Esok malamnya.
Aku kembali ke rumah sakit dan kudapati suasana yang berbeda lagi, lebih ramai. Benar, lebih ramai, dan lebih, "mencekam". Malam sebelumnya, suasana benar-benar tidak semenakutkan yang aku kira. Tapi sekarang malah aku disuguhkan dengan pemandangan yang lebih ramai dan beberapa orang seperti "kesakitan", batuk-batuk, dan terlihat pucat. Beberapa orang seperti itu. Aku mendapat nomer 6 malam ini karena sore hari aku mengambil nomer antrian agar mendapat yang lebih awal. Memang begitu peraturannya. Pengambilan nomer antrian dimulai jam 3 sore.
Astaga, waktu itu memang terasa mencekam di benakku. Ada sekitar dua puluh orang lebih berada di sana dan beberapa batuk-batuk. Kemudian ada salah satu wanita muda berkacamata menghampiri ruangan petugas untuk bertanya, "Pak, saya mau daftar swab test."
"Mbak menunjukkan gejala apa?" Tanya si petugas.
"Saya batuk terus beberapa hari ini. Badan sedikit lemas dan lesu."
Bulu kudukku begidik seketika mendengarnya. Kenapa banyak yang mempunyai gejala malam ini? Aku seperti berada di bagian film yang sedang mencekam. Aku menjauh dari area tunggu dan tidak peduli jika suara si petugas yang nanti akan memanggil nomer antrian akan terdengar lirih.
Aku menunggu dan memperhatikan. Petugas dengan APD lengkap datang dan berdiskusi dengan petugas yang berada di ruangan, tempat pendaftaran dan pengurusan pembayaran. Sepertinya mereka sedang membicarakan orang-orang yang sedang menunggu swab test dengan gejala. Dari kejauhan aku hanya bisa lirih mendengar mereka. Kemudian petugas memanggil beberapa orang dan mengikuti petugas ber-APD lengkap ke arah tertentu, sepertinya yang menampakkan gejala mendapatkan perlakuan khusus, dipisahkan dari yang tidak punya gejala.
Kenapa tidak dari tadi? Gumamku. Bagaimana kalau mereka benar terinfeksi dan meninggalkan virusnya di area ini? Ahh entahlah, aku cuma bisa menghibur diri dengan terus berpikir kalau aku baik-baik saja.
Tiba nomer antrianku dipanggil, aku masuk ke ruangan. Aku menemui petugas yang berbeda, satu pria dan satu wanita. Setelah percakapan singkat, aku disuruh duduk di kursi yang sama seperti kemarin. Petugas wanita yang mengambil sampel rongga hidung dan tenggorokan.
"Angkat kepalanya sedikit ya, Pak." Nyeeeeeeet! nyeeeet! nyeeeet! (Suara huruf "e"nya seperti pada kata enam). Begitulah suara yang bisa aku gambarkan. Pengambilan sampel kali ini benar-benar lebih terasa. Sedikit sakit dan sangat ngilu. Ternyata perlakuan dari petugas wanita lebih keras dan lebih sakit. Apa dia sedang tidak mood? Sedang PMS? Sedang bertengkar dengan pasangannya? Entahlah. Setelah selesai, dilanjut dengan pengambilan cairan di tenggorokan. Biasa saja rasanya, seperti malam sebelumnya. Tapi air mata yang keluar lebih banyak. Ya ampun, perlakuan wanita tadi menyisakan banyak air mata.
Selesai sudah rangkaian swab test. Lanjut aku menunggu dipanggil untuk membayar, kemudian pulang.
Sedikit hatiku merasa lega dan semangat positif masih membara serta berharap pasti hasilnya negatif. Sempat terbayang bagaimana jika hasilnya positif. Cepat-cepat aku mengusir bayangan itu. Pasti aku baik-baik saja. Aku memotivasi diriku sendiri.
Sesampai di "rumah", seperti biasa istriku bertanya. Aku jawab seadanya dan istriku terus menyemangatiku. Petugas tadi menginformasikan hasil swab test bisa diambil dua hari setelah malam ini. Baiklah, sampai hari hasil swab test tiba, aku bisa sedikit merasa santai.
Meskipun aku berusaha keras untuk "santai", tidak bisa dipungkiri aku juga khawatir berlebihan. Ini pengalaman yang tidak pernah aku duga, juga menakutkan. Imajinasi berlebih karena pemberitaan media, postingan media sosial, sangat menghantui. Bahkan, rasa makanan mendadak tidak enak. Suara sirine yang lalu lalang mendadak membuat gelap pikiran. Bahkan saat tidur pun, aku bermimpi kejadian pada saat swab test, dijemput petugas ber-APD, dan selebihnya tidak jelas tapi membuat cemas.
Hari itu tiba.
Aku bahkan sedikit lupa hari itu hari hasil swab test. Aku berlagak santai, tepatnya berusaha santai. Memang seperti itu lagakku dua hari terakhir. Baiklah, saatnya menjemput kabar baik. Itu yang aku sugestikan selalu. Pasti akan ada kabar baik. Tapi tetap, bayangan-banyangan buruk masih saja suka berseliweran. Sepertinya aku sudah mulai handal mengusirnya.
Sampai di sana, posko covid-19, aku seperti merasakan ada hawa yang aneh, entahlah itu firasat atau bukan. Aku mengetok jendela kaca ruangan petugas, dan tanya apa hasil swab test-ku sudah keluar. Dia tanya nama, kemudian mengetik sesuatu di komputernya, sepertinya sedang mencari informasi tentangku.
Terlihat seperti berdiskusi dengan petugas yang lain, dengan wajah serius, petugas tersebut datang ke arahku dengan membawa dua lembar kertas. Dengan wajah yang tidak secerah pertama tadi bertemu, dia mulai bicara, "Begini, Pak." Entah kenapa sepertinya akan buruk, tapi aku sudah bersiap dengan segala kemungkinan. "Hasil bapak yang pertama adalah positif."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar