkan sosoknya, Binur mengernyitkan dahi, tidak yakin beliau tahu ini. Kalau tahu pun pasti dianggap tidak penting dan segera ditinggalkan. Pak Ustadz Gofar punya karakter yang sangat bersemangat tentang agama dan menolak hal-hal yang tidak penting untuk didengar, tidak bermanfaat dan menghabiskan waktu percuma menurut beliau. Binur terus berpikir keras, tapi tetap tidak menemukan siapa yang bisa ditanyai mengenai hal ini. Tanya kepada Pak Karni dan Pak Sugeng pun lebih percuma. Obrolan mereka levelnya melebihi obrolan ibu-ibu yang sedang bergosip ria saat belanja di pasar. Semua cuma omongan-omongan yang dibumbui dan diulang-ulang. Semakin keras Binur berpikir, sosok Pak Ustadz lagi yang muncul. Mengernyitkan dahi lagi lah dia. Mencoba lagi dan lagi dan terus mencoba, sampai akhirnya tidak sadar keringat dingin meluncur di dahinya dan nafas sedikit tersengal seperti sehabis jalan terburu-buru. Ah, sepertinya terlalu menyita pikiran dan tenaga untuk hal yang tidak penting, pikir Binur.

Keesokan harinya Binur mengalami hal aneh lagi. Saat sedang dalam perjalanan mengaji, dia bertemu Pak Ustadz Gofar yang memang juga berjalan ke arah yang sama, ke masjid. Binur sudah melupakan pikiran sia-sianya hari lalu. Tapi hal lebih aneh terjadi, melihat wajah Pak Ustadz Gofar setelah menyalami beliau, kenapa terlintas lagi cerita angin tentang hutan penyihir? Binur mengernyitkan dahi tiba-tiba dan Pak Ustadz tahu perubahan ekspresi Binur yang aneh.

"Kenapa, Nur? Tangan Pak Ustadz bau ya?" Pak Ustadz malah bercanda menanggapi perubahan ekspresi Binur.

Binur segera tersadar dengan pertanyaan Pak Ustad, itu karena tiba-tiba dia melamun dan berubah ekspresi mendadak. 

"Eh, tidak Pak Ustadz. Tangan Pak Ustadz harum kok bau minyak kasturi, enak. Hehe." Binur menjawab sambil cengengesan dan menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Kalau harum kok ekspresinya seperti habis nyium kotoran sapi gitu, Nur?" Pak Ustadz juga terus menggoda Binur yang salah tingkah.

"Ah bukan Pak Ustadz, pas nyium tangan Pak Ustadz tadi, Binur merasa seperti di dekat para wali Alloh." Jawab Binur sedapatnya.

"Wah, emang bau kasturi ini baunya Wali Alloh ya? Kok kamu tahu sih, Nur?" Pas Ustadz masih saja menggoda Binur. Ekspresinya terlihat heran dan serius, tapi dalam hatinya memang sedang tersenyum melihat keluguan muridnya itu.

Binur yang ditanya seperti itu juga semakin salah tingkah. Penyesalan tentang jawaban ngawur tadi mulai datang. Binur tidak ingin berbicara hal-hal yang dia tidak tahu dan dibuat-buat di depan guru ngajinya itu. Rasa hormatnya lebih besar daripada keinginannya untuk bercanda meskipun Pak Ustadz memang asik untuk diajak bersenda gurau.

"Hehe maaf Pak Ustadz, tadi cuma bercanda." Jawab Binur dengan perasaan sungkan dan sedikit tidak enak.

"Lah tapi kenapa tadi tiba-tiba bengong?" Tanya Pak Ustadz lagi.

Dalam hatinya, Binur sangat ingin bertanya tentang hal yang membuatnya kepikiran akhir-akhir ini. Tapi Binur mengerti karakter Pak Ustadz Gofar, percuma juga kalau tanya pun pasti juga akan dijawab dengan senyumam saja.

"Oh bukan apa-apa, Pak Ustadz. Tidak tahu kenapa tadi tiba-tiba diam gitu." Jawab Binur dengan aman.

Hanya suara "oh" saja yang keluar dari mulut Pak Ustadz dan kemudian tersenyum sambil berjalan semakin mendekati masjid. Masjid masih terlihat sepi. Sepertinya Binur adalah murid pertama yang datang. Hari itu matahari masih terlihat terang menerangi langit, satu jam sebelum waktu sholat maghrib.

Sesampainya di sana, Binur tidak langsung masuk, masih duduk di teras masjid sembari menunggu teman-teman yang lain. Binur masih termenung memikirkan cara untuk menghapus kegundahannya karena penasaran yang berlebihan. Tanpa sadar, Binur sedang diawasi dari kejauhan. Pak Ustadz tersenyum senang melihat kelakuan muridnya itu. Akhirnya, akan ada yang masuk lagi ke dalam hutan itu, ucapnya dalam hati..

Rabu, 14 April 2021

BINUR DAN HUTAN PENYIHIR

Sebuah Dongeng

Di sebuah desa bernama desa Siririti, hiduplah seorang penyihir yang sangat jahat. Lokasi rumahnya berada di tengah hutan. Hutan tersebut memang agak luas dan tidak ada yang berani menebang pohon di hutan yang ditinggali si penyihir. Menurut mitos yang beredar pada masyarakat di sana, yang berani menebang pohon di hutan sekitar rumah si penyihir, akan dikutuk menjadi pohon seperti yang ada di hutan. Menurut masyarakat juga, itulah kenapa hutan di sekitar rumah penyihir itu sangat lebat padahal sekitarnya hanya ada rumput dan semak belukar yang tidak terlalu tinggi. Pohon-pohon lebat itu adalah wujud kutukan si penyihir pada orang-orang yang berani menebang pohon di sekitar rumah penyihir. Antara hutan dan sekitarnya seperti ada batas, tidak jelas tapi terasa nyata jika dirasakan.

Cerita tentang penyihir dan kutukannya itu memang sangat populer dibicarakan dari generasi ke generasi. Tidak ada anak kecil bahkan orang dewasa pun yang berani mendekati hutan apalagi masuk ke dalamnya. Mereka tidak tahu cerita benar atau tidak. Mereka juga tidak tahu pasti di tengah hutan itu terdapat rumah penyihir atau tidak. Mereka hanya tahu tidak akan menentang mitos yang sudah turun-temurun. Apa susahnya tidak mendekat ke hutan, kan? Pikir mereka.

Tapi dari sekian banyak orang, akan selalu ada orang yang membangkang. Entah itu memang hukum alam atau bagaimana, pasti akan ada. Mungkin ini berkaitan dengan hukum alam yang harus selalu seimbang, ada yang menurut dan ada yang memberontak. Dan sifat pemberontak itu muncul kepada si Binur, yang kelakuannya selalu membuat heboh masyarakat desa, mulai dari membuat gaduh saat adzan subuh dengan memukul bedug tak berirama, maunya dia sendiri, sampai membakar kemenyan di depan rumah-rumah warga karena dianggap, rumah-rumah warga ini bau tidak sedap, karena sampah yang berserakan dan malas dibersihkan. Karena Binur masih terhitung anak kecil, tidak ada yang berani untuk membalas secara fisik, palingan juga omelan biasa. Dan itu tidak dianggap serius oleh Binur. Orang-orang mulai mengerti dengan kelakuan si Binur karena menganggap begitulah kelakuan anak yatim piatu yang tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua. Binur adalah anak yang dibuang yang ditemukan oleh seorang kakek tua yang tinggal sendirian. Dengan ikhlas si kakek merawat dan membesarkan sampai pada akhirnya, si kakek meninggal saat Binur masih berusia 6 tahun. Dan saat itu juga, dia tinggal sendirian.

Dan sekarang, Binur berusia 15 tahun. Mandiri dan sangat tekun pergi ke masjid untuk sholat maupun mengaji, tapi memang kelakuannya di luar kebiasaan seumurannya pada umumnya. Apa yang dianggapnya salah, dia akan "memperbaiki" dengan caranya sendiri. Seperti saat dia membuat gaduh bedug masjid desa, Binur menganggap warga desa mulai tidak mau pergi ke masjid saat subuh karena berbagai alasan yang menurut Binur itu hanya kemalasan. Akhirnya sampai puncak keinginannya untuk memperingatkan warga desa agar tidak malas pergi ke masjid saat subuh, Binur langsung membuat gaduh dengan menabuh bedug masjid dengan brutal. Sontak semua warga terganggu dan kebanyakan marah karena dianggap mengganggu tidur mereka. Warga desa Siririti memang kompak kalau masalah emosi-emosian seperti ini, warga berbondong-bondong keluar dari rumah menuju masjid. Pak Ustadz Gofar, imam masjid, yang memang sedang menuju masjid pun terheran-heran dengan kedatangan warga yang sedang marah-marah. Pak Ustadz tidak bisa mendengar apa yang mereka proteskan karena suara bercampur aduk. Binur mulai melihat sosok para warga yang sedang marah menuju masjid. Dia tersenyum dan langsung lari menuju mimbar masjid, meraih mikrofon dan melantunkan adzan dengan lantang dan nyaring.

"Allohuakbar Alloooooohuakbar.."

Pak Ustadz mulai mengerti alurnya dan ini semua ulah si Binur. Warga yang marah-marah langsung diam mendengar suara adzan, agak termenung dan mulai berbalik badan seakan mau pulang padahal masjid sudah di depan mereka. Pak Ustadz menyadari keinginan Binur dan seketika menghampiri warga yang mulai mau pulang.

"Assalamualaikum bapak-bapak. Loh ini sudah di depan masjid kok mau pulang, sudah adzan juga. Ayo-ayo sholat subuh dulu, baru pulang. Sarung banyak di dalam. Ayo pak masuk." Ujar Pak Ustadz Gofar kepada warga.

Warga memang sangat hormat kepada Pak Ustadz Gofar, dan saat beliau berbicara seperti itu, tidak ada yang berani beralasan dan menuruti juga akhirnya.

Itulah salah satu kejadian "pemberontakan" yang dilakukan Binur, bernama lengkap Binurillah. Dan sifatnya itu akhirnya membawa dia penasaran terhadap hutan yang tidak pernah didekati oleh warga. Padahal, pikir Binur, siapa tahu di sana ada sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan warga. Rasa penasaran Binur dimulai saat para pedagang di pasar tiba-tiba membicarakan tentang "hutan penyihir". Binur juga berjualan ikan hasil tangkapannya dari sungai dan langsung menaruh perhatian penuh kepada cerita tersebut. Petualangan Binur dengan hutan penyihir dimulai..

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lema...