Kamis, 10 September 2020

PENYAKIT GAIB (BAGIAN 2)

 Setibanya di Rumah Sakit.

Aku sudah sangat familiar dengan tempat ini karena memang sudah beberapa kali datang kesini. Sekeluar dari area parkiran, ada satu hal yang aku cari, satu kata yang menjadi petunjuk aku akan kemana. Covid-19. Di sekelilingku tidak terlihat tulisan tersebut. Aku tipe orang yang malas bertanya kepada orang lain sampai aku benar-benar tidak bisa menemukan.

Setelah jalan beberapa menit, masih tidak terlihat tulisan itu. Aku memutuskan untuk bertanya, mencari seseorang dengan seragam yang sekiranya punya informasi yang aku butuhkan. Bertanya kepada sembarang orang mungkin masih riskan. Belum tentu mereka tahu. Paling aman bertanya kepada orang yang sudah tahu, dan aku tidak perlu bertanya-tanya lagi.

Aku melihat sosok ibu paruh baya yang memakai baju medis ruang operasi, sepertinya. Bergegas aku ke arahnya, dan bertanya dimana tempat swab test di rumah sakit ini. Dia memberikan informasi, menunjuk arah dan aku mengerti kemudian mengucap terimakasih. Sesampainya pintu salah satu lorong yang aku tuju, sesuai arahan ibu tadi, aku dihadang dua petugas sekuriti lengkap dengan face shield, masker mulut, dan sarung tangan karet.

"Selamat siang, Pak. Ada yang bisa dibantu?"

Aku dihadang mendadak. Mungkin mereka sudah menyangka aku punya riwayat rapid test dengan hasil reaktif. Tapi tidak mungkin, mana mungkin mereka tahu. Menunjukkan hasilnya saja aku tidak. Ahh, pikiranku gampang sekali berubah negatif setelah "disamber geledek" tadi.

"Siang, Pak. Mau tanya tempat swab test dimana ya kalau disini?" Jangan-jangan mereka curiga sebentar lagi. Jangan-jangan sebentar lagi mereka akan melakukan interogasi. Jangan-jangan mereka akan menyeretku ke ruangan khusus untuk dikarantina. Imajinasiku gampang sekali liar sekaligus buruk.

"Di sebelah sana pak, di ruang jambu. Tapi kalau bapak lewat sini, akan memakan waktu lama, jaraknya lumayan jauh. Kalau bapak naik motor ke sini, mending lewat jalan sebelah selatan rumah sakit. Nanti di situ bapak menemukan tulisan posko Covid-19 sebelah kanan jalan." Dengan sigap petugas sekuriti mengarahkan. Belum selesai disitu, "Pokok ruangannya ada di dekat kamar mayat, Pak."

Hah? Kamar mayat? Semakin seram saja kondisinya, batinku.

"Owalah, saya kira lewat sini, Pak. Tahu gitu saya tidak parkir tadi."

Bapak petugas sekuriti hanya tersenyum. Aku mengucapkan terimakasih dan berbalik arah ke tempat parkir.

Saat menuju area parkir, sejenak aku memperhatikan sekitar. Situasi rumah sakit masih seperti biasa. Seperti tidak terjadi pandemi yang sedang merebak dan digaung-gaungkan media. Semuanya terlihat biasa saja. Padahal, bayanganku sudah sangat mengerikan situasi di rumah sakit, orang berlalu lalang panik, banyak berteriak minta tolong, keluarga pasien menangis histeris tidak diperbolehkan menemani. Setidaknya itu gambaran yang aku dapatkan karena media-media yang selalu memberitakan penyakit ini. Suka sekali mereka menampilkan bagian yang sedih-sedih.

Semua terlihat biasa-biasa saja. Yang membedakan hanya sekarang semua orang menggunakan masker. Sebagian menggunakan sarung tangan. Sedikit yang memakai face shield, barang yang sedang "nge-trend". Untung tidak ada yang memakain alat pelindung diri lengkap berkeliaran. Bisa kaku tiba-tiba mungkin tubuhku melihat mereka.

Setelah keluar area parkir, aku menuju arah sesuai yang diarahkan petugas sekuriti. Aku masih tidak punya gambaran, seperti apa bentuk poskonya. Pentunjuk yang aku dapat hanya satu. Kamar mayat. Informasi itu seperti kurang berguna. Aku memang beberapa kali ke rumah sakit ini, tapi buat juga aku pergi ke kamar  mayat? Aku benar-benar menuju arah tanpa petunjuk. Ya sudah lah, keluar saja dulu, mungkin nanti benar ada tulisan posko Covid-19.

Aku menemukannya, akhirnya. Tidak sesusah yang aku kira.

Setibanya di sana, aku disambut oleh petugas sekuriti, lagi, yang sepertinya sedikit menghindar dan tidak peduli dengan orang yang datang. Aku bertanya dimana posko covid, dia menjawab singkat sambil menunjuk arah. Baiklah, aku langsung kesana tanpa ragu lagi.

Lengang, tidak ada orang. Memang ada seperti ruangan yang tidak terlalu besar dengan tulisan "Posko Covid-19" ala kadarnya, hanya hasil cetak printer, tapi tidak ada manusia satu pun di situ. Aku melangkah maju, dan menilik dari jendela ruangan tersebut, ternyata ada satu orang yang tidak terlalu tampak kalau hanya sekilas melihat. Aku ketok kaca jendela, dia menghampiri dan bertanya apa yang bisa dibantu. Aku bilang aku mau ikut swab test.

"Keperluan bapak untuk swab test apa?" Dia bertanya lebih lanjut.

"Hasil rapid test saya reaktif, Mbak. Ini saya bawa suratnya sekaligus rujukan." Jawabku.

Petugas posko covid-19 tersebut, aku tak tahu pasti, mungkin, menjelaskan lebih lanjut. Dari mengambil nomer antrian, jadwal swab test jam delapan malam, sampai menbawa fotokopi indentitas diri saat nanti sebelum swab test sekaligus pendaftaran.

Setelah itu, aku ambil nomer antrian. Nomer 13? Wah ternyata sudah ada 12 orang yang datang lebih awal. Dengan gejala kah mereka? Apa mereka batuk? Pilek? Sesak nafas? Entahlah. Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Pikiran seperti itu semakin membuatku terpuruk. Aku terus berpikir ini penyakit apa yang menimpaku. Tidak seperti informasi yang disiarkan di media atau dibagikan di banyak media sosial. Aku tidak batuk, pilek, apalagi sesak nafas. Apa aku kena santet, tapi kok tidak terasa. Entahlah.

Aku pulang.

Sesampai di "rumah", istriku langsung bertanya. Aku sudah menebaknya. "Gimana sayang?"

"Jam 8 malam sayang, mulainya."

"Nunggu apa emangnya? Kok ga langsung?"

"Emang jadwalnya begitu saaay."

"Oh, ya ya."

Aku tahu istriku juga khawatir dan berpikir. Hebatnya memang selalu begitu, dia hebat menyembunyikan ekspresi perasaan sebenarnya. Aku iri kepadanya. Wajahku memang sudah kusut dan muram dari tadi, dan aku tidak bisa menyulapnya menjadi cerah dan riang.

Pukul 07.30 malam.

Aku bersiap-siap. Setelah mandi dan makan serta memastikan aku benar-benar dalam keadaan bersih, aku semangat berangkat. Berdoa semua pasti baik-baik saja, kemudian tancap gas.

Sampai di sana, keadaan berbanding terbalik dengan siang tadi. Sekarang sudah ada sekitar sepuluh orang lebih. Dan keadaannya? Biasa saja. Tidak ada yang terlihat sakit. Semua seperti baik-baik saja. Apa semua yang di sini hasil rapid test-nya reaktif? Entahlah. Aku sedang sibuk menyemangati diri sendiri berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk.

Swab test akan dilakukan dua kali selama dua hari berturut-turut, malam ini dan besok malam. Aku tidak sempat bertanya apa alasannya. Mungkin agar hasil yang diperoleh lebih akurat. Dugaanku saja. Kenapa tidak tiga kali saja? Kalau cuma dua kali, bagaimana kalau hasilnya fifty-fifty? Kalau jumlahnya ganjil, kan jelas sekali hasil pembandingnya. Entahlah. Sekilas saja itu terbersit. Aku sibuk memyemangati diri sendiri.

Eh, kenapa terlintas hasilnya fifty-fifty? Jangan-jangan ini firasat? Ahh, segera aku buang jauh-jauh pikiran itu.

Antrian dipanggil satu persatu.  Sampai di nomer 10, jantungku mendadak berdegup lebih kencang. Gerogi? Takut? Was-was? Mungkin semacam itu semua. Aku tidak tahu. Yang jelas sensasinya seperti kamu mendapat telepon dari perusahaan yang kamu lamar, dan penasaran sekaligus khawatir dengan hasilnya. Jangan-jangan buruk? Jangan-jangan lolos? Semacam itu sensasinya.

Nomer 11 dipanggil. Lanjut nomer 12. Dag dig dug. Semakin kencang saja jantung ini, seperti main drum musik metal.

"Nomer 13!" Nomer antrianku dipanggil.

Aku masuk ruangan, dan seperti yang kalian lihat di tivi atau di layar gadget. Petugas yang menangani Covid-19 ini ber-APD lengkap. Selama ini aku tidak pernah melihat langsung.

"Selamat malam, Pak. Kenapa swab test, Pak?" Petugas langsung menembakku dengan pertanyaan itu, benar-benar telak dan membuatku kaget. Tapi anehnya, degupan jantung sedikit melambat. Tidak sehoror yang aku bayangkan.

"Hasil rapid test saya reaktif, Pak. Ini surat hasil sekaligus rujukannya." Aku menceritakan kronologi dari awal sampai aku menerima hasil reaktif ini. Percakapan singkat, tidak perlu bertatap muka. Dokter, mungkin, aku tidak tahu dokter atau hanya perawat, mencatat di kertas setelah aku mengatakan tidak mengalami gejala apapun seperti yang disebutkan.

Aku diarahkan untuk duduk di sebuah kursi, petugas ber-APD mengambil alat pengambil cairan rongga hidung berbentuk seperi cotton bud dengan gagang yang lebih panjang, dan siap untuk memasukkan ke rongga hidungku sampai ke langit-langit rongga yang paling dalam. Nyeeet. Mungkin seperti itu bunyinya yang bisa aku gambarkan ketika gagang panjang yang untungnya elastis tersebut menyentuh rongga hidungku. Kemudian alat tersebut diputar-putar beberapa kali. Tubuhku seperti mengernyit merinding dari kaki sampai kepala, seperti semua bulu kuduk seluruh tubuh berdiri. Tak sadar, air mata keluar sedikit. Alat tersebut dilepas, dan rasanya, tidak sakit, tapi ngilu. Seperti tersedak saat berenang, air masuk ke hidung, tapi ada butiran nasi juga masuk ke situ.

Aku merasakan sensasi yang benar-benar baru pertama kali aku rasakan. Seumur-umur aku tidak pernah tersedak air saat berenang, hanya bisa sedikit merasakan sensasinya dari cerita teman. Cuma ini saja? Ternyata tidak.

"Pengambilan cairan selanjutnya di tenggorokan ya, Pak." Ucap si petugas tiba-tiba.

Lagi? Aku kira cuma rongga hidung saja. Baiklah, aku turuti kemauan mereka. Aku membuka mulut, disuruh menjulurkan lidah sambil berucap "aaaaa" dan cotton bud gagang panjang dimasukkan sampai menyentuh tenggorokan. Sontak aku merespon "howeeek" seperti mau muntah. Mataku berair lebih banyak. Tiba-tiba saja serangan itu datang. Astaga. Untung itu hanya sebentar, tidak seperti yang pertama.

"Sudah, Pak?" Tanyaku memecah keheningan.

"Sudah. Besok yang kedua jadwalnya seperti malam ini ya, Pak." Jawab si petugas.

"Baik, Pak. Terima kasih banyak." Mereka tidak menimpali perkataanku dan lanjut memanggil antrian berikutnya.

Sisa ngilu di hidung masih terasa. Tidak seburuk yang aku kira..

(Berlanjut pada bagian 3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lema...