Jumat, 11 September 2020

PENYAKIT GAIB (BAGIAN TERAKHIR)

Esok malamnya.

Aku kembali ke rumah sakit dan kudapati suasana yang berbeda lagi, lebih ramai. Benar, lebih ramai, dan lebih, "mencekam". Malam sebelumnya, suasana benar-benar tidak semenakutkan yang aku kira. Tapi sekarang malah aku disuguhkan dengan pemandangan yang lebih ramai dan beberapa orang seperti "kesakitan", batuk-batuk, dan terlihat pucat. Beberapa orang seperti itu. Aku mendapat nomer 6 malam ini karena sore hari aku mengambil nomer antrian agar mendapat yang lebih awal. Memang begitu peraturannya. Pengambilan nomer antrian dimulai jam 3 sore.

Astaga, waktu itu memang terasa mencekam di benakku. Ada sekitar dua puluh orang lebih berada di sana dan beberapa batuk-batuk. Kemudian ada salah satu wanita muda berkacamata menghampiri ruangan petugas untuk bertanya, "Pak, saya mau daftar swab test."

"Mbak menunjukkan gejala apa?" Tanya si petugas.

"Saya batuk terus beberapa hari ini. Badan sedikit lemas dan lesu."

Bulu kudukku begidik seketika mendengarnya. Kenapa banyak yang mempunyai gejala malam ini? Aku seperti berada di bagian film yang sedang mencekam. Aku menjauh dari area tunggu dan tidak peduli jika suara si petugas yang nanti akan memanggil nomer antrian akan terdengar lirih.

Aku menunggu dan memperhatikan. Petugas dengan APD lengkap datang dan berdiskusi dengan petugas yang berada di ruangan, tempat pendaftaran dan pengurusan pembayaran. Sepertinya mereka sedang membicarakan orang-orang yang sedang menunggu swab test dengan gejala. Dari kejauhan aku hanya bisa lirih mendengar mereka. Kemudian petugas memanggil beberapa orang dan mengikuti petugas ber-APD lengkap ke arah tertentu, sepertinya yang menampakkan gejala mendapatkan perlakuan khusus, dipisahkan dari yang tidak punya gejala.

Kenapa tidak dari tadi? Gumamku. Bagaimana kalau mereka benar terinfeksi dan meninggalkan virusnya di area ini? Ahh entahlah, aku cuma bisa menghibur diri dengan terus berpikir kalau aku baik-baik saja.

Tiba nomer antrianku dipanggil, aku masuk ke ruangan. Aku menemui petugas yang berbeda, satu pria dan satu wanita. Setelah percakapan singkat, aku disuruh duduk di kursi yang sama seperti kemarin. Petugas wanita yang mengambil sampel rongga hidung dan tenggorokan.

"Angkat kepalanya sedikit ya, Pak." Nyeeeeeeet! nyeeeet! nyeeeet! (Suara huruf "e"nya seperti pada kata enam). Begitulah suara yang bisa aku gambarkan. Pengambilan sampel kali ini benar-benar lebih terasa. Sedikit sakit dan sangat ngilu. Ternyata perlakuan dari petugas wanita lebih keras dan lebih sakit. Apa dia sedang tidak mood? Sedang PMS? Sedang bertengkar dengan pasangannya? Entahlah. Setelah selesai, dilanjut dengan pengambilan cairan di tenggorokan. Biasa saja rasanya, seperti malam sebelumnya. Tapi air mata yang keluar lebih banyak. Ya ampun, perlakuan wanita tadi menyisakan banyak air mata.

Selesai sudah rangkaian swab test. Lanjut aku menunggu dipanggil untuk membayar, kemudian pulang.

Sedikit hatiku merasa lega dan semangat positif masih membara serta berharap pasti hasilnya negatif. Sempat terbayang bagaimana jika hasilnya positif. Cepat-cepat aku mengusir bayangan itu. Pasti aku baik-baik saja. Aku memotivasi diriku sendiri.

Sesampai di "rumah", seperti biasa istriku bertanya. Aku jawab seadanya dan istriku terus menyemangatiku. Petugas tadi menginformasikan hasil swab test bisa diambil dua hari setelah malam ini. Baiklah, sampai hari hasil swab test tiba, aku bisa sedikit merasa santai.

Meskipun aku berusaha keras untuk "santai", tidak bisa dipungkiri aku juga khawatir berlebihan. Ini pengalaman yang tidak pernah aku duga, juga menakutkan. Imajinasi berlebih karena pemberitaan media, postingan media sosial, sangat menghantui. Bahkan, rasa makanan mendadak tidak enak. Suara sirine yang lalu lalang mendadak membuat gelap pikiran. Bahkan saat tidur pun, aku bermimpi kejadian pada saat swab test, dijemput petugas ber-APD, dan selebihnya tidak jelas tapi membuat cemas.

Hari itu tiba.

Aku bahkan sedikit lupa hari itu hari hasil swab test. Aku berlagak santai, tepatnya berusaha santai. Memang seperti itu lagakku dua hari terakhir. Baiklah, saatnya menjemput kabar baik. Itu yang aku sugestikan selalu. Pasti akan ada kabar baik. Tapi tetap, bayangan-banyangan buruk masih saja suka berseliweran. Sepertinya aku sudah mulai handal mengusirnya.

Sampai di sana, posko covid-19, aku seperti merasakan ada hawa yang aneh, entahlah itu firasat atau bukan. Aku mengetok jendela kaca ruangan petugas, dan tanya apa hasil swab test-ku sudah keluar. Dia tanya nama, kemudian mengetik sesuatu di komputernya, sepertinya sedang mencari informasi tentangku.

Terlihat seperti berdiskusi dengan petugas yang lain, dengan wajah serius, petugas tersebut datang ke arahku dengan membawa dua lembar kertas. Dengan wajah yang tidak secerah pertama tadi bertemu, dia mulai bicara, "Begini, Pak." Entah kenapa sepertinya akan buruk, tapi aku sudah bersiap dengan segala kemungkinan. "Hasil bapak yang pertama adalah positif."

Jedaaar!!! Tiba-tiba saja petir menggelegar di otakku. Seketika lemas tubuhku mendengar kata positif. Adegan-adegan buruk yang ada di berita-berita seketika liar ditayangkan di pikiran. Apa? Positif? Ya Tuhan, kenapa Engkau tidak mengabulkan doaku. Bagaimana nanti dengan keluargaku. Belum lagi kalau nanti aku dikucilkan di lingkungan tempat aku tinggal. Bagaimana kalau nanti diusir. Bagaimana nanti kesehatan istri dan anakku. Otomatis saja itu terbayang. Ingin aku berpegangan tapi tidak ada sandaran di dekatku.

"Dan yang kedua, Pak." Aku lupa kalau masih ada hasil yang kedua. Aku sudah pasrah dan tidak bisa berpikir lagi. Kalau yang pertama saja positif, apalagi yang berikutnya, cuma berselang satu hari. "Yang kedua negatif, Pak."

Apa? Negatif? Ternyata logikaku salah. Benar-benar di luar dugaan. Apa aku tidak salah dengar? "Negatif, Pak?" Tanyaku pada petugas.

"Iya, Pak, negatif." Seketika kecurigaan dan buruk sangkaku mencuat. Ini salah kah? Apanya yang salah? Alatnya? Penyakitnya? Apa memang ini dibuat bisnis? Teori konspirasi yang sering dilontarkan para figur publik seakan sedang menguasai pikiranku.

"Kok bisa beda begitu pak hasilnya? Kalau begitu saya termasuk positif apa negatif?" Tanyaku.

"Kalau kasus seperti ini bapak dinyatakan positif. Dan tindakan selanjutnya adalah, karena bapak tidak menunjukkan gejala apapun, maka bapak diwajibkan isolasi mandiri selama empat belas hari. Setelah empat belas hari bapak tetap tidak menunjukkan gejala, otomatis bapak dinyatakan sembuh tanpa harus menjalani rapid atau swab test lagi."

Sesimpel itu kah perlakuan terhadap orang yang divonis penyakit gaib ini? Bukannya harusnya yang divonis positif itu langsung dikarantina dan dapat perlakuan khusus? Bukannya harus ditangani petugas ber-APD lengkap seperti yang diberitakan media? 

Media sempat menggemparkan dengan menayangkan "pasien" yang dijemput di rumahnya dengan pakaian APD lengkap dengan ambulansnya, dan membuat warga sekitarnya heboh . Setelahnya pun aku sudah sangat sering mendengar dari obrolan sekitar kalau banyak orang sangat "jijik" kalau misal ada tetangga atau orang sekitarnya divonis terjangkit virus ini. Ngeri. Itu ekspresi yang sering mereka tunjukkan. Seperti semua tempat yang dilewati korban virus ini tececeri oleh virus juga. Jangankan itu, melihat peta persebaran yang tiba-tiba merah saja sudah menganggap satu daerah itu seperti penuh virus. Didukung dengan tayangan penyemprotan disinfektan di jalan raya dan tempat-tempat publik menggunakan mobil water canon, dan berbagai macam alat lainnya yang pada akhirnya "ditertawakan" oleh negara lain.

Tapi kenapa aku tidak diperlakukan seperti itu? Hanya "dilepas" seperti itu saja? Aku ini tersangka pembawa virus lho, hanya begitu saja? Tanpa mereka bertanya aku ke rumah sakit naik apa dan sama siapa? Beberapa hari setelah kejadian itu, barulah aku tahu kalau prosedur terbaru saat itu tentang penanganan Covid-19 menyatakan kalau pasien tanpa gejala dinyatakan sembuh setelah isolasi mandiri selama empat belas hari tanpa harus ada tes apapun lagi. 

Tapi media terlanjur membuat takut masyarakat dengan tayangan-tayangannya. Bagaimana kalau yang ditayangkan di tivi juga terjadi padaku? Bagaimana kalau orang-orang sekitarku "jijik" denganku? Siapa kemudian yang harus bertanggung jawab meredakan ketakutan mereka? Adakah media menayangkan sesuatu yang bisa meredakan ketakutan warga? Mungkin ada tapi aku tidak tahu. Bukan hobiku menonton tivi.

Sejak saat itu, aku menyebutnya demikian, penyakit gaib. Ini penyakit, aku divonis terjangkit, tapi aku tidak sakit, aku tidak tahu penyakit apa ini, tidak ada rasanya. Penyakit harusnya membuat sakit. Tapi aku tidak merasakan sakit. Gejala biologis apapun di tubuhku tidak ada kecuali gatal di kepala, yang tiba-tiba gatal, ternyata aku lupa belum mandi dari pagi saking hebatnya efek psikis yang aku alami karena penyakit ini. Ini penyakit dengan level berbeda. Terbentuk secara biologis, tapi target serangannya adalah psikis. Manusia sekarang sudah sehebat itu. Bentuknya nyata (katanya, kita percaya saja, toh kita juga bukan ahlinya) tapi menyerang yang tidak nyata. Aaah, sekarang kendali dunia benar-benar dipegang para ilmuwan, sepertinya. Tahu begitu aku tidak akan kuliah di Fakultas Sastra, tapi di Fakultas MIPA.

(Selesai)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lema...