Rabu, 16 Maret 2022

Untuk Istriku

 


Usia pernikahan empat tahun itu adalah awal dari kebangkitan kita, Sayang.

Tadi siang aku mengucapkan kalimat itu pada Istriku. Bukan membual, tapi adalah doa tulus setelah lika-liku yang kami alami selama empat tahun ini.

Awal pernikahan adalah transisi kehidupan yang luar biasa berat untuk dicerna. Dari seorang bujangan menjadi seseorang yang tiba-tiba harus berbagi segalanya dengan orang lain bukanlah proses yang mudah untuk dilewati. Ego pun menjadi peran utama yang sangat mendominasi. Terutama masalah finansial.

Uang layaknya bahan bakar mesin yang akan membuat kita bertenaga atau tidak dalam menjalani kehidupan. Ketika bahan bakar itu dibagi, maka terbagi pula tenaga kita. Dan pada saat itu terjadi, egolah yang pertama kali menghasut untuk bertindak semaunya. "Tadi buat apa aja uangnya? Kok beli ini sih? Ini kan gak guna? Jangan boros-boros lah, gimana sampai akhir bulan?" Itulah sederet contoh pertanyaan yang muncul begitu saja tanpa dipikirkan apa efek setelahnya. Mungkin saat itu istriku sakit hati, kaget, sedih atau yang lain yang aku tidak pernah perhatikan. Tapi itulah proses transisi dari seorang lajang menjadi seorang yang berumah tangga. Merasa menjadi kepala keluarga kemudian bisa mengatur segalanya. Ada semacam rasa "tidak ikhlas" kalau uang yang aku hasilkan dibagi dengan orang lain. Mungkin itu perumpamaannya.

Tapi lambat laun, aku mengerti seperti apa Istriku dan bagaimana sifatnya - apa yang membuatnya sedih dan bahagia. Dengan banyak proses yang muncul begitu saja, sering kali hatiku terenyuh melihatnya bersedih atas kelakuanku, meskipun tanpa bicara. Begitu saja aku tahu kapan dia sedih dan kapan dia bahagia. Itukah ikatan batin? Mengerti tanpa harus bicara? Bukan! Aku sangat sadar diri karena terlalu sering membuatnya bersedih.

Setelah berbagai macam kejadian, aku sedikit demi sedikit bisa menurunkan egoku. Memang tidak mudah, sekali dua kali masih keceplosan, tapi tidak separah awal-awal. Tapi memang aku menyadari, berumah tangga itu adalah menyatukan dua pikiran yang berbeda, tidak akan selalu sama dan akan selalu ada bentrokan. Sekali lagi tanpa banyak bicara, kami bisa memahami satu sama lain. Untungnya Tuhan menganugrahi kami sifat yang ketika cek-cok, kami tidak saling berteriak. Kami hanya diam sampai ego kami benar-benar mereda dan kemudian membicarakannya.

Percek-cokan itu ternyata semakin berkurang dengan terbentuknya janin di rahim istriku. Fokus kami lebih ke kesehatan calon anak pertama daripada ke hal remeh yang sering diperdebatkan. Pembicaraan tentang bayi dengan segala pembahasan menjadi topik hangat yang selalu membuat kami menjadi sangat mesra. Tuhan sangat berbaik hati, selalu berbaik hati bahkan. Alhamdulillah.

Apalagi menjelang proses kelahiran, ego kami mulai mereda drastis. Aku sadar aku orang yang sangat egois dalam beberapa kondisi, tapi aku memaksakan menutupinya hanya untuk tidak membuat Istriku bersedih, karena kesehatan janin juga sangat berpengaruh pada kondisi emosional Ibunya. Aku menjadi lebih sering mengalah tanpa disadari dan Istriku juga terlihat berubah menjadi seorang yang lebih dewasa. Kami tidak lagi sering memperdebatkan masalah remeh-temeh. Fokus kami adalah kebahagiaan yang akan lahir dari rahim Istriku.

Kelahiran anak pertama benar-benar membuatku terharu. Terharu akan perjuangan Istriku dan paras anak pertamaku yang baru lahir. Aku tidak menyangka Istriku adalah seorang yang kuat, bahkan sudah jauh-jauh hari mempersiapkan mental menjadi seorang Ibu. Banyak cerita dari manapun, kalau perempuan yang mengandung itu merasakan sakit yang luar biasa. Banyak juga yang mengeluh dari level tinggi sampai terendah. Tapi, Istriku hampir tidak mengucapkan keluhan sedikitpun! Sakitnya dia nikmati, semuanya prosesnya dia syukuri, dan itu yang membuatku selalu terharu kalau mengingatnya. Segala Puji bagi Tuhan Engkau telah menganugrahiku seorang perempuan pendamping hidup yang sangat kuat! Dengan segala keterbatasan dan kejelekanku, kekuatan istriku menjadi obat mujarab yang melengkapi. Dan paras anakku yang baru lahir. Aku menangis ketika mengumandangkan adzan di telinganya. Ternyata bayi baru lahir adalah lukisan sekaligus nyanyian yang sangat indah. Semua ego terkuras habis saat itu. Magis yang indah.

Tapi memang bagaimanapun, pernikahan adalah menyatukan dua kepala yang berbeda, tidak akan seterusnya klop. Saat-saat merawat dan membesarkan bayi adalah momen yang sangat indah sampai-sampai kami lupa kebutuhan pribadi masing-masing. Dan proses itu pun masih dibarengi dengan ego kita yang sesekali berbentur. Namun setelah itu kami tahu bagaimana cara mengatasinya dengan cepat.

Tahun pertama, kedua, ketiga, pernikahan kami mulai bisa menyesuaikan diri dengan beberapa keadaan rumah tangga secara alamiah. Itu terjadi begitu saja dengan proses yang kita lewati. Saat mentalku di bawah, istriku menjadi penyemangat ulung. Saat Istriku bersedih, spontan saja aku berusaha mencairkan suasana. Kami semakin tahu dengan peran masing-masing sebagai suami dan istri. Tidak sesempurna seperti pasangan ideal yang ada di cerita-cerita fiksi, tapi aku percaya semua punya jalan cerita masing-masing dengan segala proses lika-likunya. Begitu juga pernikahan. Bukan kesempurnaan hubungan yang dicari, tapi tentang semangat membangun bersama dengan segala kekurangan dan kelebihan yang saling melengkapi. Couple goal? What the hell! Aku percaya tidak ada ada standar sebuah hubungan ideal! Semua punya kondisinya masing-masing.

Kebahagiaan kami bertambah dengan lahirnya anak kedua. Tuhan selalu berbaik hati. Setelah anak kedua lahir, tantangan berikutnya dalam berumah tangga menjadi bertambah level. Selalu ada saja kejadian yang membuat kita drop mental dan berujung perdebatan. Ego mulai menguasai lagi, kami sesaat hampir lupa bagaimana menyelesaikannya. Entahlah, banyak kejadian mulai melemahkan semangat kami. Yang kurasa memang lebih berat daripada sebelum anak kedua lahir. Tapi Tuhan selalu berbaik hati menghadirkan solusi penyelesaian semua pertikaian. Dan salah satunya ada kedua anak kami. Geraknya, tawanya, suaranya, tangisannya, parasnya, pertumbuhannya, adalah obat segala pertikaian antara kami sebagai pasangan suami istri.

Akhirnya, dengan segala prosesnya, kami menapaki empat tahun pernikahan. Alhamdulillah, hari ini, 16 Maret 2022 adalah ulang tahun pernikahan kami. Dengan tersenyum, kami menyambut hari ini, tanpa perayaan seperti kebanyakan orang. Tadi pagi Istriku mengecup keningku dan mengucapkan "Happy anniversary, Sayang." Aku tidak membalas, sengaja memang (Hehe, maaf ya, Sayang). Karena aku sudah menyiapkan ide menulis ini untuk mengucapkan, agar hari ini terkenang dengan waktu yang lama, agar nanti anak-anakku bisa membacanya, dan mengetahui betapa bahagianya kami sebagai pasangan dan sebagai orang tua, lewat sebuah tulisan.

Selamat empat tahun pernikahan, Istriku. Kita memang tidak pernah sempurna sebagai individu atau pasangan. Tapi percayalah dua ketidaksempurnaan yang bertemu akan menjadi sempurna dengan caranya sendiri, seperti rumus matematika, minus bertemu minus selalu menjadi plus.

Sayangku untukmu selalu, Bia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pria Pembawa Petaka

 Hatinya pilu. Ingin menangis tapi dia merasa dia adalah pria tangguh. Buat apa menangis hanya karena wanita? Menangis hanya untuk pria lema...